Jalan Pahit Bung Hatta Menuju Tanah Pembuangan di Boven Digul

Di Digul, Hatta hanya diberi beras, ikan asin, dan minyak kelapa sehingga harus bercocok tanam untuk mencukupi pangan.

oleh Edmiraldo Siregar diperbarui 10 Agu 2017, 19:42 WIB
Diterbitkan 10 Agu 2017, 19:42 WIB
[Bintang] Bung Hatta
Bung Hatta. foto: commons.wikimedia.org

Liputan6.com, Jakarta - Mohammad Hatta diminta bersiap. Sebuah mobil berwarna gelap telah menunggu di depan penjara Gang Tengah (sekarang Rutan Salemba), 23 Januari 1935 silam. Baru sebulan mendekam di sana, ternyata dia sudah akan dipindah lagi.

Sebelumnya, pria Minang itu ditahan di penjara Glodok. Tulisan-tulisan dia di Daulat Ra'jat serta kursus-kursus politik bersama Partai Nasional Indonesia Pendidikan atau PNI Baru ternyata membuat pemerintah Hindia Belanda gerah.

(Ikuti "Jejak Pejuang di Kota Pembuangan" di sini).

Bung Hatta ditangkap bersama tokoh PNI Baru lain seperti Sutan Sjahrir, Februari 1934. Setelah setahun ditahan di Batavia (sekarang Jakarta), tiba waktunya bagi Hatta menuju tanah pengasingan.

Setelah mengganti pakaian dan mengepak barang-barang pribadi, Hatta berjalan masuk ke mobil. Di situ, sudah ada Sutan Sjahrir yang dijemput lebih dulu dari Penjara Cipinang. Bersama beberapa tahanan lain, mereka diantar ke Tanjung Priok untuk berlayar menuju Boven Digul, Papua.

Rombongan kecil itu menumpangi kapal Melchior Treub milik pemerintah Hindia Belanda. Hatta dan Sjahrir ditempatkan di kelas dua, sementara tahanan lain ditaruh di dek. Kapal mesin itu pun berangkat ke arah timur menuju tanah antah-berantah.

Namun, mereka tidak langsung diangkut ke Digul, tapi singgah sebentar di Surabaya. Di sana, Hatta sempat ditemui Pimpinan Redaksi Harian Pemandangan bernama Seraun. Dia menawari Hatta posisi kontributor dengan upah 5 gulden per artikel.

Dalam buku Mohammad Hatta: Indonesian Patriot, Proklamator Kemerdekaan Indonesia itu mengaku senang mendapat tawaran dari Pemandangan.

"Saya sangat senang menerima tanggung jawab itu karena akan punya uang untuk bertahan hidup," tulis Hatta. Ia berusia 33 tahun saat itu. Masih melajang.

Dari Surabaya, kapal melanjutkan pelayaran menuju Makassar. Lalu, ke Ambon dan berlanjut ke muara sungai Digul.

Malam telah tiba ketika kapal melintasi Sungai Digul. Hatta menyebut, hanya gelap yang bisa disaksikan. Maklum, yang mereka lintasi memang wilayah terpencil tanpa penduduk. Saat pagi tiba, barulah gambaran lingkungan Papua yang diselimuti hutan belantara bisa disaksikan Hatta.

Dua Kelompok Orang Buangan

Hatta, Sjahrir, dan orang-orang terbuang itu tiba di Tanah Merah pada 28 Januari 1935. Disambut Lurah Tanah Merah, mereka dibagi ke dalam dua kelompok.

Kelompok pertama adalah tawanan yang memilih bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda. Mereka diberi uang belanja 9,5 gulden per bulan. Sementara kelompok kedua, yang tak mau bekerja sama dan dikenal sebagai golongan naturalis, hanya diberi beras, ikan asin, gula, dan minyak kelapa.

Kelompok naturalis pun harus bercocok tanam untuk mencukupi kebutuhan hidup. Hatta sendiri memilih sebagai seorang naturalis.

Digul sendiri merupakan wilayah pembuangan yang dikelilingi rawa dan hutan yang dihuni penduduk primitif kala itu. Selain itu, serangan nyamuk malaria menjadi ancaman yang harus diwaspadai setiap harinya.

"Sekalipun orang buangan datang dengan badan yang sehat ke Digul, setelah tinggal di situ, dia pasti dihinggapi malaria. Untuk menangkal penyakit itu, kami hanya dibagikan pil kina," kata pendiri Sarekat Pelayaran Bangsa Indonesia, Suparmin, yang pernah menghuni pengasingan Digul seperti dikutip dari Prisma edisi Agustus 1988.

Namun, Hatta memang selalu berpikir positif. Ketika di Boven Digul, dia sempat meminta iparnya, Dahlan Sutan Lembaq Tuah, untuk mengirimkan alat pertukangan. Hatta menyebut, dia ingin belajar teknik membangun rumah selama ke Digul.

Saksikan video menarik di bawah Ini:

 

 

 

 

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya