Liputan6.com, Jakarta - Dalam hiruk-pikuk kehidupan dunia, banyak orang merasa sangat aktif, sibuk, dan produktif. Namun, tahukah kita bahwa menurut salah satu ulama besar Indonesia, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha, sejatinya kita ini sedang tidur?
Pernyataan Gus Baha yang terdengar sederhana ini ternyata menyimpan makna mendalam tentang kesadaran spiritual. Ia tidak sedang berbicara tentang tidur secara fisik, melainkan keadaan batin dan kesadaran kita yang sering tertidur terhadap tujuan hakiki kehidupan.
Gus Baha menekankan bahwa manusia kerap terjebak dalam angan-angan dan lamunan yang tidak berkaitan dengan realitas akhirat. Kita sering membayangkan kekayaan, jabatan tinggi, dan kehidupan mewah, tanpa menyadari bahwa semua itu bisa jadi tidak berguna saat kita menghadap Allah kelak.
Advertisement
Ulama ahli tafsir ini menegaskan bahwa yang akan menentukan nilai kita di akhirat bukanlah apa yang kita miliki di dunia, melainkan seberapa besar kita menghamba kepada Allah SWT sepanjang hidup.
“Kenapa kita dikatakan sekarang ini tidur? Karena kita ini sering menyaksikan sesuatu yang sebetulnya nggak ada hubungannya dengan kita, nggak ada hubungannya dengan kebutuhan kita,” ujar Gus Baha dalam ceramahnya yan dikutip dari salah satu pengajian di kanal YouTube @Demengusbaha.
Menurut Gus Baha, orientasi hidup seseorang sangat menentukan kualitas dirinya. Jika yang dikejar hanyalah hal-hal duniawi, maka ia termasuk orang yang tertidur dari kesadaran sejatinya sebagai hamba.
Ia bahkan menggambarkan skenario di akhirat, di mana hati dan orientasi manusia akan “diputar ulang” oleh Allah. Jika sepanjang hidup seseorang hanya memikirkan rumah mewah, kendaraan, dan jabatan, maka hal itu akan tampak jelas dan tidak bisa disangkal.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Jangan Sampai Tahu Baru setelah Meninggal
Di sisi lain, cita-cita yang sejalan dengan kehendak Allah adalah menjadi hamba yang saleh, bermanfaat bagi orang lain, banyak beribadah, dan mencintai kebaikan. Inilah impian yang seharusnya kita genggam erat.
“Jadi ini kan gak sambung,” kata Gus Baha sambil menekankan bahwa banyak orang punya cita-cita duniawi yang bertolak belakang dengan apa yang dikehendaki Allah kepada hamba-Nya.
Kitab-kitab klasik dalam Islam, lanjut Gus Baha, selalu dimulai dengan bab tentang niat. Ini menunjukkan bahwa niat adalah dasar dari segalanya. Jika niat kita benar, maka arah hidup kita juga akan benar.
Sebaliknya, bila niat kita hanyalah mencari kenyamanan pribadi, maka kita sedang berada di jalur yang salah. Bahkan jika niat itu tampak "netral" di mata dunia, tapi jika tidak menyambung ke Allah, tetap saja tidak bernilai.
Gus Baha juga menyindir kondisi banyak orang yang merasa malas beribadah, seperti wiridan, karena merasa tidak menghasilkan apa-apa secara materi. Padahal, jika mereka meninggal dalam keadaan lalai, barulah sadar bahwa wiridanlah yang justru penting.
Orang akan merasa bodoh di akhirat ketika menyadari bahwa semua ambisi dan kejaran duniawi yang mereka agungkan selama ini ternyata tidak punya nilai di sisi Allah.
“Menjadi bodoh itu ketika Anda meninggal, ternyata uang ini nggak penting, wiridan ini penting, tapi tahu kita terlambat setelah kita meninggal,” ujar Gus Baha dengan nada tegas.
Advertisement
Mari Evaluasi Orientasi Hidup
Pernyataan itu seakan menjadi tamparan lembut bagi banyak orang yang terlalu mencintai dunia dan lupa menyiapkan bekal akhirat. Kita merasa sadar, padahal tidur dalam kesadaran yang sesungguhnya.
Dalam konteks spiritual, tidur berarti lalai. Dan lalai berarti abai terhadap Allah, terhadap kematian, serta terhadap nasib akhir kita kelak di alam kubur dan yaumul hisab.
Oleh sebab itu, Gus Baha mengajak kita untuk kembali mengevaluasi orientasi hidup. Jangan sampai kita menyia-nyiakan umur untuk hal-hal yang tidak menyambung dengan kehidupan abadi di akhirat.
Ia menegaskan bahwa orang baik adalah orang yang orientasi hidupnya menuju Allah, bukan menuju harta, tahta, atau ketenaran. Semakin banyak kita mengingat akhirat, semakin sadar kita bahwa dunia ini hanya persinggahan.
Maka, jika selama ini kita merasa sedang "hidup" dengan segala kesibukan dan ambisi duniawi, Gus Baha mengingatkan bahwa bisa jadi kita justru sedang tidur nyenyak—dan akan terbangun saat semuanya sudah terlambat.
Kesadaran ini bukan untuk membuat kita anti terhadap dunia, tapi agar kita lebih bijak dan meletakkan dunia di tangan, bukan di hati.
Akhirnya, nasihat Gus Baha menjadi pengingat bahwa cita-cita tertinggi seorang hamba bukanlah menjadi orang sukses menurut dunia, tapi menjadi kekasih Allah yang hatinya selalu tertaut dengan-Nya.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
