Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika pada Jumat, 14 Juli lalu meminta Internet Service Provider (ISP) memblokir 11 Domain Name System (DNS) milik Telegram. Kebijakan ini pun didukung sejumlah pihak.
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menyebut, Telegram menjadi salah satu media favorit bagi para terduga teroris untuk saling bertukar informasi. Buktinya, kata Tito, 17 kasus teror bom yang terjadi dua tahun belakangan ini bermula dari komunikasi antar terduga teroris di Telegram.
Baca Juga
Tito menilai hal ini merupakan efek negatif dari kemajuan teknologi, khususnya Telegram.
Advertisement
"Kalau efek negatifnya (Telegram), kalau digunakan di tangan yang salah, kelompok teroris, misalnya, ini sangat berbahaya karena kami tidak bisa men-track mereka, terjadi nanti meledak di mana-mana," ujar Tito di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Senin (17/7/2017).
"Nah, ini 17 kasus termasuk yang di Falatehan, Bandung, Polda Sumut, semua gunakan komunikasi ini (Telegram). Bahkan yang ngajarin cara membuat bom atau yang ajari ideologi pemahaman doktrin radikal," ucap dia.
Tito mengatakan, sebelumnya pemerintah Indonesia tidak ingin langsung memblokir Telegram. Dia pun kemudian meminta akses ke Telegram.
"Awalnya kami tidak ingin menutup (Telegram), awalnya kami (minta) diberi akses. Ini masalah national security, masalah keamanan negara, kami diberi akses untuk tahu siapa itu yang memerintahkan ngebom, siapa itu menyebarkan paham radikal, jadi kita diberi akses khusus untuk kasus terorisme, tapi enggak dilayani, enggak ditanggapi (oleh Telegram)," ujar Tito.
Karena tidak ditanggapi oleh Telegram, lanjut Tito, akhirnya diambil keputusan menutup atau memblokir media sosial tersebut.
"Kita tahu bahwa ini adalah profit oriented bagi mereka, market besar bagi mereka Telegram ini, penggunanya jutaan di Indonesia. Begitu kita tutup, mikir mereka. Nah, sekarang saya dengar mereka sudah mulai membangun hubungan komunikasi dengan Menkominfo," ucap Tito.
Kapolri tidak mempermasalahkan jika Telegram dibuka lagi. Asal, "kita diberikan akses kalau ada data-data mengenai ini kaitan dengan terorisme, diberi akses dan yang radikal-radikal yang mengajari membuat bom. Kita diberi akses siapa mereka itu, kira-kira begitu. Kalau mereka sudah bantu kita, ada deal dengan Menkominfo, pemerintah, kita pikir fine," ujar Tito.
Menurut Tito, antara civil liberty (kebebasan individu) dan national security (keamanan negara) adalah zero somegame. Artinya, "kalau satu ditambah, yang lain akan berkurang. Yang satu ditambah, keamanan negara ditambah, pasti akan mengurangi civil liberty. Itulah risiko, itu adalah natural," kata Tito.
Dengan terganggu dan terancamnya keamanan negara, maka kebebasan individu dikurangi.
"Kita melihat national security, ini akan terganggu dan terancam dengan adanya fitur-fitur yang disalahgunakan oleh kelompok-kelompok ini. Nah, untuk itu civil liberty otomatis harus dikurangi dalam penggunaan Telegram ini," tutur Kapolri.
Â
Saksikan video menarik di bawah ini:
Â