Diduga Bakar Lahan, Peradi Gugat 15 Perusahaan di Jambi

Mereka menuntut perusahaan tersebut puluhan triliun rupiah karena telah merugikan rakyat.

oleh Bangun Santoso diperbarui 26 Sep 2015, 19:20 WIB
Diterbitkan 26 Sep 2015, 19:20 WIB
20150923-Kabut Asap-Jambi
(Liputan 6 TV)

Liputan6.com, Jambi - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Provinsi Jambi bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang mewakili sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) penggiat lingkungan, akan melayangkan gugatan perdata terhadap 15 perusahaan.

15 perusahaan itu diduga menjadi biang keladi timbulnya kebakaran lahan yang berujung bencana kabut asap di Jambi.

Ketua DPC Peradi Jambi, Suratno mengatakan gugatan class actions ini merupakan bentuk kepedulian atas musibah kabut asap yang melanda kota yang dulu bernama Djambi itu. Masyarakat, kata dia, sudah banyak dirugikan akibat kabut asap tersebut.

"Bandara lumpuh total, anak-anak tidak bisa masuk sekolah, belum lagi bahaya ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)," ujar Suratno kepada sejumlah wartawan di Jambi, Sabtu (26/9/2015).

"Ini merupakan kealpaan perusahaan yang tidak menjaga lahan yang dimiliki," lanjut dia.

Sekretaris DPC Peradi Jambi Sarbaini mengatakan ini juga sebagai peringatan bagi perusahaan di Jambi agar jangan mengambil keuntungan semata dalam berbisnis. Perusahaan harus memikirkan dampak jika membakar lahan.

"Gugatan kita ini adalah untuk pengganti kerugian atas kebakaran lahan yang menyebabkan asap, baik disengaja atau tidak. Secepatnya gugatan ini akan kita daftarkan ke pengadilan," ujar Sarbaini.

33 Ribu Hektare

Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Musri Nauli menyebutkan ada 33 ribu hektare lahan di Provinsi Jambi yang terbakar dan menyebabkan terjadinya kabut asap. Ini berdasar data yang dimiliki oleh Walhi Jambi.

Menurut dia, jumlah tersebut akan bertambah seiring makin meluasnya lahan yang rawan kebakaran. Belum lagi, lahan di bagian timur Jambi berupa gambut yang mudah terbakar.

"Ganti rugi yang kita gugat Rp 7 triliun, yang dibayarkan secara tanggung renteng, serta Rp 44 triliun untuk biaya pemulihan," ungkap Musri Nauli. (Bob/Ans)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya