Kata KPAI Usai Jokowi Teken Perpres Pendidikan Karakter

Delapan belas karakter yang terdapat dalam perpes tidak mungkin semuanya dapat diterapkan oleh sekolah.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 08 Sep 2017, 03:37 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2017, 03:37 WIB
20170906-Jokowi-Jakarta-Perpres
Presiden Jokowi didampingi sejumlah menteri dan ormas saat mengumumkan Perpres Penguatan Pendidikan Karakter. (Liputan6.com/Ahmad Romadoni)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat pendidikan sekaligus Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengapresiasi diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Perpres ini bukan hanya sekadar menghilangkan polemik lima hari atau enam hari sekolah, tetapi juga sesuai kebutuhan dan kepentingan anak.

"Kalau kita melihat Ki Hajar Dewantara, ini menyatakan kalau tempat terbaik untuk mengembangkan karakter memang sekolah, di mana anak-anak berbagai karakter dari rumah itu akan mendapatkan satu karakter yang sama di sekolah dan karakter ini, karakter positif," ujar Retno dalam sebuah acara diskusi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (7/9/2017).

Alasannya, ujar dia, membangun karakter di sekolah berarti membangun budaya sekolah. Bila membangun budaya sekolah, berarti semuanya harus berubah.

"Jadi kita tidak bisa menuntut dalam pendidikan karakter itu murid harus berubah, hanya anak-anak yang bisa berubah, tetapi orang dewasa di sekitar anak tidak berubah. Misalnya guru, tenaga pendidikan seperti TU, kepala sekolah, dan birokrasi pendidikan juga tidak berubah. Tentu saja mereka harus memberi contoh itu. Ini yang disebut dengan role model," ujar dia.

Menurut Retno, 18 karakter yang terdapat dalam Perpes tidak mungkin semuanya dapat diterapkan oleh sekolah. Jadi, petunjuk dan teknis (juknis) harus dijelaskan secara detail. Karena itu, Retno menilai, seharusnya sekolah membuat kesepakatan dengan warga untuk memilih pendidikan karakter apa saja yang akan diterapkan.

"Misalnya mau memilih karakter jujur, berarti bila mau karakter jujur harus dibangun dari budaya sekolah, dimulai dari kepala sekolah," ujar dia.

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

Bangun Karakter Jujur

Kepala sekolah, ujar Retno, harus mampu membangun situasi jujur di sekolah dengan transparan yang bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu, laporan per bulan ditampilkan di website. "Semua warga sekolah berpartisipasi dalam menyusun anggaran," ujar dia.

Karakter di sekolah itu, dia melanjutkan, tidak bisa dilakukan dengan didikte, melainkan dibiasakan terhadap para siswa.

"Karakter itu pembudayaan sehari-hari. Nah, ini yang perlu disiapkan pemerintah segera. Jadi selain juknis, pemerintah harus menyiapkan pelatihan-pelatihan terhadap guru, membangun pola pemikiran guru. Bahwa Anda (guru) garda terdepan dan agen perubahan terdepan," ujarnya.

"Nah, guru sebetulnya bingung bagaimana mengintegrasikan ekstrakulikuler, intrakulikuler, dan kulikuler. Ini perlu petunjuk mengintegrasikannya harus seperti apa," ujar Retno.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya