Eks Mendagri Gamawan Fauzi Penuhi Panggilan KPK Terkait E-KTP

Keterangan Gamawan Fauzi dibutuhkan penyidik untuk tersangka Irman.

oleh Oscar Ferri diperbarui 12 Okt 2016, 11:47 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2016, 11:47 WIB
Gamawan Fauzi_20140319

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP. Gamawan yang tiba di KPK, hanya menjawab singkat soal pemeriksaan ini.

"Ini pertama kalinya (diperiksa). Jadi saya belum tahu ini," kata Gamawan Fauzi di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (12/10/2016).

Gamawan yang tiba mengenakan kemeja dan jaket pun langsung masuk ke lobi KPK. Keterangannya dibutuhkan penyidik untuk tersangka Irman.

"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka IR," ucap Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha.

Sebelumnya, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin sempat menyinggung peran Gamawan Fauzi terkait pengadaan e-KTP. Menurut Nazaruddin, mantan Mendagri Gamawan terlibat kasus ini.

"Sekarang yang pasti e-KTP sudah ditangani oleh KPK. Kita harus percaya dengan KPK, yang pasti mendagrinya waktu itu harus tersangka," kata Nazaruddin belum lama ini.

Pada Jumat 30 September 2016, KPK menetapkan mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri, Irman sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP tahun 2011-2012. Irman diduga melakukan korupsi secara bersama-sama dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Sugiharto.

Sugiharto yang pernah menjabat Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri itu sudah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Irman dan Sugiharto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

KPK telah mendalami kasus dugaan korupsi proyek e-KTP tahun 2011-2012 ini pada tingkat penyidikan hingga dua tahun lebih. Baik Irman maupun Sugiharto, dalam sengkarut proyek senilai Rp 6 triliun itu diduga telah menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 2 triliun.
‎

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya