Penolakan Grasi Terpidana Kasus Mati Narkoba Sudah Tepat

Presiden Joko Widodo menilai, maraknya peredaran narkoba di Indonesia sudah pada tahap darurat dan sangat memprihatinkan

oleh Reza diperbarui 04 Nov 2017, 07:33 WIB
Diterbitkan 04 Nov 2017, 07:33 WIB
Ilustrasi Narkoba 5 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi Narkoba 5 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo menilai, maraknya peredaran narkoba di Indonesia sudah pada tahap darurat dan sangat memprihatinkan. Sebab, obat-obatan terlarang itu telah banyak merenggut jiwa warga negara, khususnya generasi muda bangsa.

Karena peredaran barang haram itu, Jokowi menyebut ribuan orang meninggal dan mengalami kerugian yang besar. Untuk itu, dia menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia tak akan kompromi dengan pelaku peredaran narkoba. Bahkan mengenai grasi terpidana mati narkoba.

Hal senada diutarakan oleh Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional (BNN) Sulistiandriatmoko. Ia mengatakan sikap Presiden Jokowi sudah konsisten mengenai penolakan grasi terpidana mati kasus narkoba.

“Grasi itu hak progresif Presiden kalau sudah indonesia darurat narkoba, sudah wajar grasi ditolak setiap usulan yang diajukan oleh pihak keluarga terpidana mati narkoba,” imbuh Sulistiandriatmoko saat ditemui Liputan6.com, Kamis (26/10/2017).

Mengenai grasi, lanjut Sulistiandriatmoko, kalau Presiden setuju dengan grasi kasus terpidana narkoba akan menjadi kontradiktif. Namun, sampai saat ini Presiden Jokowi tetap konsisten, menolak grasi terpidana mati kasus narkoba.

“Sudah banyak terpidana kasus narkoba terus mengajukan grasi terhadap Presiden. Tentu hal itu selalu ditolak oleh Presiden Jokowi,” ujar Sulistiandriatmoko.

Ia melanjutkan, pada 2014 tercatat 1,6 juta jiwa sebagai coba pakai, 1,4 juta jiwa teratur pakai, dan sisanya pecandu narkoba.

“Salah satu terpidana mati kasus narkoba, Fredy Budiman sudah sering kali mengajukan garasi,” imbuh Sulistiandriatmoko.

 

 

(*)

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya