5 Kehebohan yang Dipicu Setya Novanto

Setya Novanto telah membantah tudingan mencatut nama Jokowi dalam kontrak perpanjangan Freeport.

oleh Liputan6 diperbarui 20 Nov 2015, 20:29 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2015, 20:29 WIB
Ketua DPR Setya Novanto hadiri kampanye bakal calon presiden AS, Donald Trump. (Business Insider)
Ketua DPR Setya Novanto hadiri kampanye bakal calon presiden AS, Donald Trump. (Business Insider)

Liputan6.com, Jakarta - Nama Ketua DPR Setya Novanto sedang ramai menjadi perbincangan. Baru setahun memimpin parlemen di Senayan untuk periode 2014-2019, politikus Partai Golkar ini kembali dirundung kontroversi.

Setya bukan orang baru di parlemen. Sudah 4 kali periode terpilih sebagai wakil rakyat. Dia duduk sebagai wakil rakyat pada periode 1999-2004, 2004-2009, 2009-2014, dan 2014-2019 dari dapil Nusa Tenggara Timur II.

Nama Setya Novanto menjadi perhatian khalayak ketika muncul fotonya menghadiri kampanye bakal calon presiden Amerika Serikat Donald Trump, di sela-sela ‎kunjungannya untuk menghadiri ‎sidang The 4th World Conference of Speakers Inter Parliamentary Union (IPU) di Negara Paman Sam itu.

Setya kembali membuat kehebohan setelah Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said melaporkan politikus Senayan berinisial SN ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).  SN dikaitkan adalah Setya Novanto.

Laporan itu atas dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia yang berujung pada permintaan saham.

Berikut selengkapnya kehebohan yang dilakukan Setya Novanto:

Bertemu Donald Trump

Rombongan DPR bertemu dengan calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik Donald Trump pada Kamis 3 September 2015. Dalam rombongan itu, ikut serta Ketua DPR Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin, Wakil Ketua Komisi VII Satya Yudha, dan utusan Presiden Eddy Pratomo.

Setya dan Fadli Zon juga berpose bersama Trump. Kehadiran mereka menuai kehebohan di dalam negeri dan dinilai melanggar etika.

Setya dan Fadli Zon kemudian dilaporkan 7 anggota ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR karena diduga melanggar kode etik. Setelah diproses, MKD memutuskan, dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Setya Novanto dan Fadli Zon sebagai bentuk pelanggaran ringan dengan sanksi berupa teguran.

Ketua DPR Setya Novanto menjelaskan secara singkat apa yang telah dilakukan Pimpinan DPR dalam perjalanannya selama 11 hari ke Amerika Serikat. Perjalanan tersebut sudah direncanakan sejak 6 bulan lalu.

"Tepatnya tanggal 31 Agustus (2015) saya berangkat dan kembali pada 11 September dengan pertemuan-pertemuan yang sangat padat sekali," ujar Setya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 14 September 2015.

Setya mengungkapkan, pertemuan-pertemuan tersebut adalah salah satu bentuk tugas dari anggota DPR di mana rangkaian acaranya telah disusun dengan dasar proses yang sangat panjang. Pertemuan itu juga sehubungan dengan adanya Inter Parliamentary Union (IPU) atau Persatuan Parlemen Internasional yang dihadiri 158 negara.

Pencatutan Nama Jokowi dan JK

Menteri Energi dan Sumber Daya (ESDM) Sudirman Said melaporkan politikus Senayan berinisial SN ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Laporan itu atas dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia yang berujung pada permintaan saham.

Sudirman Said membawa bukti rekaman percakapan SN dengan beberapa orang yang diduga merupakan seorang pengusaha, R dan salah satu petinggi PT Freeport di Indonesia, MS. Dalam surat laporan yang beredar, disebut SN adalah Ketua DPR Setya Novanto.

Selain surat pelaporan, juga tersebar transkrip rekaman percakapan SN dengan bos Freeport, serta seorang pengusaha berinisial R.

Ketua DPR Setya Novanto telah membantah tudingan tersebut. Dia mengaku tidak pernah bertemu dengan Sudirman Said. Namun dia mengaku pernah bertemu pejabat PT Freeport Indonesia.

"Yang pertama tentu saya melihat di media bahwa saya (dikatakan) membawa atau mencatut nama presiden," kata Setya Novanto di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa, 17 November.

‎"Tapi yang jelas bahwa presiden dan wapres adalah simbol negara yang harus kita hormati dan juga harus kita lindungi," ujar Setya.

Proyek E-KTP


Nama Setya Novanto juga kerap dikaitkan dengan kasus hukum. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin juga menyebut Setya Novanto bersama mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai pengendali proyek e-KTP.‎ Nazaruddin menuding Setya membagi-bagi fee proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR.

Pada suatu kesempatan Setya membantah Nazaruddin. Dia mengaku tidak pernah tahu dan tidak pernah ikut campur dalam proyek e-KTP. "Dia (Nazaruddin) bohong," ujar Setya di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Kamis 24 April 2014.

Proyek e-KTP pertama kali muncul sejak Muhammad Nazaruddin menjadi terpidana pada kasus suap proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games, Jakabaring, Palembang. Menurut Nazaruddin, Setya Novanto selain memiliki perusahaan yang turut memenangkan tender tersebut, juga berperan memberi perintah pembagian fee pada proyek senilai Rp 6 triliun.

Kasus PON

Setya Novanto beberapa kali diperiksa sebagai saksi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap Revisi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Penambahan Biaya Arena Menembak PON Riau oleh KPK. Kasus ini menjerat mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal, yang juga kader Partai Golkar.

Pada Selasa 19 Maret 2013, KPK menggeledah sejumlah tempat terkait kasus suap PON, termasuk ruang kerja Setya Novanto yang kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR.

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas memastikan, tidak ada unsur politis dalam pengusutan kasus ini.

Penggeledahan ruang kerja Setya Novanto itu dilakukan berdasarkan pengembangan keterangan dari sejumlah tersangka dalam kasus ini. Dugaan keterlibatan Setya terungkap dalam persidangan perkara yang sama di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru, Riau, pada 2 Agustus 2012.

Mantan Kepala Dinas Kepemudaan dan Olahraga Riau, Lukman Abbas, mengungkapkan pernah memberikan Rp 9 miliar kepada Setya dan Kahar. "Penyerahan uang kepada kedua anggota DPR RI itu terjadi pada awal Februari 2012," kata Lukman yang juga terjerat dalam kasus yang sama. "Penyerahan uang dilakukan di lantai satu Gedung DPR."

Setya Novanto sudah membantah menerima uang itu. Bahkan Setya mengaku tak terlibat dalam proyek PON. "Saya hanya tegaskan bahwa tidak ada sama sekali ada hubungannya dengan masalah yang berkaitan dengan PON yang ada di Riau," kata Setya usai diperiksa KPK pada 29 Juni 2012.

Sementara, Kahar Muzakir, melalui kuasa hukumnya Rudi Alfonso, membantah menerima aliran dana proyek PON.

Kasus Bank Bali

Pada 1999, nama Setya Novanto disebut dalam kasus korupsi pengalihan tagihan (cessie) Bank Bali. Bank Bali dan PT Era Giat Prima (EGP) meneken perjanjian cessie ke BDNI dan BUN. Jumlah seluruh tagihan piutang Bank Bali Rp 798,09 miliar. Setya adalah Direktur Utama PT Era Giat Prima ketika itu.‎

Pengadilan pun menganggap ada tindak pidana korupsi dalam cessie Bank Bali. Gubernur Bank Indonesia saat itu, Syahrir Sabirin dan petinggi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Pande Lubis menerima hukuman penjara karena dinilai  terbukti bersalah atas kasus itu.

Mereka dianggap menyalahgunakan wewenang dengan mencairkan klaim tagihan Bank Bali kepada BDNI.

Skandal Bank Bali menjadi pembicaraan hangat berbagai kalangan lantaran dicurigai melibatkan para petinggi negara.

Kabar yang berembus kala itu, keputusan mencairkan tagihan Bank Bali di BDNI oleh PT EGP itu dilakukan setelah pertemuan di Hotel Mulia, Jakarta. Pertemuan itu disebut-sebut dihadiri Ketua Dewan Pertimbangan Agung--saat itu--A.A. Baramuli, Direktur PT EGP Joko S. Tjandra, Menteri Negara Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara Tanri Abeng, dan Gubernur BI Syahril Sabirin. Tak lama setelah pertemuan itulah transaksi cessie terjadi. (Mvi/Yus)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya