Liputan6.com, Jakarta - Pengantar Redaksi:
Selama tiga minggu, penulis berada di Palo Alto mengantarkan anaknya, Surya Mallarangeng, untuk mengikuti program sekolah musim panas bagi kaum remaja di Universitas Stanford. Sambil menjadi “driver dad,” mengantar-jemput Surya setiap hari, penulis mencoba menelusuri riwayat universitas berpengaruh ini serta sejarah terbentuknya Lembah Silikon yang berada di sekitarnya. Hasilnya adalah tulisan ini, katakanlah, sebagai oleh-oleh dari Amerika.
Dari mana sumbernya perubahan dunia dalam 50 tahun terakhir? Washington DC, Moskow, London, Paris? Kalau perubahan dalam arti khusus, seperti naik dan turunnya dominasi politik satu atau dua negara, barangkali salah satu dari kota ini akan masuk daftar teratas.
Tapi kalau kita berbicara pada level lebih luas, katakanlah peradaban manusia di awal abad ke-21, sumber transformasi harus kita cari di tempat lain, yaitu Silicon Valley, Lembah Silikon, sebuah wilayah yang sebenarnya relatif kecil, membentang 20 km sepanjang Highway 101 California, Pantai Barat Amerika.
Dari tempat inilah, diapit Samudera Pasifik dan Pegunungan Sierra Nevada, muncul inovasi baru seperti mikrochip, komputer personal, internet, iPhone, serta perusahaan global yang melahirkannya, seperti Hawlett-Packard, Intel, Apple, Facebook, Google. Beberapa perusahaan ini, dipimpin anak-anak muda berusia 25-35 tahun, tumbuh dalam waktu relatif singkat menjadi perusahaan dunia, menyaingi dominasi raksasa AS lain seperti GM, Exxon, dan GE.
Secara keseluruhan transformasi yang mereka hasilkan kadang disebut "revolusi" – revolusi komunikasi, revolusi komputer, revolusi internet plus media sosial, dan sebagainya. Semua ini menghasilkan perubahan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam cara individu berhubungan satu dan lainnya, dalam bekerja, maupun dalam menikmati hiburan, bahkan dalam cara berpikir manusia.
Singkatnya, hampir tidak ada inovasi besar sejak akhir tahun 1960an yang tidak lahir atau setidaknya difasilitasi di Lembah Silikon. Setelah era mesin uap, kereta api, radio, mobil dan kapal terbang, kini manusia berada dalam era iPhone. Setelah ini barangkali kita akan memasuki zaman baru lagi, yaitu era mobil tanpa pengemudi, mobil terbang, robot pintar, atau era transportasi antariksa yang murah dan terpercaya. Kalau semua ini memang terjadi, jejak kaum inovator Lembah Silikon akan lebih dalam lagi di masa depan.
Yang menarik dan perlu dicatat: berbicara tentang Lembah Silikon, kita tidak boleh melupakan peran sebuah institusi penting, yaitu Universitas Stanford. Secara geografis, perguruan tinggi ini terletak persis di jantung Lembah Silikon, di kota kecil Palo Alto, sekitar 30 km dari San Francisco. Secara intelektual dan ekosistem keilmuan, di sinilah episentrum yang memungkinkan perubahan besar tadi terjadi.
Dari segi usia, universitas ini sebenarnya masih tergolong muda, “baru” 132 tahun. Universitas Harvard di Pantai Timur AS sudah mendekati usia 400 tahun. Di Eropa, beberapa perguruan tinggi malah didirikan hampir 1.000 tahun silam (Bologna, Sorbonne, Oxford). Meski muda dalam usia, Universitas Stanford kini dianggap salah satu perguruan tinggi terbaik dan paling bergengsi di dunia.
Rahasianya di mana? Bagaimana sejarahnya? Mengapa perguruan ini dan Lembah Silikon, dari tempat semula yang terpencil, hanya berisi perkebunan buah prune dan aprikot, relatif cepat berubah menjadi pusat ilmu dan teknologi, tempat lahirnya kaum inovator dengan pengaruh begitu dahsyat, tanpa terputus praktis dalam setengah abad terakhir ini? Di mana letak keunikan the Stanford story?
