Liputan6.com, Jakarta - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengaku sudah mengungkapkan cerita terpidana mati kasus narkoba, Freddy Budiman, kepada staf khusus Presiden Joko Widodo, Johan Budi.
Cerita kepada mantan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu pada Senin malam 25 Juli 2016. Tapi tak ada tanggapan. Bahkan, sampai saksi kunci soal mobil bintang jenderal dua yang digunakan untuk membawa narkoba itu dieksekusi mati.
"Senin sore saya telepon Johan Budi. Saya bilang, mas ada informasi seperti ini dan dia bilang ini penting dan dia saya harapkan bicara dengan Jokowi. Tapi Senin sore dan sampai Kamis tidak ada kabar sedikit pun," beber Haris di kantronya, Kramat Senen, Jakarta, Jumat malam 29 Juli 2016.
Merasa tak ada tanggapan, Haris berinisiatif mengirimkan catatan Freddy Budiman terkait dugaan adanya pejabat terlibat jaringan narkoba, kepada Johan Budi.
"Akhirnya tulisan saya kirim ke Johan Budi dan hitungan menit ditelepon. Ketika sampai Kamis dia tidak jawab, sampai dia bilang ternyata dia juga enggak tahu kalau akan dieksekusi, Freddy," tutur Haris.
Sementara itu, belum ada konfirmasi dari Johan Budi terkait hal ini. Telepon dan pesan singkat yang dikirim Liputan6.com belum direspons.
Sebelumnya, Haris Azhar menuliskan pertemuannya dengan Freddy Budiman pada 2014 lalu di laman media sosialnya. Dalam tulisan tersebut, kepada Haris, Freddy mengaku menyetor sejumlah uang kepada aparat polisi dan BNN. Namun, terkait hal tersebut BNN membantah dan balik meminta Kontras membuktikan fakta ucapan Freddy dua tahun lalu itu.
Advertisement
Sementara itu Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengaku segera menyelidiki pengakuan Freddy Budiman tersebut.
"Saya sudah tugaskan Pak Kadiv Humas untuk bertemu Pak Haris Azhar, informasinya tepatnya seperti apa. Karena kalau kita lihat yang beredar viral itu informasinya kan enggak jelas, ada polisi, ada disebut nama BNN, yang lain-lain ya. Nah kita ingin tahu," ucap Tito di kantornya, Jakarta, Jumat 29 Juli 2016.
Tito mengaku sudah membaca tulisan tersebut. Dia tidak memungkiri adanya keterlibatan pihaknya."Bisa saja terjadi, kita akan dalami. Tapi bisa saja jadi alasan yang bersangkutan untuk menunda eksekusi, supaya ramai jadi tunda eksekusi," Tito mengatakan.