Di Balik Aksi Cabut BAP Kasus E-KTP

Miryam S Haryani, saksi yang juga mantan anggota Komisi II DPR RI mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

oleh Fachrur RozieLizsa Egeham diperbarui 31 Mar 2017, 00:05 WIB
Diterbitkan 31 Mar 2017, 00:05 WIB
Politisi Hanura Miryam S Haryani
Politisi Hanura Miryam S Haryani. (Hanura.com)

Liputan6.com, Jakarta - Kasus dugaan korupsi KTP elektronik atau e-KTP memasuki babak baru. Miryam S Haryani, saksi yang juga mantan anggota Komisi II DPR RI mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di persidangan keempat pada 23 Maret 2017.

Politikus Partai Hanura itu mengaku mendapat tekanan dari penyidik saat pemeriksaan. Menurut dia, pernyataan yang sudah tertulis di BAP hanya untuk menyenangkan penyidik.

"Saya takut, saya diancam sama penyidik, pemberian jawaban di BAP itu hanya untuk menyenangkan mereka, saya jawab asal-asalan Pak. Jadi tidak pernah saya dapat uang (50 Juta dari Ketua Komisi II)," kata dia sambil menangis saat itu.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor pun meminta jaksa KPK dihadirkan di sidang e-KTP lanjutan. Di sidang kelima, Kamis 30 Maret 2017, tiga penyidik KPK yakni, Novel Baswedan, Irwan Susanto, dan Damanik pun dihadirkan sebagai saksi untuk dikonfrontir dengan keterangan Miryam.

Di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Miryam mengaku sempat diancam penyidik senior KPK Novel Baswedan. Ancaman itu diterima saat pemeriksaan pertama sebagai saksi terhadap tersangka Irman dan Sugiharto.

"Pertama kali disidik, Pak Novel bilang, sebenarnya ibu (Miryam) mau ditangkap dari tahun 2010," ujar Miryam di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis 30 Maret 2017.

Selanjutnya pada pemeriksaan kedua, Miryam mengaku masih juga tertekan dengan omongan Novel. Terlebih saat pemeriksaan yang berlangsung di ruangan berukuran 2x2 meter, dirinya kerap ditinggal oleh penyidik.

"Pemeriksaan kedua juga saya masih tertekan. Masih trauma dengan omongan itu. Dari pagi sampai maghrib sering ditinggal. Dikasih makan sih, tapi ditinggal terus," kata Miryam.

Pada pemeriksaan ketiga, Miryam meminta kepada para penyidik untuk memeriksanya lebih cepat. Kala itu dia mengaku masih dalam keadaan tertekan. "Ditambah saya ditelepon, ibu saya sakit," ucap Miryam.

Pada pemeriksaan keempat, Miryam mengungkapkan dirinya dibuat mabuk lantaran mulut Novel Baswedan tercium aroma durian.

"Saya mual dan pusing, muntah-muntah," ujar Politikus Hanura tersebut.

Mendengar peryataan Miryam, Novel pun menyampaikan pembelaan kepada majelis hakim sidang e-KTP. Menurut dia, apa yang disampaikan Miryam tidak semuanya benar. "Kalau ibunya sakit, iya, saya tahu itu," ucap Novel.

Sementara terkait pernyataan Miryam yang mual di sebuah lorong, dikatakan Novel itu tidak benar. Novel beranggapan jika Miryam mual dan terlihat sakit maka akan dipanggilkan dokter.

"Untuk mulut saya yang bau durian. Saya memang makan kue dari rekan saya, rasanya rasa durian. Tapi saya tidak makan durian, karena tidak boleh ke Gedung KPK bawa durian," jelas Novel.

Untuk ancaman penangkapan Miryam pada pemeriksaan pertama, Novel membenarkan hal tersebut.

"Dalam proses operasi tangkap tangan di tahun 2010, saksi ada dalam proses penyadapan, dan berbicara soal uang. Artinya penyidik berkeyakinan sekali dia terbiasa menerima uang. Saya rasa bukti rekaman itu untuk proses penyidikan nanti," kata Novel.

Bongkar Pemaksa Miryam

Ilustrasi foto E-KTP
Ilustrasi foto E-KTP

Ketiga penyidik KPK membantah menekan Miryam dan pemeriksaan. Mereka akan membongkar pihak yang menekan politikus Partai Hanura itu.

"Beliau disuruh oleh pihak yang dikatakan adalah anggota Komisi III DPR untuk tidak mengakui fakta menerima dan membagi-bagi uang. Yang bersangkutan dikatakan kalau sampai mengaku, nanti dijebloskan," ujar Novel Baswedan di hadapan Majelis Hakim, Kamis 30 Maret 2017.

Novel mengatakan, ada enam orang yang diduga menekan Miryam agar tidak mengakui fakta menerima uang.

Ancaman tersebut disampaikan Miryam kepada penyidik KPK yang memeriksanya pertama kali di KPK yakni Novel Baswedan, Ambarita Damanik, dan Irwan Santoso.

"Ada enam, pertama Bambang Soesatyo, Aziz Syamsudin, Desmond J Mahesa, Masinton Pasaribu, Syarifudin Suding. Dan satu lagi saya lupa namanya," kata Novel.

Novel juga sempat menyarankan agar Miryam memberikan keterangan yang jujur. Jika tidak, proses hukum lain akan terus membuntutinya, yakni memberikan keterangan palsu.

"Kami sudah katakan seperti itu. Bahkan kami menyarankan saksi (Miryam) untuk meminta bantuan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)," kata Novel.

Semua yang disampaikan Novel juga dibenarkan dua penyidik lainnya. Irwan Susanto bahkan mengatakan Miryam dalam keadaan baik-baik saat memberikan keterangan di penyidikan.

"Kami tidak melihat saksi dalam keadaan tertekan, dia senyum dan tertawa, bicara dengan santun. Kami tidak melihat dia dalam keadaan tertekan," tegas Irwan.

Novel juga membeberkan perihal bancakan proyek yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.

"Untuk pembagian (uang) kepada anggota dikompulir (dikumpulkan) oleh Kapoksi. Seingat saya tidak satu per satu," ujar Novel.

Dia menjelaskan, sejumlah uang korupsi e-KTP tersebut dibedakan nominalnya. ‎Menurutnya, uang tersebut dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni untuk anggota dan kapoksi.

‎"Sudah ditaruh di amplop, mana yang untuk anggota, mana untuk kapoksi," kata Novel.

Ramai-Ramai Membantah

20170309-sidang-jakarta-kasus e-ktp
Sidang perdana kasus e-KTP. (Liputan6.com/Fachrur Rozie)

Disebut sebagai pihak yang menekan Miryam S Haryani untuk tidak mengakui aksi bagi-bagi uang e-KTP, Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo angka bicara. Dia membantah menekan Miryam.

"Saya minta buka siapa sumber? Kredibel enggak? Kapan saya berkomukasi atau bertemu? Bagaimana cara saya menekannya. Jelas, ada upaya pembunuhan karakter pada diri saya," kaya Bambang Soesatyo dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Kamis 30 Maret 2017.

Dia mengatakan, bahkan sempat ragu dengan peryataan Miryam diancam dan ditekan oleh penyidik KPK saat pemeriksaan karena semua termonitor oleh kamera.

"Kok sekarang malah saya yang diisukan. Menekan Miryam? Saya akan perkarakan. Sangat tendensius dan cenderung fitnah," ucap politikus Partai Golkar tersebut.

Bambang mengaku menyesalkan pernyataan penyidik Novel Baswedan dalam persidangan kasus e-KTP pagi ini. Sebab, tanpa melakukan cross check terdahulu.

"Jelas saya dan beberapa teman Anggota Komisi III sangat dirugikan dengan tudingan Miryam tersebut sebagaimana dikutip Novel," kata dia.

Bambang pun menyatakan akan melaporkan tindakan pencemaran nama baiknya dan fitnah itu ke Bareskrim Mabes Polri. Dia akan menjadikan keterangan Novel di pengadilan tersebut dan akan meminta rekaman Miryam kepada pimpinan KPK saat pemeriksaan yang membawa namanya dan sejumlah anggota Komisi III DPR.

"Ini sudah keterlaluan dan tidak boleh dibiarkan seseorang Miryam menuduh-nuduh dan menyebut-nyebut nama orang seenaknya," kata dia.

Dia menyatakan, tidak sepenuhnya menyalahkan Novel Baswedan. Sebab, penekanan dari penyidik KPK hingga anggota DPR itu berdasarkan keterangan Miryam.

"Tapi harusnya bisa dikonfrontir terlebih dulu ke kami yang namanya dibawa-bawa itu. Jadi, saya melihat Miryam ini sedang berusaha memfitnah sana-sini," kata dia.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, menyatakan belum pernah bertemu Miryam meski sesama anggota dewan di Senayan, khusus untuk membahas kasus e-KTP.

"Bahwa saya belum pernah ketemu Miryam membicarakan khusus kasus e-KTP. Meskipun sama-sama anggota DPR namun saya sangat jarang sekali ketemu Bu Miryam. Karena kami berada dalam komisi dan fraksi yang berbeda," kata Masinton kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis 30 Maret 2017.

Masinton menerangkan, pengakuan Miryam tersebut tidak benar. Politikus PDIP ini mengaku telah menanyakan kepada Ketua Komisi III Bambang Soesatyo dan Wakil Ketua Komisi III Desmond J Mahesa, yang juga namanya disebut Novel Baswedan dalam pengakuan Miryam.

"Saya nyatakan bahwa tuduhan itu tidak benar. Ketika saya ketemu dengan Mas Bambang Soesatyo dan Desmon Mahesa barusan di ruang rapat Komisi III beliau juga membantah rumor tersebut," ucap Masinton.

Bantahan Aziz Syamsuddin

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Aziz Syamsuddin juga membantah pernyataan Miryam yang menyebut dirinya memberi tekanan kepada Miryam agar tidak mengaku membagi-bagikan uang proyek tersebut.

Aziz mengaku tidak pernah berbicara dengan Miryam soal e-KTP. Terlebih, ia menambahkan, keduanya tidak pernah berada dalam satu komisi di DPR.

"Tidak benar, kita tidak pernah satu komisi sama Ibu Miryam, kita juga kaget Ibu Miryam menyatakan hal seperti itu. Saya juga bercerita sama Pak Masinton memang kita pernah ngobrol, saya bilang saya enggak pernah ketemu sama Ibu Miryam dan tidak pernah bicara," kata Aziz di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (30/3/2017).

Menurut Aziz, pernyataan Miryam itu harus dibuktikan kebenarannya di hadapan majelis hakim di persidangan.

"Beliau mengatakan itu dalam persidangan tentu itu merupakan fakta hukum harus diperhatikan hakim, apabila Miryam tidak bisa membuktikan bahwa keterangan di muka pengadilan itu bagian dari fakta hukum, itu dapat merupakan kena tindak pidana tersendiri tindak pidama tersendiri itu harus diusut oleh hakim," beber Aziz.

Politikus Partai Golkar ini mengakui mengenal Miryam S Haryani, tetapi hanya sebatas sesama anggota dewan.

Sarifuddin Suding mengaku tidak mengerti dengan tuduhan menekan Miryam dalam kasus e-KTP tersebut. Dia mengatakan tudingan penyidik KPK Novel Baswedan membingungkan.

"Saya sendiri juga tidak mengerti. Kapan dan di mana saya dekatnya saya sendiri enggak mengerti. Saya betul-betul bingung dan enggak ngerti saya," kata Sudding kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (30/3/2017).

Menurut dia, meski satu fraksi, dia tidak pernah membicarakan soal e-KTP dengan Miryam. Terlebih, dia dan Miryam beda komisi.

"Saya sendiri enggak tahu ya. Saya enggak ngerti karena enggak pernah bicara dengan dia soal e-KTP. Kapan dan dimana saya datangnya. Makanya saya bingung, kenapa bisa lari ke Komisi III ya kan," ujar Sudding.

Dia menegaskan tidak tahu sama sekali tentang kasus e-KTP. Apalagi sampai menekan Miryam untuk tidak mengakui soal bagi-bagi uang proyek tersebut.

"Makanya saya heran. Saya benar-benar enggak ngerti gitu lho, jadi betul-betul saya enggak tahu karena enggak pernah bicara soal e-KTP. Apalagi itu kan di Komisi II kok lari ke Komisi III ya," tandas politikus Partai Hanura tersebut.

Keterangan Sugiharto

20161019-Tersangka Korupsi e-KTP Sugiharto Resmi Ditahan KPK-Jakarta
Tersangka dugaan korupsi proyek e-KTP, Sugiharto dibawa keluar Gedung KPK, Jakarta, dengan menggunakan kursi roda menuju mobil tahanan, Rabu (19/10). Sugiharto baru ditahan setelah berstatus tersangka selama 2,5 tahun. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Mantan anggota Komisi II DPR Miryam S Haryani tetap pada keputusannya mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Miryam juga bersikeras tak mengaku menjadi bagian dari korupsi pengadaan kartu tanda penduduk berbasi elektronik atau e-KTP.

Mendengar pembelaan Miryam, Ketua Majelis Hakim John Halasan Butar Butar pun meminta pernyataan dari terdakwa Sugiharto. Dalam pernyataannya, Sugiharto menegaskan dirinya benar memberikan uang kepada Miryam sebanyak empat kali.

"Pertama Rp 1 miliar, kedua USD 500 ribu, ketiga USD 100 ribu, keempat Rp 5 miliar. Total, USD 1,2 juta," kata Sugiharto di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (30/3/2017).

Mendengar pernyataan Sugiharto, hakim John pun kembali bertanya kepada Miryam. "Keterangan Anda disangkal terdakwa. Ada empat kali penerimaan uang dari saudara terdakwa. Apakah benar," tanya hakim John.

Tak mau pindah dari keterangan sebelumnya, Miryam tetap mengatakan tak pernah menerima uang tersebut. "Tidak benar dan saya tidak pernah menerimanya," tegas Miryam.

Miryam merupakan salah satu saksi yang dihadirkan untuk terdakwa Irman dan Sugiharto. Dalam dakwaan, Miryam S Haryani disebut sebagai pihak yang membagi-bagikan uang bancakan. Miryam juga disebut menerima aliran dana sebesar USD 23 ribu.

Diketahui, dua mantan anak buah Gamawan Fawzi, yakni Irman dan Sugiharto didakwa melakukan korupsi secara bersama-sama dalam proyek e-KTP. Irman dan Sugiharto didakwa merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.

Irman merupakan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sementara itu, Sugiharto ialah mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Dukcapil Kemendagri.

Atas perbuatannya itu, Irman dan Sugiharto didakwa melangar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Dalam dakwaan disebutkan nama-nama besar yang diduga ikut menikmati aliran dana megaproyek senilai Rp 5,9 triliun. KPK juga sudah menetapkan satu tersangka baru, Andi Agustinus alias Andi Narogong. Andi diduga sebagai operator utama bancakan proyek e-KTP.

 

 

 

 

 

 

 

 





Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya