Mendikbud Muhadjir: Tidak Ada yang Kuat Bertahan di Kelas 8 Jam

Dua pekan ini, Mendikbud Muhadjir Effendy banyak mendapat kritik dan masukan. Ide pendidikan karakter sudah menjadi Permendikbud No 23/2017.

oleh Mufti Sholih diperbarui 21 Jun 2017, 16:18 WIB
Diterbitkan 21 Jun 2017, 16:18 WIB
Muhadjir Effendy
Muhadjir Effendy. (Liputan6.com/Fatkhur Rozaq)

Liputan6.com, Jakarta - Sistem sekolah lima hari menjadi tema panas yang kembali menyemarakkan dunia pendidikan. Kemunculannya, tak lepas dari gagasan yang dikemukakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.

Ide tersebut pernah ramai sebelumnya, saat Muhadjir baru beberapa pekan menjadi Mendikbud.

Dua pekan ini, Muhadjir banyak mendapat kritik dan masukan terkait  lahirnya Peraturan Mendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Keberatan utama, dengan lima hari, jam sekolah menjadi 8 jam. Durasi ini dianggap terlalu panjang, dan akan berdampak negatif untuk anak didik.

Sejumlah tokoh dan pihak mengkritik, termasuk Nahdlatul Ulama (NU). Permendikbud ini, menurut NU, akan membuat madrasah diniyah yang banyak berafiliasi ke ormas ini tutup.

Pada Senin 19 Juni 2017, Presiden Joko Widodo memanggil Muhadjir dan sejumlah tokoh. Selepas pertemuan, melalui Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin, pemerintah membatalkan permendikbud dan bakal menggantinya dengan peraturan presiden (perpres).

Sehari selepas pembatalan, Muhadjir berkunjung ke Liputan6.com. Ayah tiga anak ini menjelaskan, apa sesungguhnya konsep sekolah lima hari ini.

 

Permendikbud Dicabut

Permendikbud dicabut, ada yang akan berubah dari kebijakan sekolah lima hari?

Pada dasarnya, peraturan menteri ini tetap kita jalankan sampai perpres itu terbentuk, tersusun. Nanti yang menyatakan peraturan menteri tidak berlaku ya perpres itu. Kalau sudah diakomodasi dalam perpres, itu justru lebih membikin program ini menjadi semakin mulus. Sekarang ini terus jalan, termasuk pilot project. Alhamdulillah tidak ada satu pun sekolah yang menolak.

Sebenarnya apa latar belakang permendikbud ini?

Ada beberapa hal terkait. Pertama, masalah beban kerja guru. Dalam UU Sisdiknas, ada minimum 24 jam pelajaran tatap muka dan maksimum 40 jam. Dalam implementasinya, ternyata di lapangan banyak masalah. Banyak guru yang tidak bisa memenuhi beban.

Akibatnya, guru tidak bisa mendapat tunjangan profesi. Kalau mau mendapat tunjangan profesi, dia harus mengajar di tempat lain. Untuk daerah-daerah tertentu, jarak antar-sekolah bisa 15 kilometer. Jadinya, banyak sekolah kurang kondusif karena guru tidak selalu ada di tempat.

Muhadjir Effendy. (Liputan6.com/Fatkhur Rozaq)

Kemendikbud mencari solusi karena masalah ini sudah kronis. Ini sudah lebih dari 10 tahun. Kami alihkan beban guru, tidak sebagai pengajar, tapi aparatur sipil negara (ASN). Di dalam peraturan, ditetapkan beban kerja ASN itu 40 jam per minggu. Kemudian ada keputusan presiden, ASN itu hari kerjanya lima hari per minggu. Maka ketemu rumusan 40 jam x 5 hari= 8 jam.

Apa alasan kedua?

Kami dapat perintah dari Presiden Jokowi berdasarkan rapat kabinet terbatas tanggal 2 Februari 2017, agar hari libur sekolah disinkronkan dengan hari libur pegawai. Ini supaya frekuensi pertemuan orangtua dan anak cukup. Presiden meminta Kemendikbud menindaklanjuti agar hari Sabtu dan Minggu sekolah libur. Atas dasar itu kami terbitkan Peraturan Menteri Nomor 23/2017 yang kami beri judul Hari Sekolah.