Dalam menjawab dan menelusuri pertanyaan ini, walaupun secara cukup singkat, kita akan bertemu beberapa faktor menarik, yaitu kombinasi peran pengusaha, akademisi dan pemerintah, perkembangan situasi yang membuka peluang baru, faktor kebetulan, serta tokoh-tokoh visioner, termasuk peran sebuah kelompok yang oleh sejarawan Arnold Toynbee disebut sebagai the creative minority yang berada di balik keajaiban teknologi dan perubahan masyarakat.
Gabungan Faktor Unik
Kalau kita lihat sejarah pembentukannya, Universitas Stanford lahir dari gabungan faktor yang unik: spekulasi, tragedi dan kemuliaan jiwa sekaligus.
Pendiri universitas ini, Leyland Stanford, adalah spekulan sukses dari era gold rush yang kemudian membangun kerajaan bisnis rel kereta api di paruh kedua abad ke-19. Walau tidak sebesar John D. Rockefeller dan Andrew Carnegie, dia dianggap salah satu robber barons of the Wild West, sebuah istilah yang terkenal dalam sejarah kapitalisme AS pada periode itu. Karena kekayaannya, dengan mudah dia terpilih menjadi gubernur dan setelah itu menjadi senator yang mewakili California.
Pada puncak kejayaannya, sebuah tragedi menimpa keluarga Stanford. Anak tunggalnya, Leyland Stanford Junior, meninggal karena penyakit tifus saat menginjak usia remaja pada 1884. Setelah melewati duka yang dalam, setahun kemudian Leyland Stanford dan istrinya, Jane, memutuskan untuk mengenang putra mereka dengan menyumbangkan sebagian besar harta, termasuk tanah seluas 3.000 hektar di Palo Alto, bagi pendirian sebuah universitas dengan nama resmi Leyland Stanford Junior University.
Salah satu ciri khas universitas baru ini adalah karena sejak berdirinya, Leyland Stanford menegaskan bahwa ia ingin membangun sebuah perguruan sekuler, tanpa dikaitkan dengan kepentingan gereja atau agama apapun. Untuk konteks zaman itu, sikap seperti ini cukup berani. Semua universitas besar di Eropa dan AS, termasuk Harvard, lahir dari rahim gereja serta kaum misionaris.
Keunikan ini juga terpatri dalam logo Stanford, yaitu pohon pinus kayu merah, sequoia, yang menjulang tinggi dibingkai sebuah motto yang dikutip bukan dari tokoh agama, semboyan keagamaan, atau dari ungkapan Latin, sebagaimana lazimnya di dunia universitas, tetapi dari seorang humanis Jerman abad ke-16, Ulrich von Hutten: Die Luft der Freiheit weht, angin kebebasan meniup.
Dengan prinsip baru ini, Universitas Stanford kemudian menjadi satu-satunya perguruan tinggi yang mendidik anak-anak petani dan peternak di sekitar wilayah Palo Alto.
Setelah meninggalnya suami-istri Stanford, perguruan ini terus bertahan, tetapi dengan nasib yang tak pasti. Hingga dekade kedua abad ke-20, suatu kurun yang di AS dikenal sebagai the roaring twenties, Universitas Stanford masih merupakan institusi pedesaan terpencil, tak dikenal serta tanpa gaung apapun. Situasi di sekitarnya memang sudah lumayan berkembang, terutama San Francisco, mengikuti perkembangan pesat ekonomi AS yang saat itu sudah mulai menyalip Britania Raya sebagai dinamo dunia. Namun Palo Alto saat itu relatif masih belum tersentuh oleh gerak kemajuan ini.
Situasi mulai berubah pada tahun 1930an karena adanya beberapa perkembangan baru. Sebagai ujung tombak pertahanan di Lautan Pasifik, Pemerintah AS membangun pangkalan angkatan laut dan udara di Sunnyvale, persis berbatasan dengan Palo Alto -- kantor pusat Facebook dan Google kini berdiri tidak jauh dari pangkalan ini.
Bagi wilayah Palo Alto dan sekitarnya, kedua pangkalan tersebut mendatangkan tipe penduduk yang sama sekali berbeda: pelaut, penerbang, dan terutama ribuan kaum insinyur dan keluarga mereka. Banyak dari insinyur ini adalah ahli-ahli radio dan elektro, sebab saat itu angkatan laut dan angkatan udara AS memang sedang intensif mengembangkan teknologi radio sebagai instrumen komunikasi baru bagi armada mereka.
Semakin lama, terutama menjelang dan saat berlangsungnya Perang Dunia Kedua, pangkalan ini menjadi semakin penting. Bahkan badan antariksa AS (NASA) juga mendirikan lembaga riset persis di sampingnya, Ames Research Center. Dengan semua ini, Palo Alto dan sekitarnya kemudian menjadi tempat menarik bagi kaum insinyur dan kaum profesional lainnya – Steve Jobs dan Steve Wozniak, duo pendiri Apple Inc., adalah anak-anak yang lahir dari keluarga pendatang baru ini.
Lewat perkembangan tersebut, embrio sebuah ekosistem intelektual baru mulai tercipta di sekitar Universitas Stanford. Perguruan ini mulai menggeliat, apalagi pada saat yang hampir bersamaan profesor tipe baru juga mulai muncul mewarnai kehidupan akademik di dalamnya.
Salah satu akademisi pembaharu ini adalah Fred Terman. Ia meraih gelar doktor dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) di bawah bimbingan Prof. Vennevar Bush, ahli komputer terkemuka yang juga termasuk penggagas awal Manhattan Project yang melahirkan bom atom di Los Alamos, serta penulis karya populer di tahun 1940an, As We May Think, sebuah buku yang menjelaskan bagaimana komputer, yang saat itu di mata publik masih asing sama sekali, suatu saat kelak akan mampu meniru cara berpikir manusia.
Fred Terman menolak tawaran mengajar di MIT dan menjatuhkan pilihan di Universitas Stanford (ayahnya dosen di sini). Karirnya cepat melejit, dari profesor muda kemudian menjadi deputi rektor. Dalam posisi terakhir ini, ia memperlihatkan kemampuannya sebagai administrator yang visioner.
Ia mengarahkan Universitas Stanford untuk mengembangkan ilmu-ilmu terapan, khususnya radio dan elektronika, serta membangun laboratorium pendukungnya . Yang lebih penting lagi, ia juga mendorong peneliti serta mahasiswa bimbingannya untuk menjadi tekno-enterpreneur, berani menjadi pengusaha tanpa melepaskan diri dari dunia akademia. Bahkan, terhadap mahasiswanya yang sanggup mencoba dan mengambil resiko itu, Fred Terman menawarkan modal awal dari kantongnya sendiri.
Cukup banyak mahasiswa yang tergerak oleh dorongan Fred Terman, antara lain Sigurd Varian, William Hewlett dan David Packard. Ketiganya menulis tesis dan menciptakan produk baru, klistron and ossilator, dua instrumen pelengkap bagi pengembangan radar dan radio frekuensi tinggi yang saat itu sangat dibutuhkan militer AS.
Sesuai nasehat Fred Tarman, ketiga anak muda ini juga membuat perusahaan sendiri: Singurd Varian mendirikan Varian Associates; William dan David, dengan bantuan dana pribadi Fred Terman, mendirikan Hawlett-Packard (HP). Kedua perusahaan inilah yang menjadi pionir di Palo Alto, menggabungkan dunia universitas, bisnis dan industri dalam suatu simbiosis yang saling mengisi.
Selain itu, inisiatif Fred Terman yang paling brilian terjadi pada 1951. Setelah meyakinkan pimpinan lainnya, termasuk rektor Wallace Sterling, dia mengubah tanah universitas yang masih tersisa, sekitar 300 hektar, dari kebun aprikot menjadi sebuah industrial park yang berisi pusat riset dan perkantoran yang terbuka bagi swasta. Oleh Fred Terman, tempat baru ini dengan bangga dia sebut sebagai Stanford’s secret weapon.
Inisiatif seperti ini belum pernah dilakukan sebelumnya di mana pun: pusat riset dan dunia akademia disatukan dalam tempat yang sama dengan pusat industri-bisnis. Fred Tarman mempersilakan siapa pun yang menjadi penyewa di tempat baru ini untuk memanfaatkan fasilitas di Stanford. Dia juga mendorong para dosen untuk memanfaatkan tempat ini dalam menjalankan “dwifungsi” profesor-pengusaha.
Dengan inisiatif baru ini Fred Terman sebenarnya melakukan sesuatu yang memang menyentuh urat nadi dalam tradisi Amerika. Sejak awal, seperti kata Daniel J. Boorstin, Amerika adalah a nation of tinkerer, sebuah bangsa dengan tangan yang selalu gatal, cekatan, practical, senantiasa ingin mengubah sesuatu, bereksperimen, mencipta, dan kemudian menjualnya di pasar bebas.
Eropa boleh menjadi penemu dalam ilmu-ilmu dasar, tetapi Amerika selalu memimpin dalam pengembangan ilmu terapan, aplikasi teknologi dan pembuatan produk yang bisa dimanfaatkan banyak orang. Tokoh-tokoh terdepan dalam tradisi tinkerer ini adalah Benjamin Franklin, Alexander Graham Bell, Thomas Edison, Wright bersaudara dan Henry Ford.
Jadi pada intinya, inisiatif Fred Terman adalah pelembagaan tradisi panjang tersebut, mengintegrasikannya dengan pusat riset dan universitas. Kaum inovator tidak perlu lagi repot membuat laboratorium tersendiri yang mahal dan semakin kompleks, setidaknya pada tahap awal. Dan sebaliknya, dengan mendekatnya mereka ke dalam dunia akademia, pihak universitas dapat mengerti kebutuhan praktis atau persoalan baru, dan dengan itu mengarahkan pengembangan riset serta kurikulum untuk menjawabnya.
Singkatnya, Stanford Industrial Park adalah langkah awal yang membuat Universitas Stanford mulai mencuri perhatian dunia pendidikan AS. Ia adalah sebuah terobosan baru yang kemudian terbukti membuka jalan bagi banyak kegiatan positif lainnya.
Keberuntungan Tak Terduga
Perkembangan penting berikutnya terjadi pada pasca-1955. Setelah fondasinya dibentuk Fred Terman dan generasinya, dan ketika lingkungan sosial serta ekosistem intelektual di sekitar Palo Alto mulai berkembang, Universitas Stanford mendapat a lucky break, suatu keberuntungan tak terduga yang bersifat transformatif.
Setelah Perang Dunia Kedua, salah satu teka-teki besar dalam dunia ilmu dan teknologi, khususnya elektronika, telah terpecahkan dengan ditemukannya transistor untuk menggantikan fungsi tabung hampa udara, vacuum tube. Penemunya adalah sebuah tim kecil yang dipimpin Dr. William Shockley, seorang jenius lulusan MIT dengan temperamen yang intens dan terkadang eksplosif. Shockley dan timnya meraih Hadiah Nobel pada 1956.
Saat namanya sudah menjulang di dunia keilmuan, Shockley merasa bahwa tempatnya bekerja di Bell Labs, New Jersey, tidak lagi menyenangkan. Saat itu dia mulai berpikir untuk menjadi pengusaha dengan memproduksi sendiri transistor secara massal. “I’ll go set up my own business, I’ll make a million dollars that way,” demikian kata Shockley sebagaimana yang dicatat Walter Isaacson dalam The Innovators (2014).
Tempat yang dia pilih adalah Palo Alto. Pilihan ini mungkin kombinasi dari beberapa hal. Dia ingin lebih dekat dengan ibunya yang melewatkan masa pensiun di kota kecil ini. Mungkin dia juga terbujuk oleh surat pribadi Fred Terman yang menawarkan segala fasilitas baru yang ada di Stanford Industrial Park.
Apapun alasan di balik pilihan tersebut, cara Shockley dalam mendirikan sebuah perusahaan baru cukup unik: dia ingin meniru raja mobil Henry Ford dengan metode yang dipilihnya sendiri, bukan dengan membuat rantai produksi ratusan pekerja yang mekanistis, tetapi pertama-tama dengan menciptakan core atau otaknya dulu, “my own PhD production lines.”
Untuk itu, dia mencari sendiri, menguji, menyeleksi anak-anak muda terbaik yang baru menyelesaikan program doktor dalam bidang fisika, kimia dan elektronika.
Hasilnya adalah delapan anak muda pilihan, semua di bawah usia 30 tahun, semua brillian, berasal dari berbagai negara bagian AS. Mereka bersedia pindah ke Palo Alto karena wibawa serta nama besar Shockley. Salah seorang dari mereka, Robert Noyce -- seperti diceritakan dengan menarik oleh penulis Tom Wolfe, The Tinkerings of Robert Noyce (1983) -- menjelaskan bahwa Shockley sendiri yang langsung menelpon: “Ketika mengangkat telpon, saya seperti mendengar suara Tuhan.”
Bagi anak muda seperti mereka, tawaran semacam itu adalah sebuah kesempatan emas, terjadi sekali seumur hidup, dan karenanya tidak boleh dilewatkan.
Dr. Shockley dan the Shockley Boys: dari dinamika dan perkembangan dalam kelompok kecil inilah, juga konflik, persaingan dan tragedi yang terjadi di dalamnya, segala hal berubah dan tapal batas teknologi terbentang lebih luas lagi.
Lewat tangan mereka -- plus peran beberapa peneliti muda yang membantu, khususnya asisten profesor Universitas Stanford, Ted Hoff -- transistor yang semula bersifat “individual” dikembangkan menjadi jaringan terintegrasi dalam suatu lempeng persegi berlapis silikon, dengan luas permukaan sekuku jari (mikrochip). Pada perkembangan selanjutnya lempengan kecil ini dilengkapi lagi dengan fungsi komputasi dan memori (mikroprosesor), dan merupakan salah satu inovasi terpenting di abad ke-20, sebagaimana mesin uap di abad sebelumnya.
Dalam rangkaian penemuan ini, yang terjadi selama kurang lebih sepuluh tahun, lahir berbagai perusahaan baru yang kemudian dikenal sebagai America’s high-tech giants, seperti Fairchild Semiconductors dan Intel. Hampir semua perusahaan ini didirikan, dipimpin dan dikembangkan oleh pecahan dari the Shockley Boys, seperti Robert Noyce dan Gordon Moore.
Banyak dari perusahaan baru ini digagas dan memulai debut mereka di Stanford Industrial Park – pada akhir 1960an, jumlahnya sudah lebih seratus, mempekerjakan setidaknya 20.000 pegawai, sebagian di antaranya doktor dan profesor, persis seperti yang semula digagas Fred Terman. Setelah perusahaan baru ini besar dan berkembang, mereka kemudian mencari tempat lain di sekitar Palo Alto, seperti Cupertino dan Mountain View.
Satu hal yang juga tidak boleh diabaikan: perkembangan pesat ini turut dipicu oleh situasi saat itu, khususnya Perang Dingin dan perlombaan antariksa antara AS dan Uni Soviet. Program Apollo dan pendaratan Neil Amstrong di bulan tidak mungkin terjadi tanpa bantuan komputer, dan komputer butuh mikrochip. Tidak heran, pada awal perkembangannya, NASA adalah konsumen terbesar produk baru ini.
Selain itu, pemerintah AS juga bekerja sama dengan Universitas Stanford membuat sebuah laboratorium fisika yang terdepan saat itu, SLAC National Accelerator – pusat riset ini sudah menghasilkan tiga peraih Hadiah Nobel serta menjadi kontributor penting kelak bagi lahirnya internet dan begitu banyak inovasi turunannya.
Di samping pemerintah, kelompok financiers di New York turut memegang peranan penting. Mereka merumuskan sebuah metode baru bagi pembiayaan start-ups di Palo Alto, yaitu mekanisme modal ventura. Salah satu pionirnya yang terkenal adalah Arthur Rock.
Tokoh ini menyuntikkan dana awal bagi Robert Noyce cs untuk mendirikan Intel. Hanya dalam tiga tahun, modal awal ini sudah berlipat beberapa kali: cerita sukses semacam ini tentu menarik banyak pemodal lainnya, seperti gula yang mengundang semut. Mereka membuka kantor pada umumnya di Sand Hill Road, persis di samping Universitas Stanford, dan menjadi pelumas bagi cepatnya pergerakan high-tech capitalism yang menjadi kunci perkembangan wilayah ini.
Dengan semua itulah, Palo Alto, Universitas Stanford dan daerah sekitarnya mengalami transformasi, berubah dengan wajah seperti yang kita kenal sekarang. Sejak awal 1970an penggunaan nama Silicon Valley sudah mulai meluas, menggantikan sebutan lama daerah kecil ini, yaitu the valley of delight, lembah dengan pohon-pohon berbuah manis.
Advertisement
Perkembangan Lebih Luas dan Cepat
Sebenarnya, dengan ditemukannya mikroprosesor dan munculnya Intel sebagai salah satu raksasa baru Amerika, tugas Lembah Silikon bisa dianggap sudah “selesai.” Tanpa inovasi apapun setelahnya, pencapaian ini pasti sudah cukup mengharumkan nama Universitas Stanford dan wilayah sekitarnya.
Prestasi yang telah mereka raih sampai saat itu tidak dapat dipandang sebelah mata. Sejak teoritisi dan kaum eksperimentalis di Inggeris seperti Maxwell, Thomson dan Rutheford berhasil memahami fenomena elektromagnetik, menemukan partikel baru yang disebut elektron, serta mendeskripsikan sebuah model atom dengan elektron yang menari mengelilingi nukleus dalam orbit yang bertingkat, manusia telah melihat sebuah potensi besar yang terbentang di masa depan.
Kaum ilmuwan dan teknolog di berbagai pusat riset dunia berlomba menaklukkan partikel baru ini, memanipulasinya, atau membuat alat untuk memanfaatkan potensinya sebesar mungkin. Cerita tentang ini tentu panjang dan bercabang-cabang. Tapi bisa dikatakan bahwa di Universitas Stanford dan Lembah Silikon, di wilayah kecil ini dengan langit yang selalu biru, pemanfaatan potensi partikel baru tersebut untuk keperluan praktis manusia didorong hingga ke tapal batasnya yang terjauh.
Dengan semua itu bisa dikatakan bahwa pencapaian Universitas Stanford dari lahirnya hingga awal 1970an sebenarnya sudah pantas mendapat catatan tersendiri -- dan barangkali pada titik itu perguruan tinggi ini sudah sangat membanggakan kedua pendirinya, Leyland dan Jane Stanford.
Tapi ternyata the Stanford story tidak berhenti di situ. Mikroprosesor dan Intel terbukti bukan akhir, namun justru sebuah awal yang memicu perkembangan yang lebih luas dan lebih cepat lagi, dengan akibat yang terkadang masih mengejutkan kita hingga hari ini.
Mikroprosesor rupanya adalah a very fertile device, lebih dari mesin uap atau alat apapun sebelumnya, sangat fleksible serta mudah dimanfaatkan untuk mendukung berbagai aplikasi. Dan sebagai sebuah “mesin,” ia dalam dirinya sendiri terus berkembang pesat – batas alamiah perkembangan ini mengikuti sebuah prinsip yang dikenal sebagai Moore’s Law, dari Gordon Moore, tokoh yang telah disinggung di atas tadi.
Dalam hal ini satu contoh saja sudah cukup menakjubkan kita: jumlah transistor pada mikrochip dalam komputer Apollo 11 yang membawa Neil Amstrong ke bulan “hanya” di kisaran ratusan ribu, sementara dalam iPhone 6 yang ada sekarang jumlahnya sudah mencapai dua miliar – jadi, dari segi kemampuan serta kecepatan komputasi, kalau Apollo 11 adalah sepeda, bisa dikatakan bahwa iPhone 6 di kantong kita adalah pesawat supersonik.
Karena itulah, dengan fondasi teknologi baru seperti ini, begitu banyak inovasi yang kemudian lahir di Lembah Silikon pasca-1970. Daftarnya tentu akan terlalu panjang untuk diuraikan secara lengkap di sini. Dari segi industri-bisnis -- sebagaimana dijelaskan Michael Lewis dalam bukunya yang menarik, The New New Thing, A Silicon Valley Story (2000) -- semua inovasi ini telah menghasilkan “the greatest legal creation of wealth in the history of the planet.”
Tokoh-tokoh yang berperan di balik inovasi tersebut demikian pula, silih berganti dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Namun di antara mereka semua, Steve Jobs barangkali layak mendapat tempat tersendiri. Dengan memadukan science dan artistry dalam napas yang sama, dia melangkah cukup jauh melampaui mentornya, Robert Noyce. Steve Jobs bukan semata pencipta teknologi. Serangkaian inovasi yang lahir lewat tangannya atau lewat tim yang dipimpinnya dalam pemanfaatan teknologi tersebut -- dari komputer personal, iPod, iPad, hingga iPhone -- secara keseluruhan hanya mungkin disebut sebagai an act of genius.
Dipimpin oleh tokoh ini -- pada masa mudanya ia adalah pengagum berat Bob Dylan; ia juga menghirup sedalam-dalamnya semangat counter-culture dan Zen Buddhism sekaligus -- Apple seolah tanpa henti melakukan disrupsi, dan dengan semua itu menjadi perusahaan teknologi terbesar Amerika, melampaui pencapaian para pendahulunya.
Tokoh terakhir yang juga perlu dicatat adalah Larry Page dan Sergey Brin. Sama dengan Sigurd Varian, William Hewlett dan David Packard yang menjadi pionir di Palo Alto, kedua anak muda ini adalah mahasiswa pasca-sarjana Universitas Stanford yang meneliti dan kemudian menulis disertasi. Setelah meraih gelar doktor di akhir tahun 1990an, terdorong oleh berkembangnya internet, mereka kemudian menjadi ilmuwan-enterprenur, memodifikasi hasil penelitian mereka menjadi search engine.
Hasilnya adalah Google: sebuah “wadah” yang menjadikan dunia digital dan jaringan internet sebagai sumber pengetahuan yang seolah tak terperi.
Oleh karenanya, dengan Larry Page dan Sergey Brin, kita mungkin bisa berkata bahwa Universitas Stanford has come full-circle, setidaknya untuk sementara. Dari satu tesis ke tesis lainnya di zaman yang berbeda: perguruan tinggi ini telah mengubah banyak hal, dan saya kira kita semua bersyukur karenanya.
Itulah intinya the Stanford story. Masih banyak lagi sebenarnya yang bisa kita simak dari panorama baru di Lembah Silikon, seperti munculnya Elon Musk, sosok muda yang memutuskan menjadi drop-out dari Faculty of Applied Physics Universitas Stanford, pengagum Nicola Tesla.
Tokoh kelahiran Afrika Selatan ini sekarang dikenal sebagai pendobrak di garis terdepan, ikon baru pengganti Steve Jobs, dengan potensi disrupsi begitu luas, mulai dari sistem pembayaran (fintech), mobil listrik, mobil tanpa pengemudi, hingga pesawat antariksa gaya baru. Tapi karena semua ini masih tahap awal, sebuah work in progress, cerita lengkap tentang tokoh ini mungkin masih harus menunggu dua atau tiga tahun lagi.
Para Aktor di Balik Kemajuan
Jadi singkatnya, kembali ke Stanford Story, seperti yang telah kita lihat di bagian awal, dalam perjalanan perguruan tinggi ini banyak faktor yang terlibat dan memainkan peranan penting, baik swasta, pemerintah maupun kaum akademisi. Ada pula faktor yang bisa disebut sebagai keberuntungan, atau peluang yang bersifat situasional, suatu hal yang tentu tak mungkin terulang kembali, seperti Perang Dingin dan perlombaan antariksa dua negara adikuasa.
Satu hal yang juga perlu ditekankan: justru karena wilayahnya yang relatif kecil, Palo Alto dan Lembah Silikon secara umum cukup mudah mengalami suatu efek yang oleh ekonom Paul Krugman disebut the clustering effects.
Kalau tidak salah, Krugman menggunakan konsep ini untuk menggambarkan pertumbuhan pesat Chicago dan wilayah sekitarnya di akhir abad ke-19. Konsep ini, menurut saya, justru lebih menjelaskan daerah seperti Palo Alto, Mountain View, Cupertino dan Sunnyvale: sekali critical mass tercapai, baik dalam jumlah pendatang baru (ribuan keluarga kaum insinyur dan profesional lainnya yang terkait dengan industri pertahanan AS), maupun dalam jumlah perusahaan baru di Stanford Industrial Park, maka pergaulan dan pertukaran ide-ide yang intensif mudah terjadi.
Dalam hal ini, wilayah yang relatif kecil di Lembah Silikon bukan hambatan, tetapi justru menjadi kekuatannya. Percampuran, pergaulan, bahkan pergesekan ide-ide yang intensif di kalangan kaum yang relatif ahli dan memiliki pokok perhatian sama adalah tempat subur bagi tumbuhnya kreatifitas serta kemampuan untuk mencipta. Tentu hal ini bukanlah penentu absolut, tetapi lebih merupakan sebuah faktor yang membuka kemungkinan.
Faktor terpenting, pada hemat saya, adalah aktor-aktor yang berada di balik semua itu: tokoh-tokoh visioner, seperti Fred Terman, serta tipe-tipe manusia yang memang mempertaruhkan hidupnya untuk menggali atau mengejar pengetahuan sejauh mungkin dalam suatu bidang ilmu yang spesifik, dan dengan pengetahuan ini mereka berusaha mencipta serta melakukan terobosan baru.
Dari William Shockley, Robert Noyce hingga Steve Jobs dan duo Brin-Page: mereka bukan saja memanfaatkan peluang, tapi mereka juga menciptakan peluang tersebut, they bend the world to follow the arc of their will and creativity.
Dengan kata lain, pada esensinya mereka adalah pewaris terdepan, dalam konteks dan zaman yang berbeda, dari tokoh-tokoh penemu AS seperti Bell, Edison dan Wright bersaudara. Dan seperti kata Arnold Toynbee dalam The Study of History, sebuah peradaban memang kerap bergerak karena peran orang-orang kreatif seperti ini.
Singkatnya, kunci sukses Universitas Stanford, kalau bisa dikatakan demikian, adalah kesediaan, kemampuan serta keterbukaannya untuk menjadi wadah yang menyenangkan bagi orang-orang semacam itu.
Akhirnya, sebagai penutup, tentu saja kita harus bertanya: apakah sukses tersebut dapat terulang kembali di tempat lain? Bisakah kita di Indonesia turut bermimpi bahwa suatu saat kelak the Stanford story juga menjadi cerita tentang salah satu perguruan tinggi kita? The ITB story? The UGM story?
Semoga.
*** esai ini pertama kali diterbitkan di qureta.com.