Liputan6.com, Jakarta - Penyidik Dirtipikor Bareskrim Polri akhirnya menetapkan status tersangka pada Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah atas kasus dugaan korupsi pembayaran honor Tim Pembina RSUD M Junus, Bengkulu sebesar Rp 5,6 miliar pada tahun 2011.
Kasubdit I Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Kombes Pol Ade Deriyan mengatakan, sebelum menetapkan status tersangka, penyidik Dirtipikor Bareskrim Polri telah melakukan gelar perkara bersama dengan penyidik Polda Bengkulu di Bareskrim Polri.
"Lewat gelar perkara diputuskan saudara JA selaku Gubernur Bengkulu ditetapkan sebagai tersangka di kasus ini," kata Ade di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Selasa (13/7/2015).
Advertisement
Dari gelar perkara, penyidik melihat ada dugaan korupsi yang diduga dilakukan JA ‎atas diterbitkannya surat keputusan Z No 17 Tahun 2011 tanggal 21 Februari 2011 tentang pembentukan suatu jabatan yang tidak ada dasar hukum dalam UU yang berlaku.
Pembentukan jabatan itu menurut Ade bertentangan dengan Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah.
"Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) untuk Gubernur Bengkulu dibuat sejak tanggal 12 Mei 2015," ujar dia.
Dalam kasus ini penyidik juga telah memeriksa 17 saksi dan 4 saksi ahli. Sementara dari penghitungan BPKP diperkirakan ada kerugian negara sekitar Rp 359 juta. Penyidik juga sudah mengirim surat ke Imigrasi untuk mencegah yang bersangkutan bepergian ke luar negeri.
"Dia juga sudah kami cegah ke luar negeri," tambah Ade.
Tim Pembina Sesuai Permendagri
Sementara itu, Gubernur Junaisi mengklaim penerbitan SK itu sudah sesuai dengan prosedur. Dia juga membantah SK itu bertentangan dengan Permendagri, Padahal berdasarkan Permendagri itu, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) tidak mengenal tim pembina. Namun, pengacara JA, Muspani menegaskan SK itu merupakan turunan dari Permendagri Nomor 61.
"Tim Pembina Rumah Sakit M Yunus dibentuk karena sistem BLUD, untuk mengawasi rumah sakit. Ini adalah payung hukum bagi RSMY dalam menjalankan BLUD‎," ucapnya.
‎Muspani menilai persoalan ini merupakan persoalan administrasi. Apabila semua SK dipidana, maka negara ini bisa hancur. Muspani menambahkan, harusnya Bareskrim bisa mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. (Ado/Ali)