Liputan6.com, Jakarta - Setiap presiden punya gaya komunikasi diplomasi yang berbeda-beda. Presiden pertama RI Sukarno, disebut oleh berbagai pihak sebagai presiden yang mempunyai bahasa diplomasi yang paling baik.
Selain tegas, Sukarno juga dianggap mampu mempengaruhi dunia internasional dengan penggunaan kata-kata yang menggelora dan menginspirasi pemimpin-pemimpin negara lainnya kala itu.
Baca Juga
Sementara, Presiden RI lainnya dari masa ke masa juga mempunyai bahasa diplomasi yang berbeda-beda.
Lalu, bagaimana dengan gaya diplomasi Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi ?
Advertisement
Penerjemah kepresidenan RI, Muhammad Iqbal Sirie, punya cerita mengenai gaya bertutur dua presiden tersebut.
"Tentu tiap presiden atau kepala negara mempunyai gaya komunikasi yang sangat berbeda-beda. Pengalaman saya mengikuti dua presiden terakhir, Bapak SBY dan Bapak Jokowi, keduanya mempunyai gaya komunikasi yang berbeda dari segi penggunaan kosakata maupun istilah diplomasi yang digunakan," ujar Iqbal saat berbincang dengan Liputan6.com di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (10/11/2015).
Â
Baca Juga
Menurut pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian Luar Negeri itu, SBY dan Jokowi punya tipikal yang berbeda jauh dalam bertutur di berbagai pertemuan-pertumuan berlevel internasional.
Perbedaan terletak pada pemilihan kata-kata yang disampaikan kepada pendengarnya. Presiden SBY, menurut dia, cenderung menggunakan bahasa-bahasa diplomasi formal. Sementara Presiden Jokowi lebih menyukai penggunaan istilah yang lebih sederhana.
"Kalau Pak SBY, melihat beliau lebih menggunakan istilah yang panjang. Sementara Pak Jokowi punya kekhasan, yaitu lebih mengutamakan penggunaan bahasa yang lebih singkat dan tidak berpanjang lebar," ucap ‎Iqbal yang berkantor di bagian ‎Biro Administrasi Menteri Kementerian Luar Negeri.
Kendati Jokowi lebih irit dalam berdiplomasi, namun kata Iqbal, tujuan dan maksud yang ingin disampaikan terdengar dengan lugas dan jelas. ‎
"Gaya komunikasi yang singkat, namun padat dan jelas. Itu perbedaan yang paling jelas terlihat dari dua pemimpin tersebut," ujar Iqbal.
Walau mempunyai gaya bertutur yang berbeda, pria satu anak itu mengaku tidak merasa kesulitan dalam menafsirkan ucapan dua presiden tersebut. Menurut dia, Jokowi dan SBY mempunyai kemampuan berbahasa yang cukup baik, namun mempunyai tipikal yang berbeda dalam berdiplomasi.
"Tentu kami sebelumnya sudah dilatih, tidak hanya memahami kosakata dalam istilah diplomasi, tapi juga mengenai ilmu komunikasi dan bagaimana memahami ide dan kata-kata yang disampaikan presiden, agar dapat ditafsirkan secara jelas kepada pendengar," ucap pria kelahiran Juni 1984 itu.
Iqbal sendiri merupakan diplomat muda yang telah berkarier di Kementerian Luar Negeri sejak 2010. Sebelum turun ke lapangan menjadi penerjemah kepresidenan, pria lulusan Universitas Padjajaran jurusan Fakultas Hukum itu harus mengikuti pelatihan selama dua tahun.
"Setelah masuk Kemenlu, tahun 2012 saya mulai dilatih sebagai penerjemah, dan mulai dilibatkan dalam kegiatan Istana sejak 2014," ucap dia lagi.
Karena itu, selama berkarier di Istana, dia tidak hanya menjadi penerjemah Presiden Jokowi, namun juga sempat menjadi penerjemah Presiden SBY di akhir-akhir masa jabatannya. ‎
"Saya sempat mengikuti Presiden SBY dalam sebuah kunjungan ke forum internasional, dan saat ini mengikuti kegiatan kenegaraan Presiden Jokowi. Terakhir saya mengikuti kegiatan kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi ke Amerika Serikat, " tutup Iqbal. (Ron/Sun)*