Liputan6.com, Jakarta - Unjuk rasa sopir angkutan konvensional di depan Istana Merdeka, Senin pekan lalu, mengultimatum pemerintah menghapus angkutan berbasis online dalam waktu 15 hari ke depan.
Seperti ditayangkan Liputan 6 Siang SCTV, Selasa(22/3/2016), pemerintah mengambil jalan tengah mengatasi kisruh angkutan online versus konvensional. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dilibatkan untuk mencari solusi bagi operator angkutan online yang belum berbadan hukum.
Baca Juga
Penyedia layanan jasa transportasi online, Grab, diarahkan menjadi badan hukum berbentuk koperasi.
Advertisement
Dari tiga operator besar angkutan online, baru dua yang sudah berbadan hukum. Itupun berbeda bentuknya, yakni PT dan koperasi angkutan.
Angkutan umum roda empat online segera tersandung masalah karena melanggar undang-undang. Sementara ojek masih melenggang karena belum ada payung hukumnya.
Jalan tengah yang diambil pemerintah belum memuaskan para pengemudi taksi konvensional. Padahal menurut pengamat pajak, jika tidak berhitung dengan benar sebagai koperasi, bisa jadi tarif taksi online justru lebih mahal.
Di PT, pemilik berbeda dengan karyawan. Tapi di koperasi, para pengemudi adalah pemilik koperasi.
Dampaknya, pajak pada PT hanya dikenakan untuk laba perusahaan, tidak pada keuntungan yang dibagikan perusahaan. Sedangkan pada koperasi, pajak dikenakan baik untuk laba koperasi maupun pada sisa hasil usaha yang dibagikan.
Baru setengah jalan waktu ultimatum, pengemudi angkutan konvensional berdemo lagi hari ini. Dengan jumlah massa, kemacetan, dan titik ricuh yang lebih luas dibanding sebelumnya.
Kalau sudah begini, penumpang yang jadi korban. Semestinya operator angkutan online menyelesaikan segala kewajiban hukumnya sesuai aturan main di Indonesia.
Angkutan umum konvensional juga sudah seharusnya bergegas bertransformasi dalam urusan pelayanan di era digital. Seperti kata pepatah, konsumen adalah raja.