Kesaksian Alumni STIP Soal Budaya Kekerasan Turun Temurun

Upaya memotong rantai kekerasan sudah sejak dulu dilakukan, namun tetap terjadi.

oleh Andrie Harianto diperbarui 13 Jan 2017, 06:26 WIB
Diterbitkan 13 Jan 2017, 06:26 WIB
Aksi Pita Hitam Taruna STIP Untuk Dimas Dikita Handoko
Sebagai bentuk solidaritas dan tanda berkabung, Rabu (30/04/14) para taruna mengenakan pita hitam melingkar di lengan kiri selama seminggu (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Kekerasan kembali terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta. Amirullah Aditya Putra (19), taruna tingkat satu itu tewas setelah dianiaya seniornya. Mirisnya, penganiayaan terjadi di dalam lingkungan pendidikan, asrama dimana mereka tinggal.

Salah seorang taruni alumni STIP yang meminta Liputan6.com menyembunyikan nama dan inisialnya dengan alasan keamanan, menuturkan bahwa kekerasan di sekolah pencetak para pelaut tersebut bukan terjadi kali ini saja.

Menurut dia, budaya kekerasan turun-temurun terjadi di kalangan taruna-taruni STIP. "Itu bukan budaya yang dibiarkan oleh sekolah, secretly di antara para siswa membuat budaya itu tetap berlangsung," kata taruni jebolan STIP itu saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis (12/1/2017).

Pihak kampus, kata dia, tidak tinggal diam. Beragam cara dilakukan guna menghalau kekerasan yang membudaya tersebut. Namun mata rantai borok dunia pendidikan tersebut tidak kunjung selesai.

"Usaha STIP dari dulu sampai sekarang, segala cara sudah dicari metodenya, namun tetap sulit dihindari (kekerasan)," kata sumber tersebut.

Pemisahan asrama untuk tiap tingkatan taruna sudah dilakukan. "Tapi ketemu saja cara baru buat panggil juniornya. Mereka (para taruna junior) sering dianggap sebagai bahan lucu-lucuan oleh seniornya," kata dia.

Taruni alumni STIP ini menyarankan, mata rantai kekerasan di sekolahnya dulu dapat putus bila ada pemisahan kampus antara taruna senior dengan taruna tingkat pertama, seperti halnya Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri (STPDN).

"Kalau masih saja ketemu jadinya tidak sehat, dan akan terus terjadi seperti itu," ujar dia.

Deretan Kekerasan STIP

Selain Amirullah Aditya Putra (19), Dimas Dikita Handoko menjadi korban tewas penganiayaan seniornya, Jumat 25 April 2014.

Penganiayaan terjadi di sebuah rumah kos di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Tidak hanya Dimas, di rumah kos berlantai 2 milik Ibu Siagian di Jalan Kebon Baru II, Semper Barat itu ada 6 mahasiswa junior STIP lainnya.

Di tempat itulah penganiayaan berlangsung. Dimas mengalami luka akibat pukulan yang dideritanya, mulai dari perut, dada, hingga ulu hati. Dia juga sempat jatuh pingsan setelah menerima pukulan.

Namun para pelaku terus memukuli hingga akhirnya dibawa ke RS Pelabuhan Jakarta. Nyawa Dimas tak tertolong sebelum menjalani pemeriksaan dokter pada Sabtu 26 April 2014 dini hari.

Sementara 6 mahasiswa lainnya, yaitu Marvin Jonatan, Sidik Permana, Deni Hutabarat, Fahrurozi Siregar, Arief Permana, dan Imanza Marpaung yang merupakan rekan seangkatan Dimas juga mengalami memar di bagian dada dan kepala sehingga harus mendapat perawatan rumah sakit.

Penganiayaan hingga menelan korban tewas juga dialami Daniel Roberto Tampubolon (22). Kasus penganiayaan tersebut terkuak setelah ibunda korban Daniel, Rosannaria Simanuillang, membuat laporan ke Sentra Pelayanan Polsek Cilincing, Jakarta Utara pada Rabu malam 8 April 2015 pukul 23.00 WIB.

Sekola Tinggi Ilmu Pelayaran (Liputan6.com/Nanda)

Dalam laporannya, Rosannaria menerangkan bahwa anak laki-lakinya dipukuli dan disuruh memakan cabai dalam jumlah banyak.

"Kejadiannya itu Senin (6 April 2015) sekitar pukul 07.30 WIB," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Martinus Sitompul di Mapolda Metro Jaya, Kamis 9 April 2015.

Menurut ibunda Daniel , sang anak sempat dilarikan ke Rumah Sakit Pelabuhan, Koja, Jakarta Utara karena kondisinya mengkhawatirkan. Pemuda berambut plontos itu mengalami sesak napas, mual, nyeri di bagian ulu hati, dan pusing.

Polsek Cilincing kemudian menetapkan lima tersangka terkait kasus penganiayaan Daniel. Kelimanya yang merupakan senior Daniel itu adalah Magister Manurung, Roma Dani, Iwan Siregar, Filipus Siahaan, dan Heru Pakpahan.

Mei 2008, polisi menyelidiki kematian taruna tingkat satu STIP Agung Bastian Gultom. Penyidik menggali makam Agung untuk mencari bukti penyebab pasti kematian korban setelah tiga hari dimakamkan.

Sebab, sebelum tewas korban diduga dianiaya 10 seniornya di dalam kampus STIP di Marunda. Misteri tewasnya Agung terkuak. Hasil otopsi menemukan beberapa luka bekas penganiayaan di tubuh korban yang diduga kuat dilakukan seniornya di dalam kampus. Dugaan itu diperkuat hasil reka ulang.

Dari reka ulang diketahui korban bersama 3 rekannya dihukum karena dianggap melakukan kesalahan dalam latihan pedang pora menyambut Agustusan.

Polres Jakarta Utara menetapkan 4 tersangka pembunuh Agung. Para tersangka tak lain senior korban di STIP, yaitu Lasmono, Anggi, Hari Nugraha, dan Anton.

Pengawasan Ketat

STIP
Pagar pemisah antar barak yang dihuni tiap angkatan Taruna STIP (Liputan6.com/Nanda)

Upaya menghindari kekerasan fisik di STIP dirancang sedemikian ketat. Bahkan, pagar gedung yang memisahkan taruna tiap tingkatan dibuat bak penjara super maksimum. Pagar kawat tinggi sekitar 3 meter dengan kawat berduri di atasnya. Kamera pengitai pun disiapkan di tiap pojok asrama.

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Perhubungan, Wahju Satrio Utomo, mengatakan, bahwa barak yang menampung para taruna tingkatan dibuat terpisah.

"Jadi mereka enggak bisa nyeberang pagar," kata Wahju di STIP Jakarta, Rabu 11 November 2016.

"Ada CCTV juga, sehingga memonitor kegiatan jam 10 malam ke atas. Biasanya aktivitas sampai jam setengah 10. Jam 10 malam tidur tidak boleh keluar barak," Wahju melanjutkan.

Penjagaan pun tidak sembarangan, STIP melibatkan personel TNI dan Polri. Ada 12 orang setiap malamnya menjaga STIP.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan, tidak boleh lagi ada kekerasan yang dialami taruna saat mengikuti pendidikan di akademi apalagi sampai mengakibatkan kematian. Peristiwa yang dialami Amirullah adalah borok yang memalukan.

"Apa yang terjadi baru-baru ini di sebuah pendidikan vokasional adalah sesuatu yang memalukan, tidak patut, dan tidak beradab," kata Budi Karya di depan ratusan taruna Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang, Jawa Tengah, Kamis (12/1/2017).

Dia mengatakan, perilaku siswa di sekolah di bawah naungan Kementerian Perhubungan adalah sangat merugikan dan mencemarkan nama baik. Sehingga pelakunya patut mendapat hukuman tegas. Taruna di sekolah vokasional juga seharusnya merupakan siswa yang beradab dan memiliki kepandaian yang baik bukan sebaliknya yang justru menjadi manusia yang merugikan.

"Mari kita tinggalkan cara-cara kekerasan dan sok senioritas, karena seharusnya lulusan sekolah ini bisa menjadi duta Indonesia di luar negeri," kata Budi Karya seperti dilansir dari Antara.

Kementerian Perhubungan, kata Budi, akan terus mengawasi menindak tegas terhadap siswa yang ketahuan melakukan kekerasan. Sebab, kekerasan tidak boleh dilakukan di sekolah.

Selain itu, dia juga minta agar pengelola dan pengajar akademi agar bersama-sama ikut mengawasi dan menerapkan regulasi agar kejadian serupa tak terus berulang.

"Atas kejadian tersebut tidak perlu sekolah ditutup, tapi yang perlu adalah mengawasi secara tegas dan menerapkan regulasi," kata Menhub.

Menhub mengimbau para taruna yang menjadi korban kekerasan agar melaporkan yang menimpanya itu ke pihak berwajib.

"Kita jamin kita lindungi. Jangan takut atau khawatir lagi mengadu jika ada kekerasan. Saya berani bicara ini. Insya Allah kalau kita menerapkan suatu pola yang lebih ketat dan guru-guru lebih intens dan memberikan suatu jaminan. Ya agar tidak ada ekses apa-apa," kata Budi Karya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya