Liputan6.com, Jakarta - Badan Legislasi (Baleg) DPR menggelar rapat koordinasi dengan komisi-komisi dan Panitia Khusus (Pansus), Rabu 25 Mei kemarin.
Dalam rapat terungkap kalau pembahasan sederet Rancangan Undang-undang (RUU) atau revisi UU di DPR mandek bahkan hingga beberapa masa sidang. Penyebabnya adalah banyak anggota DPR yang sudah ditugaskan membahas RUU itu tak hadir rapat.
Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo yang memimpin rapat koordinasi tersebut pun menagih perkembangan dari tiap RUU yang sudah ditugaskan ke komisi, panja, atau pansus.
"Rapat evaluasi ini salah satu hambatan yang dihadapi panja dan pansus adalah tidak kuorumnya anggota. Baleg tidak punya kewenangan untuk tarik UU, ini jadi catatan penting," ungkap Firman di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu 25 Mei 2016.
Masalah kuorum, lanjut dia, dari para anggota panja atau pansus sangat memprihatinkan mengingat salah satu tugas pokok dari anggota dewan adalah membahas UU.
"Harus ada kesadaran itu. Kita imbau fraksi. Anggota panja yang sudah ditunjuk fraksinya masing-masing harus ada evaluasi. Kalau tidak aktif, perlu digantikan karena tugas DPR juga legislasi," papar Firman.
"Ini yang menjadi keprihatinan kita pada rapat evaluasi hari ini. Salah satu hambatan yang dihadapi panja maupun pansus yaitu tidak kuorum," sambung dia.
Meski begitu, politikus Partai Golkar ini menyebut ada penyebab lain mandeknya sejumlah UU yaitu surat presiden ke DPR untuk membahas UU sering terlambat.
Dalam rapat, salah satu anggota fraksi Partai Gerindra Martin Hutabarat sempat bercerita soal penyebab mandeknya salah satu RUU.
"RUU Wawasan Nusantara usulan DPD. Proses pembentukan panja tidak pernah kuorum beberapa kali, lalu dipaksa dikumpulkan sampai kuorum tapi tanda tangan saja. Rapat panja tidak pernah kuorum," kata Martin Hutabarat.
Baca Juga
Baca Juga
"Jadi, belum ada yang bisa dilaporkan (dari RUU Wawasan Nusantara)," ujar Martin.
Lalu, ada pula RUU yang tidak selesai dibahas hingga melewati batas yang ditetapkan Baleg. Oleh sebab itu, perlu persetujuan untuk memperpanjang waktu.
"RUU Paten sudah masuk 5 kali masa sidang," ujar Ketua Pansus RUU Paten John Kennedy Aziz.
Ada juga pelaporan dari Wakil Ketua Komisi VIII Deding Ishak tentang RUU Penyandang Disabilitas yang telah disahkan menjadi UU. Juga Ketua Komisi V Fary Djemi Francis yang sedang membahas RUU Jasa Konstruksi.
Tarik Ulur Revisi UU Pilkada
Panitia Kerja (Panja) revisi Undang-undang (UU) nomer 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) masih deadlock terkait keharusan anggota DPR mundur jika ingin maju dalam Pilkada.
Advertisement
Komisi II DPR ingin anggota dewan tidak perlu mundur jika mencalonkan diri dalam pilkada.
Dalam rapat pembahasan revisi UU Pilkada, pimpinan panja Rambe Kamarulzaman mengakui masih ada tarik ulur soal status anggota DPR yang akan ikut pilkada apakah sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan PNS, anggota TNI atau Polri dan anggota DPR untuk melepaskan jabatan.
"Pendekatan yang kami lakukan adalah UU yang mengatur. Kalau TNI Ada UU nomer 34, Polri ada UU tentang kepolisan, lalu ada UU Aparatur Sipil Negara (untuk PNS). Anggota DPR ya UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3)," ungkap Rambe usai rapat panja yang digelar tertutup di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu 25 Mei 2016.
Dengan pendekatan seperti itu, lanjut dia, DPR mengklaim bahwa tidak ada kewajiban bagi anggotanya untuk mundur saat mengikuti pilkada.
Namun meski begitu, dibatasi mulai dari saat pendaftaran sampai penetapan hasil suara, dengan kata lain cuti. Soal mundur pun juga hanya dari jabatan di Alat Kelengkapan Dewan (AKD) bukan sebagai anggota DPR.
"Saat mulai disahkan sebagai calon, dia harus cuti atau mundur dari jabatan AKD. Itu tidak diatur di MD3 tapi kami atur direvisi ini, di UU MD3 diatur kalau anggota DPR jadi pejabat negara lain ya harus mundur. Itu kan normal," papar Rambe.
"Cuma kalau perbandingkan keputusan MK, kenapa petahana nggak harus mundur padahal posisi DPR kan sama yaitu elected official," sambung dia.
Politisi Partai Golkar ini menegaskan kalau usulan DPR adalah anggota DPR hanya perlu mundur dari jabatannya di AKD atau pimpinan dewan, bukan dari DPR. Namun pemerintah tidak menyetujuinya.
"Itu posisi sekarang. Tampaknya pemerintah ingin jalankan putusan MK itu bahwa (anggota DPR) harus mundur. Kita lihat perkembangannya, kalau diuji di MK kembali ya di-judical review-kan bagaimana, karena potensinya besar," ucap Rambe.
Anggota panja Arif Wibowo menyatakan, posisi anggota DPR dengan personel TNI atau Polri dan PNS harus dibedakan, sebab ada hak-hak anggota DPR yang tidak dimiliki instansi lain.
"Mayoritas fraksi ingin mundur saja dari jabatan. Misalnya aku wakil ketua Baleg, mundur saja dari wakil ketua baleg, bukan dari anggota. Kalau PNS dan TNI atau Polri harus mundur semuanya. Karena posisi berbeda," kata Arif.
"Yang satu dipilih, yang satu diangkat, itu akan panjang konsekuensinya. Putusan MK itu tidak tepat dalam menyusun pertimbangan. Tetap harus dibedakan yang dipilih dan diangkat," kata dia.
Permasalahan lain yang dibahas oleh Panja adalah soal penambahan kewenangan bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Arif menyebut bahwa wacana kewenangan Bawaslu untuk bisa mengadili jika ada money politic dianggap tidak tepat.
"Bawaslu bukan lembaga peradilan. Itu yang masih jadi pembicaraan. Penegakan Hukum Terpadu Pemilihan Umum (Gakumdu) dianggap enggak efektif. Kan UU sebelumnya menyatakan sampai terbentuknya peradilan khusus," terang Arif.
Penegakan Hukum Terpadu adalah program kerjasama Bawaslu dengan penegak hukum terkait permasalahan pemilu. Namun, Arif menyebutkan itu hanya khusus untuk penanganan sengketa administrasi tata usaha negara dan pidana. SDM Bawaslu juga dinilai anggota fraksi PDIP itu belum siap.