'Kacamata Hatta, Jejak Sang Proklamator'
Perpustakaan Nasional baru saja meluncurkan buku Kacamata Hatta, Jejak Sang Proklamator. Buku tersebut merupakan hasil workshop penulisan karya tulis tentang Bung Hatta yang digelar UPT Perpustakaan Proklamator Bung Hatta, Bukittinggi.
Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi Perpusnas, Ofy Sofiana mengatakab, workshop penulisan tentang Bung Hatta merupakan salah satu upaya mendorong masyarakat agar memiliki kemampuan dan minat untuk menulis.
Hal ini bertujuan mendorong iklim perbukuan di Indonesia dan penguatan konten literasi untuk memenuhi kekurangan bahan bacaan, sekaligus memberi pembekalan pengetahuan dan keterampilan dalam upaya mewujudkan masyarakat yang mandiri dan sejahtera.
"Kegiatan workshop penulisan ini mendapat dukungan penuh dari Perpustakaan Nasional, melalui Perpusnas Press, di mana hasil tulisan peserta workshop dihimpun dan diterbitkan, untuk memotivasi tumbuhnya minat dan kemampuan menulis,” ucap Ofy Sofiana dalam webinar Peluncuran dan Diskusi Buku Kacamata Hatta, Jejak Sang Proklamator yang digelar virtual, Senin (29/11/2021).
Senada dengan itu, Kepala UPT Proklamator Bung Hatta, Nur Karim menegaskan, perpustakaan perlu berperan menjadi pusat tempat untuk mendorong produktivitas dan kreativitas yang berdampak perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Pimpinan Redaksi Perpusnas Press, Edi Wiyono, mengungkapkan workshop yang diselenggarakan pihaknya, sejalan dengan program dan kegiatan prioritas Perpusnas yakni pengembangan perbukuan dan penguatan konten literasi. Diketahui, ekosistem perbukuan di Indonesia masih belum memuaskan.
"Saat ini satu buku masih ditunggu oleh 90 orang, untuk itu kondisi ekosistem perbukuan perlu dikembangkan. Bagi yang belum bisa membaca buku Kacamata Hatta, Jejak Sang Proklamator secara langsung, bisa mengaksesnya digital melalui iPusnas dan SiPENA," kata Edi.
Cerita di Balik Mundurnya Mohammad Hatta dari Kursi Wapres RI
Senin 23 Juli 1956. Ketua DPR Sartono kaget bukan kepalang menerima sepucuk surat. Apalagi di bagian pengirim tertera nama Wakil Presiden Mohammad Hatta. Belum hilang rasa kagetnya, Sartono kembali mengerutkan kening ketika membaca isi surat Hatta tertanggal 20 Juli 1956 itu, yang berbunyi:
"Merdeka, dengan ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi".
Menerima surat tersebut, DPR awalnya menolak memenuhi permintaan Hatta secara halus. Caranya dengan tidak menanggapi atau membalas surat tersebut. Apalagi, ini bukan kali pertama Hatta mengirimkan surat senada kepada DPR.
Setahun sebelumnya, yaitu 1955, Hatta juga pernah mengirimkan sepucuk surat kepada DPR. Dalam surat itu Hatta menyatakan keinginan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden.
Ketika itu Hatta dengan tegas berkata, "Sejarah Dwitunggal dalam politik Indonesia tamat, setelah UUD 1950 menetapkan sistem Kabinet Parlementer".
Alasannya, bila Parlemen dan Konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk dan menggunakan Kabinet Parlementer, maka Presiden hanya bertugas sebagai kepala negara. Kepala negara pun hanya berfungsi sebagai simbol, sehingga wapres tidak diperlukan lagi.
Ketika itu, surat Hatta didiamkan oleh DPR dengan harapan keinginan tersebut akan hilang dengan sendirinya. Di atas semuanya, DPR jelas tak melihat ada manfaatnya jika Dwitunggal Soekarno-Hatta pecah di tengah jalan.
Namun, kali ini Hatta tidak main-main. Jumat, 23 November 1956, dia kembali mengirim surat kepada DPR menanyakan kelanjutan surat sebelumnya. DPR kemudian memberlakukan surat itu sebagai sesuatu yang mendesak.
Sejumlah rapat yang berlangsung maraton digelar di gedung DPR, yang ketika itu masih berlokasi di Lapangan Banteng Timur, bersebelahan dengan gedung Kementerian Keuangan sekarang. Untuk mempermudah pembahasan surat Mohammad Hatta, sebuah panitia permusyawaratan pun dibentuk.
Rapat pertama digelar Rabu, 28 November 1956. Dalam sidang ini, hadir 145 anggota DPR dan hanya berlangsung selama 2 menit saja. Ketua DPR Sartono bertanya kepada panitia tentang laporan yang sebelumnya sudah dibuat tentang pertemuan mereka dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Panitia belum siap dengan laporan itu.
Sidang kemudian dilanjutkan keesokan harinya, pada Kamis, 29 November. Kali ini, hadir 200 anggota DPR dan sidang cuma berlangsung 7 menit. Panitia melapor kepada Ketua DPR bahwa dianggap perlu untuk bertemu dengan Presiden Sukarno guna membicarakan niat Hatta tersebut. Sukarno sendiri baru akan menerima panitia pada Jumat keesokan hari, 30 November.
Sidang untuk mengambil keputusan apakah menyetujui keinginan Hatta atau tidak dilanjutkan pada Jumat malam, 30 November 1956. Jumlah anggota yang hadir bertambah dan disemarakkan pula dengan kehadiran 14 menteri Kabinet Ali Sastroamidjojo.
