Akbar Faisal Nasdem: Radikal Penting untuk Hal Positif

Tapi selama ini, radikal dipahami secara ekstrem hingga tak jarang berujung aksi terorisme.

oleh Moch Harun Syah diperbarui 31 Jul 2015, 07:43 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2015, 07:43 WIB
Aksi Jaga Jakarta di Bunderan HI
Aksi 'Jaga Jakarta' yang didominasi oleh kaum muda ini mengajak warga Jakarta untuk bersama-sama menolak radikalisme dan terorisme, Jakarta, Minggu (23/11/2014). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Aksi radikalisme masih terus terjadi di sejumlah daerah di belahan dunia. Kelompok-kelompok radikal seperti Islamic State Iraq and Syria (ISIS) masih terus melakukan ancaman-ancaman dan menyebarkan paham radikalismenya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) Akbar Faisal menilai radikal merupakan suatu hal yang sebenarnya penting. Tapi selama ini, radikal dipahami secara ekstrem hingga tak jarang berujung aksi terorisme.

"Seseorang yang memiliki paham ekstrem ataupun radikalisme itu orang-orang yang mundur, artinya mereka itu salah mengartikan apa yang dimaksud radikal. Sebenarnya radikal itu penting asalkan untuk hal-hal yang positif, bukan radikal untuk mencelakai atau merusak sebuah tatanan sebuah negara," kata Akbar di Jakarta, Kamis 30 Juli 2015 malam.

Untuk tak salah memahami radikal dan bertindak ekstrem, kata dia, seseorang harus memperkuat mental dan psikologinya. Ia menilai jika begitu, akan kecil ruang bagi generasi muda Indonesia untuk mengikuti dan memiliki paham yang mengarah pada aksi terorisme.

"Kecil sekali ruangnya untuk hal tersebut karena orang sekarang ini semakin logis. Karena ini sebenarnya orang-orang yang bermasalah dengan dirinya, kemudian menarik dirinya seakan menjadi korban dari sebuah sistem. Sebenarnya yang bermasalah itu adalah dirinya sendiri," tutur Akbar.

Menurut dia, aksi terorisme itu disebabkan oleh banyak hal. Mulai dari masalah kemiskinan, rasa ketidakadilan hingga kekecewaan kepada pemerintah juga kerap menjadi pemicu orang-orang bergabung ke kelompok-kelompok teroris.

"Lalu yang terakhir yakni faktor kultural yakni masalah pemahaman sempit. Mereka selalu mengatasnamakan agama, ini yang selama ini keliru," tandas Akbar.

Deputi I Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Agus Surya Bakti menambahkan, salah satu yang dilakukan pihaknya yaitu selalu aktif melakukan dialog di Perguruan Tinggi agar tidak terjadi pembelokan keyakinan dan pemahaman akademisi.

"Ini agar tidak terjadi pemahaman yang salah di kalangan para mahasiswa sehingga jangan sampai terjadi aksi-aksi teror lagi seperti yang pernah terjadi di Indonesia selama ini," ujar Agus.

Menurut dia, generasi muda adalah kelompok yang mempunyai idealisme yang sangat besar, mudah merespons permasalahan yang ada, dan tidak berpikir panjang.

"Itu ciri anak muda. Contohnya mereka meninggalkan kuliahnya untuk melakukan demonstrasi. Lalu mereka bergabung dengan kelompok radikal untuk selanjutnya memahami paham tersebut dan hanya akan bermanfaat bagi dirinya. Ini yang selama ini keliru," ucap Agus. (Bob/Ans)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya