Journal: Pokemon Go, Perburuan Monster yang Mewabah

Gim yang dikreasikan John Hanke ini menggunakan paduan teknologi yang mengajak pemainnya tak hanya duduk, tapi juga berjalan-jalan.

oleh Mufti Sholih diperbarui 03 Agu 2016, 19:39 WIB
Diterbitkan 03 Agu 2016, 19:39 WIB
Bermain Pokemon Go
Pokemon GO Sedang Mewabah (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Liputan6.com, Jakarta - Derap langkah kaki berjalan bersamaan pada Minggu pagi, 17 Juli 2016. Pejalan kaki yang merupakan anak-anak muda asyik berjalan sembari memainkan telepon seluler mereka. Mereka berjalan pergi-pulang hampir 4,5 kilometer dari Stadion Gelora Bung Karno menuju Plaza Semanggi, dan sebaliknya. Gerak jalan bersama itu diselingi kegiatan mencari monster dalam permainan Pokemon Go.

Anak-anak muda ini merupakan anggota Komunitas Pokemon INA. Kegiatan ini merupakan yang pertama mereka lakukan selang beberapa hari setelah permainan buatan Niantic Labs ini meluncur di Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru, 6 Juli 2016. Hanya dalam hitungan hari, gim ini menjadi "sampar" ke sejumlah negara di belahan dunia, tak terkecuali Indonesia.

Rendra, pendiri sekaligus anggota komunitas Pokemon Go INA, menuturkan, gim ini memang sudah ditunggu-tunggu. Alasannya sederhana, pengembang membuat gim dengan genre berbeda dari permainan lain yang sudah ada. Gim yang dikreasikan John Hanke ini, menggunakan paduan teknologi yang mengajak pemainnya tak hanya duduk, tapi juga berjalan-jalan. “Jadi kita main gim, sembari jalan-jalan,” ucap Rendra kepada Liputan6.com, Minggu (17/7/2016).

Pokemon Go

Akhir pekan lalu, lembaga riset Survey Monkey Intelligence mencatat, 75 juta orang sudah mengunduh aplikasi Pokemon Go. Bahkan pada 14 Juli 2016, jumlah pengguna aktif Pokemon Go di Amerika Serikat, mencapai 25 juta. Ini belum ditambah dengan jumlah pengguna aktif lain di belahan dunia. Angka ini menggambarkan, Pokemon Go menjadi permainan paling laris dimainkan saat ini.

Wabah Pokemon Go yang terjadi di Indonesia, tak begitu saja hadir. Jauh sebelum dirilis, cikal bakal penggemar gim ini sudah muncul. Desas-desus di lingkaran gamer pada Mei 2014, menyebutkan akan muncul gim Pokemon. Kabar ini mengemuka setelah Google dan Pokemon Company sempat membuat proyek memunculkan karakter Pokemon di layanan Google Maps. Proyek itu digagas buat menyambut April Mop.

Ilustrasi Pokemon Go 2 - Liputan6.com/Mochamad Wahyu Hidayat

Proyek "main-main" ini ditanggapi serius gamer dan pencinta Pokemon. Muhammad Sulhan, salah satu admin Grup Facebook komunitas Pokemon Go INA, menyebut, mereka sudah menunggu lama kehadiran gim yang menggabungkan teknologi pemetaan milik Google Maps dan realitas tertambah atau augmented reality (AR). Menurut dia, hampir setahun lebih mereka menunggu, gim yang asalnya dari serial kartun ini muncul. “Kami ada dari setahun lalu,” kata Sulhan kepada Liputan6.com, Minggu (31/7/2016).

Penantian anggota komunitas terbayar. Sebab, John Hanke, kreator Pokemon Go, rupanya sudah mendekati Pokemon Company sejak desas-desus itu muncul di dunia maya. Hanke ingin membuat sebuah gim yang tak hanya membawa gamer asyik bermain tanpa harus duduk dan lupa bergerak.

Sejarah Pokemon.

Bermodal pengalaman membuat Ingress, Hanke yang sebelumnya merupakan pendiri Keyhole,--perusahaan pemetaan yang dibeli Google dan berubah menjadi Google Earth, berhasil mendekati Nintendo dan Pokemon Company. Dengan dana US$ 25 juta, Hanke membentuk tim berjumlah 40 orang, dan bereksperimen meluncurkan Pokemon Go. Eksperimen Hanke pun di luar prediksi. Gim ini mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan.

Diburu ‘Pemburu’

Sambutan paling hangat dari kehadiran Pokemon Go di Indonesia, datang dari kalangan muda dengan usia 20 tahun ke atas. Popularitas penonton ini di kalangan usia menengah, menunjukkan pemain gim umumnya pernah menonton serial kartun Pokemon pada 2001. Muhammad Sulhan, salah satu admin Grup komunitas Pokemon Go INA, menerangkan, secara demografis, gim ini dimainkan anak muda. Saat ini, ada 94 ribu anggota Komunitas Pokemon Go INA. Mereka tercatat di grup Facebook komunitas ini. Usia mereka rata-rata 20-30 tahun. Mereka umumnya merupakan mahasiswa dan pekerja.

Fakta ini diperkuat dengan hasil riset Survey Monkey Intelligence, yang dilansir Forbes, 26 Juli 2016. Riset tersebut menunjukkan, 46 persen trainer Pokemon Go berusia 18-29 tahun. Ini lebih banyak dibanding trainer berusia 30-50 tahun yang mencapai 25 persen, dan trainer berusia 13-17 tahun yang hanya 22 persen. Sementara yang berusia di atas 50 tahun hanya 6 persen. Sebanyak 63 persen trainer Pokemon Go merupakan perempuan. Sisanya sebanyak 37 persen merupakan laki-laki.

Para pemain pun mengunjungi berbagai lokasi, termasuk kuil Sensoji (Foto: Business Insider)

Kecenderungan ini sesuai dengan hasil riset yang dirilis Entertainment Software Association (ESA) pada Mei 2016. Dalam hasil studinya, ESA menemukan, rata-rata pemain gim berusia 18-35 tahun. Jumlah mereka mencapai 29 persen dari pemain gim di dunia. Angka ini lebih besar dibanding dengan usia 18 tahun ke bawah, yang tercatat 27 persen. Sedangkan jumlah pemain gim dengan usia 36 tahun hingga 49 tahun mencapai 18 persen. Adapun komposisi jenis kelamin, 51 persen merupakan laki-laki, dan 49 persen merupakan perempuan.

Dengan jumlah pengunduh mencapai 75 juta, Pokemon Go jadi gim terlaris sepanjang sejarah. Kesuksesan Pokemon Go mengalahkan Candy Crush Saga, sebagai gim paling laris diunduh pada 2013. Survey Monkey Intelligence mencatat, pengguna aktif harian (daily active users) gim ini pun terus menanjak sejak muncul awal Juli. Hanya sepekan setelah dirilis, Pokemon Go bisa menyalip Twitter dan Google Maps. Jumlah pemain yang aktif pada 13 Juli 2016, mencapai 25 juta. Meski belakangan, pengguna aktif mulai menurun.

Pokemon Go menjadi laris lantaran bisa menggabungkan realitas nyata dan dunia virtual. Ini menjadikan pemain Pokemon merasa berimajinasi menjadi tokoh dalam serial kartunnya. Apalagi, gim ini bisa diunduh secara gratis, meski menyediakan item berbayar di dalam aplikasi.

Seorang gamer Suriah menggunakan aplikasi Pokemon Go di ponselnya untuk mencari Pokemons di antara puing-puing di kota Douma, Damaskus (23/7). (AFP PHOTO / Sameer Al-Doumy)

Sejauh ini, 30 negara sudah bisa mengakses Pokemon Go. Lembaga survei Apps Annie mencatat, gim ini dimainkan hampir satu jam lebih dalam sehari, oleh trainernya. Ini jelas berbeda dengan gim lain, yang umumnya hanya dimainkan 20 menit sehari. Sebagai perbandingan, Indianeexpress.com mencatat, orang dewasa di Amerika Serikat memainkan Pokemon Go hampir 75 menit, sedangkan Facebook hanya 35 menit.

Kecenderungan waktu bermain yang lebih lama, disebut laman BGR, Pokemon Go melewati batas revolusi. Sebab, perburuan monster dalam Pokemon Go menjadikan dua revolusi industri konten ponsel yang terjadi pada 2010 dan 2013, sebagai hal yang biasa. Demam Angry Birds pada 2010 dan Candy Crush pada 2013 disusul Clash of Clans, tak lebih meledak dari wabah virus Pokemon Go. Diprediksi, pola permainan gim berubah menggunakan sistem augmented reality seperti yang digunakan dalam Pokemon Go.

Pokenomics dan Biaya Bermain Gim

Wabah Pokemon Go yang sudah menjamur di belahan dunia, menjadikan Pokemon Go sebagai produk bisnis yang sangat menguntungkan. Dengan angka statistic yang tercatat di atas, Pokemon Go menjadi ladang bisnis dan keuntungan bagi perusahaan pengembang dan perusahaan lain. Nintendo, pemilik 32 persen saham Pokemon Go, dan salah satu pendana awal Pokemon Go, tercatat mengalami kenaikan saham hingga 53 persen, selang tiga hari setelah gim ini diluncurkan.

Dalam laman Newsweek.com, Christopher P Willis, salah satu praktisi aplikasi, menyebut, demam keuntungan yang didapat perusahaan pengembang sebagai Pokenomics. Keuntungan yang didapat pengembang, didasarkan atas biaya yang dikeluarkan trainer Pokemon Go. Sepekan selepas dirilis, Pokemon Go meraup pendapatan US$ 1,6 juta hanya dari perangkat berbasis iOs.

Menggunakan kepopuleran Pokemon Go, sejumlah warga Suriah mencoba menarik perhatian dunia tentang kekacauan di negerinya. (Sumber Moustafa Jano via BBC)

Pada pekan kedua setelah dirilis, lembaga Survey Monkey Intelligence mencatat, pengguna di Amerika Serikat menghabiskan uang US$ 6 juta dalam sehari untuk bermain Pokemon Go. Sementara Apps Annie mencatat, trainer Pokemon Go di Jepang menghabiskan US$ 2 juta dalam sehari untuk bermain gim ini. Pendapatan Niantic Labs pun meningkat pada akhir Juli. App Annie mencatat, Pokemon Go membukukan revenue US$ 10 juta dalam sehari, dari pembelian dalam aplikasi di Apps Store dan Google Play Store.

Di Indonesia, belum ada lembaga yang mencatat secara resmi berapa uang yang dikeluarkan trainer buat bermain Pokemon Go. Tapi jika merujuk ke hasil survei NewZoo pada 2015, Indonesia merupakan satu dari tiga negara yang cepat berkembang dalam hal revenue. Ini menandakan, trainer di Indonesia merupakan kelompok yang berani mengeluarkan duit. Lantaran itu, Indonesia menempati ranking ke-19 dari 20 negara dengan revenue gim terbesar di dunia pada 2015.

Seorang trainer berhasil menangkap monster ke dalam Pokeball (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Dengan angka statistik ini, wabah keuntungan Pokemon Go disinyalir menjalar ke perusahaan-perusahaan lain yang tak terhubung dengan Niantic Labs, Nintendo, atau Pokemon Company secara langsung. Di Amerika Serikat, restoran atau coffee shop menyediakan tempat khusus untuk para trainer. Manajemen perusahaan menjadikan gim Pokemon Go sebagai cara untuk menarik untung. Sementara di Jepang, McDonalds sepakat bekerja sama dengan menjadikan gerai mereka sebagai gym atau pokestop.

Di Indonesia, Museum Nasional menjadi perusahaan pertama yang memanfaatkan gelombang keuntungan dari kehadiran Pokemon Go. Kemudian, Ace Hardware menjadi perusahaan selanjutnya. Belakangan, restoran-restoran pun menyediakan tempat khusus buat menangkap monster Pokemon Go. Tak ketinggalan, Grab membuat acara promo dengan embel-embel Pokemon Go.

Senangnya Bermain Pokemon

Lepas dari kemunculan Pokemon Go yang menghasilkan Pokenomics, Pokemon Go juga menghasilkan berita yang kurang mengenakan. Mulai dari dua orang jatuh dari tebing, hingga larangan memainkan gim di Museum Negara Auschwitz-Birkenau lantaran dianggap tidak sopan. Meski begitu, ada alasan lain kenapa gim ini begitu semarak.

Keinginan John Hanke membuat gim yang mengajak pemainnya bergerak, disebut banyak analis sebagai salah satu hal penting dalam perrmainan ini. Jordan Girman, pakar video game menyebut, bermain gim mampu menghasilkan endorpin. Namun, olahraga juga mampu menghasilkan endorpin. Girman pun menilai, Hanke menggabungkan keduanya. “Ketika ada gamer keluar dari sofa dan mengejar Pokemon, otak dapat dua pukulan hebat dari hal yang baik,” ucap Girman seperti disitat dari Mobify.com.

Bermain Pokemon Go (Liputan6.com/Iskandar)

Kebahagiaan saat bermain inilah yang menurut Amelia Tiat, jurnalis bidang teknologi, hadir dalam Pokemon Go. Slogan ‘go to catch ‘em all’ milik Pokemon mengisyaratkan, permainan ini tak hanya menuntut orang untuk melakukan hal baik atau hal buruk, tapi menuntun seseorang untuk melakukan semua hal. Termasuk, bertemu dengan orang-orang yang tak pernah dikenal. “Pokemon Go menawarkan kesempatan tak terbatas untuk pengalaman baru,” tulis Tiat di laman Newstatesman.com.

Rendra, pendiri Komunitas Pokemon Go INA, sepaham dengan komentar dua pakar. Menurut dia, gim ini hadir saat gamer sudah jenuh dengan permainan yang hanya mengajak mereka duduk. Apalagi, kecanggihan teknologi yang banyak berkembang belakangan ini, terlalu memanjakan pengguna dengan tak membuat mereka beranjak ke luar ruangan. Karena itu, kedatangan gim Pokemon Go membuat mereka senang, karena mampu mengajak gamer bermain sekaligus membawa mereka bertualang di dunia nyata.

“Ketika ada permainan seperti ini, kita tidak sengaja bertemu di ruang publik,” kata Rendra.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya