Riwayat Kampung Betawi dan Bergesernya Tradisi

Ciri khas Betawi, semacam patokan lahan, berubah karena terperangkap ketentuan pemerintah. Semua Verponding di konversi UU Agraria.

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 21 Mar 2017, 12:12 WIB
Diterbitkan 21 Mar 2017, 12:12 WIB
Kampung Betawi
Kampung Betawi zaman dulu (dok. KITLV)

Liputan6.com, Depok - Perkampungan Betawi perlahan terancam hilang akibat pembangunan yang terjadi di Ibu Kota. Dulunya, nama perkampungan Betawi mengemuka selepas tembok yang mengelilingi Batavia sebagai pembatas antara kota dengan kampung. Namun sejak tembok Kota Benteng dibongkar oleh Belanda pada 1808, kampung semakin tumbuh dan meluas.

Mula-mula Kota Batavia seluas 15 hektar memiliki ciri dikelilingi benteng. Penduduk di dalam Kota terdiri atas orang Arab, Tionghoa, dan Eropa. Mereka terpilih karena memberikan kontribusi ekonomi yang penting buat kompeni (VOC) dan memajukan Kota Batavia.

Setelah benteng di Rijswijk dibongkar, Kota Batavia kian terbuka. Di situlah, perkampungan Betawi lebih berkembang.

Awalnya pada 1826, DKI Jakarta hanya lima kampung, yakni Kampung Tangke, Kampung Moeka, Kampung Jacatra, Kampung Kampong, dan Kampung Prapatan. Seiring waktu, jumlahnya semakin meningkat hingga mencapai 75 kampung. Bahkan, nyaris semua kebun, sawah, dan rawa berubah menjadi kampung.

Kampung Betawi zaman dulu (dok. KITLV)

Namun pada 1960, kampung-kampung di DKI Jakarta perlahan digusur. Seperti kampung Pecandran, Senayan, dan sekitarnya yang disulap menjadi stadion dan gedung bertingkat. Jumlah kampung pun semakin sedikit lantaran penggusuran. Pada 1966, Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta pada masa itu, mengembangkan Jakarta menjadi sebuah kota metropolitan. Modernisasi pun berlangsung.

Ciri khas Betawi, semacam patokan lahan, berubah karena terperangkap ketentuan pemerintah. Semua Verponding dikonversi Undang-Undang Agraria. Aturan mengharuskan pemilik membuat pagar demi mengetahui batas lahan. Akan tetapi imbasnya, kultur Betawi tidak lagi terbuka secara alami dan mulai terkekang.

"Mereka jelaskan batas-batasnya. Batasnya bukan pohon. Terjadi perubahan kultur. Di situ orang-orang menunjukkan sedikit privacy. Kehidupan berbaur sudah mulai berkurang," kata Arkeolog Universitas Indonesia yang juga Tim Ahli Cagar Budaya, Candrian Attahiyat, dalam diskusi yang diinisasi Betawi Kita bertema "Orang Betawi dan Situs Sejarah Budaya" di Komunitas Bambu, Depok, Minggu, 19 Maret 2017.

Sedikit demi sedikit perubahan terjadi tidak hanya secara fisik, tetapi merambah kepada kultur Betawi. Masyarakat umum tidak bisa menyamakan orang Betawi dengan orang kampung lain, karena sudah terpengaruh kultur kota. Kampung Betawi baik secara fisik maupun kultur telah tercampur seiring pembangunan DKI Jakarta dari tradisional menjadi modern.

Belum lagi perkembangan teknologi. Saat ini, hampir secara fisik perkampungan Betawi nyaris hilang ditelan zaman, sedangkan kulturnya hanya menyisakan butiran-butiran.

"Semenjak sudah ada televisi. Sekarang jarang ada lagi anak-anak ngaji. Begitu Magrib langsung nonton film, begitu Isya film lagi, Subuh film lagi, akhirnya enggak ada yang ngaji. Padahal dulu ngaji bagian daripada kultur orang-orang Betawi," ucap pria yang lahir di Kampung Khoja ini.

Candrian mengatakan, untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah dan masyarakat harus membahas pola pembangunan yang tidak berseberangan dengan pelestarian budaya. Menurut dia, budaya harus diselamatkan karena bagian dari jati diri sebuah kota.

Memang pembangunan pasti akan berdampak pada perubahan kultur. Di antaranya tercipta budaya baru. Satu-satunya jalan yang mesti ditempuh adalah dengan meramaikan kembali Kampung Betawi.

"Optimistis harus diciptakan budaya Betawi, apabila masih kompak, saya yakin upaya penyelamatan kultur masih bisa terselamatkan, cuma harus bisa melihat begitu ada pembangunan, kotanya yang menggeser nilai tradisi, harus disiasati," Candrian memungkasi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya