Liputan6.com, Jakarta - Badan Intelijen Negara (BIN) mengaku sudah mendeteksi adanya jaringan terorisme serta aktivitasnya sejak 25 November 2015 lalu.
Saat itu, sekitar 100 simpatisan ISIS pulang ke Indonesia, 423 mantan narapidana terorisme bebas, dan ada pelatihan yang diadakan oleh kelompok radikal.
Meski begitu, BIN tak bisa menangkap lantaran tugas BIN hanya sebatas menggali informasi sesuai dengan kewenangannya menurut Pasal 31 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 .
"Kejadian ini jadi pelajaran dan evaluasi semua. Karena itu perlu ada peran BIN lebih. Undang-undangnya perlu direvisi. Di mana BIN, diberi kewenangan lebih menangkap dan menahan," ujar Kepala BIN Sutiyoso di kantornya, Jakarta, Jumat 15 Januari 2016.
Advertisement
BIN meminta pemerintah bersama DPR merevisi UU No 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Baca Juga
Dengan revisi tersebut, kata pria yang akrab disapa Bang Yos itu, terorisme bisa diawasi. Itu pula yang dilakukan di Malaysia.
"Di Malaysia dipasang gelang elektronik. Dipantau 24 jam bagi mereka yang membahayakan," kata Sutiyoso.
Bukan hanya peran BIN saja yang perlu ditambah. Dengan bisa mengawasi dan menangkap terduga teroris, kepolisian juga bisa lebih sigap.
"Kewenangan Polri juga terbatas. Misalnya memantau latihan (terduga teroris). Waktu itu latihannya menggunakan kayu, jadi barang buktinya lemah (kalau mau menangkap)," tutup Sutiyoso.