Bukan Full Day School

Kebijakan 5 hari disebut identik dengan full day school. Tanggapan Anda?

Kemendikbud tidak pernah punya program full day school. Memang, salah satu bentuk penguatan karakter itu bisa berupa full day, bahkan bisa berupa boarding school. Tapi itu pilihan, bukan program resmi. Penambahan 8 jam, sebagian besar kita manfaatkan untuk program penguatan pendidikan karakter atau budi pekerti.

Jadi bagaimana konsep 8 jam ini secara persisnya?

Ini memang yang disalahpahami masyarakat. Bahwa 8 jam belajar bukan 8 jam di kelas. Siswa bisa belajar di mana saja, tidak harus di kelas. Yang penting selama 8 jam itu, anak didorong secara sadar dia belajar.

Di mana pun dia belajar, yang penting itu memang dirancang secara sadar dengan untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu untuk mendorong pertumbuhan anak itu secara aktif yang di bawah tanggung jawab sekolah. Itulah yang menjadi patokan pelaksanaan 8 jam per hari itu.

Sejumlah siswa keluar kelas usai kegiatan belajar mengajar selesai di SDN 04 Pantai Bahagia, Muara Gembong, Jawa Barat, Jumat (9/6). Banjir Rob yang sering melanda kawasan ini menyebabkan kondisi bangunan memprihatinkan. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Delapan jam ini terbagi untuk apa saja?

Delapan jam bisa dibagi menjadi tiga aktivitas kurikuler. Intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Intra itu yang di kelas atau di laboratorium, yang kokurikuler itu yang berada di sekitar sekolah, ekstrakurikuler itu yang berada di luar sekolah. Jadi siswa selama 8 jam itu, bisa jadi tidak banyak di kelas.

Bagaimana pembagiannya?

Itu mengacu terhadap program kerja Presiden Jokowi dan Wapres JK. Kalau kita melihat Nawa Cita, secara tegas disebutkan, porsi pendidikan karakter pada SD dan SMP mencapai  60-70 persen. Porsi pendidikan karakter itulah yang terutama menempati ko dan ekstrakurikuler. Jadi, kokurikuler dan ekstrakurikuler itu 70 persen, sedangkan yang intra itu 30 persen.

Sebenarnya, apa yang menjadi fokus P2K?

Ada lima karakter yang menjadi fokus P2K. Religiusitas, nasionalisme, integritas, kemandirian, dan gotong royong.

 

Kesiapan Guru

Tapi kan kehidupan anak itu bermain?

Jadi pendekatannya joy of learning. Belajar sambil bergembira. Anak diajak terlibat suatu proyek tertentu yang harus diselesaikan secara bersama-sama oleh siswa di bawah pengawasan guru itu, joy of learning itu ya. Itu memang ruangan yang sangat bagus untuk kokurikuler dan ekstrakurikuler. Bisa jadi anak-anak itu waktunya sudah habis malah belum mau pulang. Karena terlalu asyik dengan proyeknya itu.

Ini seperti melibatkan guru lebih dalam?

Kita memang ingin memperluas tanggung jawab sekolah dan guru sebetulnya. Untuk mengantar perkembangan anak di dalam belajar. Jadi sebetulnya, menurut konsep kami, murid itu selama 24 jam belajar. Bahkan ketika tidur, murid pun belajar. Ketika masuk kamar mandi pun juga belajar begitu. Kita jangan menyempitkan makna belajar itu hanya di dalam kelas. Kami mau memberi wewenang lebih luas untuk guru, untuk memantau proses perkembangan anak. 

Guru mengatur para murid sebelum upacara di SD Pasar Baru 05, Jakarta, Senin (27/7/2015). Usai libur panjang Idul Fitri para siswa kembali beraktivitas mengikuti pelajaran di sekolah untuk tahun ajaran 2015-2016. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kenapa guru tidak melakukan hal tersebut selama ini?

Selama ini kan diukur memang hanya kerja di depan kelas. Jadi ini bukan sepenuhnya salah guru, tapi sistem yang tidak kita bangun lebih kondusif untuk menyiapkan guru bisa menggunakan seluruh kesaktiannya sebagai seorang guru profesional.

Memang para guru kita sudah siap?

Sejak tahun lalu, setelah kami diperintahkan presiden supaya jangan diterapkan meluas dulu, tapi bikin piloting. Kami sudah membuat 1.500 pilot sekolah dengan menyesuaikan keanekaragaman budaya di masing-masing daerah. Pada saat bersamaan, kami melakukan upgrading kepada guru untuk memberikan pembekalan baru tentang P2K itu. Tapi memang belum 100 persen. Tahun ini ada 9.300 sekolah siap.

 

Siap Ditolak?

Kemdikbud berkaca ke mana saat merumuskan kebijakan ini?

Secara spesifik tidak ada. Hanya untuk perbandingan, komparasi, kita tahu ada. Misalnya, ada negara yang katanya proses belajar-mengajarnya lebih pendek. Saya kira itu sebetulnya bukan waktu belajar murid yang pendek, tapi murid berada di dalam kelas secara informal pendek.

Tapi konsep ini dapat banyak penolakan, termasuk dari NU...

Kami sebetulnya sudah melakukan sosialisasi tetapi terkendala. Permen itu menunggu turunnya peraturan presiden. Jadi memang kita belum memiliki bahan resmi untuk bersosialisasi. Tapi, sudah ada reaksi, yang sebetulnya saya yakini (mereka) belum membaca perpres atau permen (peraturan menteri). Kalau seperti itu wajar kalau ada kesalahpahaman.

Pihak NU menganggap kebijakan 8 jam sehari akan mematikan Madrasah Diniyah. Komentar Anda?

Madrasah diniyah, gereja, juga mungkin kegiatan keagamaan yang lain, itu mungkin akan kita manfaatkan sebagai salah satu sumber belajar tadi. Dalam konteks 8 jam itu, ketika anak berada di madrasah, gereja, pura, bengkel tari, atau bengkel melukis akan menjadi bagian dari 8 jam itu. Bukan kemudian dihilangkan.

Kami sekarang sedang menggodok rancangan pedoman tentang petunjuk pelaksanaan kerja sama antara sekolah dengan lembaga keagamaan khususnya madrasah diniyah, agar bisa dilaksanakan lebih konkret, dan lebih mendukung program P2K. Misalnya, nanti ada jaminan bahwa keberadaan madrasah diniyah tidak akan dimatikan, tapi diperkuat. Kemudian yang kedua, hasil kegiatan belajar di madrasah bisa dikonversi menjadi nilai pelajaran agama.

Jejak Karir Muhadjir (Liputan6.com/Abdillah)

Anda yakin nanti tidak ada penolakan?

Mudah-mudahan, dengan langkah terbaru kebijakan presiden yang nanti akan ditarik menjadi Peraturan Presiden, itu lebih bisa mengakomodasi dan menampung aspirasi yang berkembang, sehingga tidak akan mengganggu program P2K.

Kemarin, kenapa Kiai Ma’ruf yang menyampaikan pembatalan permendikbud? 

Sebetulnya waktu itu singkat saja, Kiai Ma’ruf menyampaikan salah satu alternatif solusi, yaitu menaikkan peraturan menteri itu menjadi peraturan presiden dan dengan berbagai macam penyempurnaan. Untuk penyempurnaan itu, supaya melibatkan pihak-pihak terkait terutama MUI, juga organisasi-organisasi kemasyarakatan dan itu disetujui presiden.

Jadi bukan membatalkan tapi menaikkan, mengangkat lebih tinggi. Payung hukumnya tidak permen, tapi perpres. Juga dengan penyempurnaan yang menampung dan mendengarkan aspirasi yang berkembang.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya