Liputan6.com, Jakarta - "Lu ngapain ke sini, Hok?" teriak pendemo saat calon gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok kampanye di Pasar Rawabelong, Jakarta Barat, 2 November 2016 lalu.
Selain berteriak-teriak, pendemo juga meminta Ahok untuk segera meninggalkan lokasi.
Baca Juga
Melihat situasi yang tidak kondusif, Ahok pun segera meninggalkan tempat di mana dia sedianya akan blusukan menyapa warga.
Advertisement
Pendemo tampak mendorong-dorong polisi yang mengadang mereka mendekati Ahok. Gubernur DKI Jakarta itu pun melanjutkan menyapa warga, tapi dengan berjalan cepat.
Di ujung gang, staf Ahok menyetop sebuah angkot dan mengevakuasi Ahok. "Naik ini dulu pak," ujar staf itu.
Sebelum naik angkot, Ahok masih sempat menyalami warga dan tersenyum. Ahok pun membatalkan blusukan ke Kali Sekretaris.
Didemo di Pasar Rawabelong menjadi pengalaman kurang mengenakkan Ahok di masa kampanye Pilkada DKI Jakarta. Namun, itu bukan yang terakhir, kejadian serupa kembali terulang di Kedoya Utara, Jakarta Barat, Kamis 10 November 2016.
Puluhan warga yang mengaku dari Kedoya Utara, Jakarta Barat menolak kedatangannya dengan membawa spanduk bertuliskan 'Tolak Penista Agama' dan 'Usir Ahok'
Sebagian pedemo mengenakan peci dan meneriakkan "Usir Ahok". Mereka juga menyanyikan yel-yel. "Tolak, tolak, tolak si Ahok".
Pendemo berkumpul dan berteriak di depan Jalan Raya Kedoya. Di seberang pedemo tampak ratusan polisi sudah berjaga lengkap dengan senjata laras panjang dan rompi antipeluru.
Ahok pun akhirnya membatalkan blusukannya di Kedoya Utara.
"Ya tadi, harusnya kita memang turun, cuma setelah saya lihat putar (mobil) dua kali, saya lihat polisinya banyak pegang gas air mata. Nah terus lalu lintas kan macet. Nah kalau saya turun, ketemu masyarakat, mereka ribut, pasti polisi tahan kan. Kalau tahan, pasti dia mungkin akan lempar-lemparan kan, saya pikir yang jadi korban warga dan mobil-mobil orang. Kasihan," ujar Ahok di kediamannya, Pluit, Kamis 10 November 2016.
Ahok menyatakan tak ingin warga, anak-anak dan mobil menjadi korban amukan pendemo. Meski awalnya ingin turun dari mobilnya, akhirnya Ahok membatalkan, sebab melihat kondisi jalan yang ramai warga dan macet.
Ahok mengaku tak gentar meski kerap didemo kasus dugaan penistaan agama setiap blusukan. Sebab, tujuan utama blusukan bukan meminta warga agar memilih dirinya, melainkan mengecek wilayah.
"Kalau didemo terus enggak apa, diemin aja. Orang kita datangin bukan untuk minta suara kok. Kamu kalau ikut saya pernah enggak saya bilang 'pilih nomor dua ya'. Pernah enggak saya ngomong gitu? Enggak pernah," kata Ahok.
Menurut Ahok, saat kampanye, dirinya lebih memilih menyampaikan program-programnya yang telah dijalankan.
"Paling saya sampaikan visi-misi, pilih yang bersih, transparan, profesional. Jadi kalau ada yang lebih yang bersih, transparan kamu pilih dia? Saya konsisten dari dulu karena ingin mengedukasi kan," jelas dia.
Oleh karena itu, kata Ahok, apabila benar demo yang ada selama ini bertujuan agar dirinya tak lagi maju pada Pilkada DKI 2017, hal itu sangat disayangkan.
Menurut Ahok, saat ini memang sudah zamannya mengganti cara perang menggunakan peluru dengan pemungutan suara. Saat ini, bukan lagi era bawa-bawa massa atau berdemo.
"Makanya sekarang kita ganti, yang sekali perang mati ratusan ribu dengan cara kertas suara. Kita enggak ada lagi zaman bawa-bawa massa. Semua tentukan (saat Pilkada). Istilahnya peluru digantikan suara. Dulu pakai peluru sekarang kita ganti dengan kertas suara," tandas Ahok.
Dia meminta agar massa yang menolak kedatangannya selama masa kampanye Pilkada 2017 diproses secara hukum.
"Saya kira massa yang tolak-tolak itu sudah tidak benar, harus segera diproses secara hukum," kata Ahok.
Lapor Bawaslu
Kerap mendapatkan halangan dari sejumlah kelompok saat kampanye, tim pemenangan pasangan petahana Pilkada DKI 2017, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat atau Ahok-Djarot mendatangi Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI. Mereka melaporkan dugaan pelanggaran selama kampanye. Sikap tersebut tentu sangat merugikan pasangan Ahok-Djarot.
"Kita ingin menggunakan hak kita dari paslon untuk berkampanye dengan aman, baik, tanpa penolakan," ujar Wakil Ketua Bidang Media dan Opini Publik Tim Pemenangan Ahok-Djarot, Wibi Andrino di Kantor Bawaslu DKI, Sunter, Jakarta Utara, Rabu malam 9 November 2016.
Wibi menjelaskan, penolakan itu pertama kali diterima Ahok saat berkampanye di kawasan Rawabelong, Jakarta Barat beberapa hari lalu. Penolakan bahkan merembet pada pasangannya, yakni Djarot.
Dia menduga, pengadangan tidak dilakukan oleh warga setempat. Namun massa tersebut diduga telah disiapkan oleh kelompok tertentu untuk mengganggu aktivitas kampanye pasangan nomor urut dua itu.
"Kita butuh pihak Bawaslu untuk pro-aktif melihat aksi yang berkembang. Apakah betul cara-cara ini bisa dinaikkan ke ranah pidana. Seperti yang kita pahami, laporan harus melalui Bawaslu dulu sebelum sampai ke pihak kepolisian," kata Wibi.
Tunggu Saksi
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta Mimah Susanti mengatakan, saat ini pihaknya masih memproses kasus dugaan menghalangi kampanye calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
"Ada aksi-aksi massa yang menghalangi, diduga menghalangi kegiatan salah satu paslon. Sudah kita proses sebenarnya di Jakarta Barat yang pertama karena temuan kita," ujar Mimah dalam diskusi di Warung Daun Jakarta, Sabtu 12 November 2016.
Namun, kata Mimah, dugaan pelanggaran itu masih belum bisa ditindaklanjuti lantaran saksi yang dipanggil tidak datang.
"Berikutnya ada laporan ke kita, salah satu tim pasangan calon nomor 2, sudah lapor kita dan ini dalam proses penanganan. Pelapornya sudah kita panggil, sudah ada terlapornya, semalam kita tunggu nanti kita panggil lagi Senin," kata dia.
Mimah berharap, saksi-saksi yang dipanggil segera hadir agar kasus ini terang.
"Bagaimana sih sebenarnya peristiwa di lapangan karena Bawaslu harus membuktikan dulu walaupun ya mungkin memang di lapangan kita harus kita lihat fenomenanya memang paslon nomer dua akhirnya enggak bisa kampanye. Nah ini harus kita membuktikan," papar dia.
"Walaupun yang di Jakarta Utara ada lho terjadi (penolakan) Pak Djarot dialog, walaupun Pak Ahok enggak diterima, akhirnya Pak Djarot jadi dialog di sana. Jadi kita harus objektif, kita akan dudukkan persoalannya yang sebenarnya, semoga nanti hari Senin yang kita panggil bisa hadir," tegas Mimah.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pusat Muhammad mengaku kaget dengan adanya penolakan kampanye di beberapa tempat salah satu pasangan calon dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
"Kita tidak menduga juga ada seperti ini, ada praktik seperti ini, ini baru terjadi. Nah, makanya setelah kejadian di Rawabelong itu kita langsung berkoordinasi kepada Pak Kapolda. Lalu Pak Kapolda berdasarkan koordinasi Bawaslu DKI itu akan mengerahkan petugas keamanan," ungkap Muhammad di Hotel Ibis Jakarta, Jumat 11 November 2016.
Dia mengatakan timnya sedang mengkaji aduan timses Ahok-Djarot soal penolakan kampanye itu. Pihaknya tidak mau terburu-buru menyimpulkan ada pihak yang mengompori penolakan tersebut.
Dia pun meminta agar warga Ibu Kota tidak mengulangi kejadian itu. Sebab, semua pasangan calon dalam Pilkada DKI berhak kampanye guna menyampaikan visi dan misi.
"Kita posisinya mengingatkan warga negara, masyarakat DKI, bahwa pasangan calon itu punya hak untuk berkampanye. Dan warga negara itu tidak boleh menghalangi, jadi kita akan tegas ke depannya," pungkas Muhammad.
Kejadian Pertama
Penolakan kampanye Ahok di sejumlah tempat membuat polisi memperketat pengamanan kampanye calon petahana tersebut.
Namun, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta Sumarno meminta agar aparat keamanan tidak berlebihan dalam mengamankan pasangan calon gubernur DKI Jakarta.
"Harapan saya pengamanan itu jangan sampai berlebihan sehingga kesannya mau ada situasi yang sangat genting, sekian banyak pasukan dan sebagainya, tapi memang dari segi keamanan kembali ke Kapolda Metro Jaya," ujar Sumarno dalam diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu 12 November 2016.
Sumarno mengatakan, KPUD tidak memiliki standar pengamanan kepada pasangan calon. Sebab kewenangan KPU hanya sebatas tahapan pilkada. Sementara pengamanan menjadi kewenangan Polda Metro Jaya.
Namun, kata Sumarno, ketatnya pengawalan justru bisa merugikan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur karena tidak bisa dekat dengan warga.
"Kalau pengamanannya begitu ketat mengakibatkan itu jarak antara paslon dengan massa pendukungnya, ini merugikan calon itu sendiri," ujar dia.
Cara mengatasinya, kata Sumarno adalah dengan berkoordinasi antara KPU, Bawaslu dan Kepolisian.
"Kita komunikasi dengan yang lain. Beberapa titik penolakan harus diantisipasi. Data wilayah yang rawan Bawaslu yang punya. Kita akan koordinasi untuk pastikan calon aman," tutur dia.
Sumarno menegaskan, tidak boleh ada penolakan terhadap salah satu pasang calon pada saat kampanye.
Dia mengaku prihatin dengan kondisi kampanye Pilkada DKI Jakarta kali ini.
"Kampanye sudah dua minggu, cukup memprihatinkan bagi saya, karena ada paslon yang mengalami penolakan," ujar dia.
Menurut Sumarno, penolakan pada saat kampanye baru kali ini terjadi.
"Ini baru kejadian sekarang. Di 2007 enggak ada, di 2012 juga enggak terjadi walaupun isunya kencang sekali," ujar dia.
Untuk itu, kata Sumarno, titik-titik penolakan harus segera diantisipasi.
"Bawaslu yang sudah punya titik rawan itu. Bahwa kita terus berkoordinasi bahwa paslon aman," tandas Sumarno.
Banyak Pelanggaran
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta Mimah Susanti menyebut, ada 66 tempat kampanye yang diduga terjadi pelanggaran dari 137 titik yang dikunjungi tiga pasang kontestan pilkada.
Pelanggaran itu terjadi sejak 28 Oktober hingga 10 November 2016.
"Nah dari 137 itu memang ada 66 titik yang memang kita lihat ada dugaan pelanggaran di situ. Semuanya memang sudah terkomunikasikan dengan tim kampanye dan sudah ditindaklanjuti," ungkap Mimah dalam diskusi di Warung Daun Jakarta, Sabtu 12 November 2016.
Ia mengatakan saat ini ada dua yang masih dalam proses penanganan Bawaslu. Contohnya ditemukannya tim kampanye yang tidak terdaftar tetapi ikut berkampanye.
"Ini kita masih adaptasi kali ya tim-tim kampanye. Kita pada kegiatan itu minta mereka membubarkan diri atau dibubarkan. Pilihannya mereka membubarkan diri," ujar dia.
Kemudian ada pula yang berkampanye di tempat-tempat yang dilarang misalnya milik pemerintah.
Bawaslu DKI Jakarta mencatat pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni terbanyak melakukan pelanggaran selama periode kampanye 28 Oktober hingga 10 November 2016.
"Dugaan terjadi 15 pelanggaran," kata Ketua Bawaslu DKI Jakarta Mimah Susanti di Jakarta Sabtu 12 November 2016.
Bawaslu juga mendata pasangan nomor urut dua Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot) dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Kedua pasangan itu melakukan pelanggaran sebanyak enam kali.
Dugaan pelanggaran yang dilakukan pasangan Agus-Sylviana yakni keberadaan relawan yang belum terdaftar, tidak ada izin kampanye, keterlibatan anak di bawah usia dan pemasangan alat peraga kampanye (APK) yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Sementara, pelanggaran yang banyak dilakukan pasangan Ahok-Djarot berupa penggunaan fasilitas negara, relawan belum terdaftar dan kegiatan yang tidak memiliki izin kampanye.
Kemudian, pelanggaran yang dilakukan pasangan Anies-Sandiaga di antaranya dugaan politik uang, keterlibatan anak-anak, penggunaan tempat ibadah dan tidak ada izin kampanye.
Bawaslu DKI mengimbau kepada para pasangan calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta, mematuhi aturan dan menjaga keamanan melalui kampanye damai, seperti yang sudah dideklarasikan sebelumnya.
Seperti dikutip dari Antara, selama periode 28 Oktober-10 November 2016, Bawaslu DKI juga menerima laporan 137 lokasi kampanye yang dilakukan tiga pasangan calon.
Lokasi kampanye itu meliputi 31 lokasi di Jakarta Barat, 10 lokasi di Jakarta Pusat, 27 lokasi di Jakarta Timur, 24 lokasi di Jakarta Utara, 44 lokasi di Jakarta Selatan dan satu titik di Kepulauan Seribu.
Pasangan Anies-Sandiaga terbanyak melaporkan lokasi kampanye yang tersebar pada 82 lokasi, pasangan Ahok-Djarot melaporkan 52 lokasi kampanye dan Agus-Sylviana sebanyak satu lokasi.
Tak hanya itu, Bawaslu DKI juga menemukan 32 spanduk yang mengandung unsur kampanye negatif. Terdiri dari 18 spanduk di Jakarta Pusat, tujuh di Jakarta Timur, tiga di Jakarta Barat, dua di Jakarta Selatan dan Jakarta Utara.
Mimah menuturkan petugas pengawas pemilu telah menindak langsung beberapa temuan pelanggaran dan sebagian masih proses tindak lanjut.
Tindakan yang dilakukan petugas seperti pembubaran kampanye pasangan Ahok-Djarot di RPTRA Jakarta Selatan. Kemudian teguran terhadap calon Wakil Gubernur Sylviana saat mendatangi majelis taklim di Kelapa Gading Jakarta Utara. Sementara pasangan Anies-Sandiga ditindak karena dugaan melakukan politik uang saat kampanye.