Malam itu, DPR sepakat untuk memenuhi permintaan Hatta. Maka, sepekan setelah Hatta berkirim surat, DPR menyatakan setuju untuk melepas Hatta. Jadi, terhitung sejak Sabtu, 1 Desember 1956, Mohammad Hatta resmi mengakhiri jabatannya sebagai Wakil Presiden RI yang telah diembannya selama 11 tahun.
Tak berhenti di situ, DPR kemudian membahas sosok pengganti Hatta yang akan mengisi kursi wakil presiden. Dalam UUD hanya disebutkan bahwa Presiden dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh seorang wakil presiden. Lantas, siapa yang akan membantu Presiden kalau wakilnya tidak ada? Hal ini sama sekali tidak dijelaskan dalam UUD.
Sidang juga diramaikan oleh pro dan kontra tentang perlu tidaknya jabatan Wakil Presiden diisi kembali. Kalau iya, siapa yang akan menggantikan Hatta? Sayang pembicaraan ini tak pernah berujung dan faktanya jabatan Wakil Presiden RI kemudian kosong selama 17 tahun.
Barulah pada 1973 kursi Wakil Presiden diisi lagi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Namun, itu tak lagi di era Presiden Sukarno yang tumbang seiring dengan berakhirnya era Orde Lama.
Sayang, DPR sama sekali tak tertarik mencari tahu penyebab renggang hingga pecahnya Dwitunggal Proklamator RI.
Kisah Cinta Bung Hatta, Berlabuh pada Hati Anak Mantan Kekasih
Bab-bab awal kemerdekaan Indonesia nyatanya tak semata soal perjuangan membangun negeri, namun juga upaya salah satu proklamatornya, Mohammad Hatta, atau yang lebih akrab disapa sebagai Bung Hatta, menemukan tambatan hati.
Kobaran jiwa patriot lelaki berdarah Minang itu membuatnya bertekad tak akan menikah sampai Indonesia merdeka dari belenggu penjajah. Namun berbulan-bulan setelah proklamasi, nyatanya Bung Hatta belum juga naik pelaminan.
Akhirnya, ia melabuhkan hati pada seorang perempuan bernama Rachmi Rahim. Melansir berbagai sumber, Senin, 8 Februari 2021, setelah dilamarkan Bung Karno, keduanya menikah pada 18 November 1945.
Bung Hatta diceritakan pertama kali bertemu Rahmi di Institut Pasteur, Bandung. Saat itu, ia dan Bung Karno sedang berkunjung.
Meski hanya melihat sekilas, figur yang juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia ini langsung tertarik pada Rachmi. Bung Karno pun membantu melamarkan Rachmi yang usianya 24 tahun lebih muda dari Bung Hatta.
Gelitik fakta lainnya adalah Rachmi ternyata anak dari mantan kekasih Bung Hatta. Prinsip tak mau menikah sebelum Indonesia merdeka membuatnya berpisah dari gadis bernama Anni. Ia kemudian menikah dengan kawan dekat Soekarno, Abdul Rachim.
Bung Hatta sendiri tercatat menyerahkan buku Alam Pikiran Yunani yang ditulis selama masa pembuangan di Boven Digul sebagai mas kawin. Ia pun mempersunting Rahmi di sebuah vila di Megamendung, Bogor.
Kala itu, Bung Hatta sudah berusia 43 tahun sedangkan Rachmi baru berumur 19 tahun. Perbedaan usia ini nyatanya tak jadi halangan berarti bagi mereka yang kemudian dikaruniai tiga orang anak tersebut.
Hingga akhir hayat Bung Hatta, Rachmi adalah satu-satunya perempuan yang tercatat hadir di hidupnya. Perhentian terakhir Bung Hatta setelah menuntaskan keinginannya membawa Indonesia merdeka.
Tidak semua orang bisa dan punya kesempatan untuk bertemu dengan belahan jiwa dan saling memberikan cinta abadi hingga lanjut usia sampai maut memisahkan. Seribu Kali Cinta merupakan ungkapan tekad untuk memberikan cinta abadi kepada sang belahan jiwa.
Berita Terbaru
Rekomendasi Film Indonesia untuk Peringati Hari Guru Nasional 25 November
Cara Menuntut Nafkah Anak Setelah Cerai, Sesuaikan Hukum yang Berlaku
Tips Agar Santan Tidak Pecah Saat Dimasak, Buat Hidangan Jadi Lebih Lezat
Apa Itu DOM dalam Bahasa Gaul: Panduan Lengkap Memahami Istilah Populer
15 Tips Semangat Kerja yang Ampuh untuk Tingkatkan Produktivitas
572 TPS di Jakarta Berpotensi Rawan Banjir, KPU Siapkan Mitigasi
Tips Agar Risol Tetap Garing dan Renyah, Praktikkan Teknik Menggoreng yang Tepat
Cara Menulis Tanggal yang Benar, Pedoman Terlengkap dan Contoh
Rahasia Rebus Udang Tetap Cantik dan Lembut yang Jarang Diketahui
Tips Menghilangkan Rasa Pahit pada Pepaya Matang yang Wajib Diketahui
Negara Miskin Bakal Guyur Rp 4,7 Kuadriliun Pendanaan Iklim
Apa Itu Dissenting Opinion Hakim MK: Pengertian, Dampak, dan Sejarahnya di Indonesia