Liputan6.com, Jakarta - Deru helikopter mendarat di Lapangan Istana, Bogor, Jawa Barat. Kala itu, Jumat, 11 Maret 1966, waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB. Tiga orang jenderal angkatan darat (AD) bergegas datang menemui Presiden Sukarno.
Ada yang mengatakan, para jenderal itu datang mengendarai Jeep yang dikemudikan Brigjen Muhammad Jusuf, yang kala itu menjabat Menteri Perindustrian. Dua jenderal lainnya, Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran dan Demobilisasi) dan Brigjen Amir Mahmud (Panglima Kodam Jaya), ada di dalamnya.
Saat para jenderal datang, Sukarno tengah beristirahat. Hari itu memang bukan momen yang menggembirakan. Tak seperti biasanya, Sukarno datang ke Istana Bogor lebih awal. Dia pergi meninggalkan rapat kabinet di Jakarta menuju Bogor dengan tergesa-gesa.
Advertisement
Brigjen Saboer, pengawal dan ajudan kepercayaan Sukarno, melaporkan adanya kericuhan dan pasukan liar mendekati Istana Merdeka, Jakarta. Padahal sebelumnya, Amir Mahmud yang dipercaya untuk mengamankan rapat, melaporkan situasi dalam kondisi aman.
Kejadian tersebut yang memunculkan inisiatif dari Basuki Rachmat dan Jusuf untuk menemui Sukarno di Bogor. Meskipun kedua menteri ini hadir dalam rapat kabinet di Istana Merdeka, mereka tidak tahu -menahu mengenai laporan berbeda hingga memunculkan ketegangan antara Saboer dan Amir Mahmud.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Â
Lahirnya Supersemar
Seperti ditulis dalam laman Intelijen, sebelum berangkat ke Bogor, tiga jenderal ini sempat menemui Soeharto di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta. Waktu itu Soeharto yang telah diangkat Sukarno sebagai Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban sedang dalam kondisi sakit.
Soeharto kemudian mengizinkan ketiganya untuk menemui Sukarno dan menitipkan pesan, "Saya bersedia memikul tanggung jawab apabila kewenangan untuk itu diberikan kepada saya untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan Tritura."
Di balik kedatangan tiga jenderal itu ternyata ada maksud lain. Mereka meminta Sukarno agar memberikan kewenangan penuh kepada Soeharto untuk mengamankan kondisi negara. Berdasarkan pengakuan Lettu Sukardjo, pengawal presiden yang berjaga waktu itu, suasana tampak tegang.
Antara tiga jenderal dan Sukarno terlibat adu argumen tentang isi surat kewenangan yang akan diberikan kepada Soeharto. Bahkan Sukardjo mengatakan sempat terjadi todong-todongan senjata antara dirinya dan para jenderal.
Karena berbagai desakan yang muncul, akhirnya Sukarno menandatangani surat kewenangan untuk Soeharto. Surat itu yang kemudian dikenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966.
Berbekal SP 11 Maret, Soeharto setapak melangkah lebih depan menuju kekuasaan. Tepat pada 22 Februari 1967, Sukarno menyerahkan nakhoda pemerintahan Indonesia kepada Soeharto.
Â
Â
Advertisement
Misteri yang Belum Terkuak
Hingga kini, kebenaran tentang isi dari Supersemar serta jalannya peristiwa masih menjadi perdebatan. Masalahnya sederhana. Surat perintah yang telah menciptakan sejarah itu tak bersisa. Secarik kertas yang begitu penting, tak jelas ada di mana dan disimpan oleh siapa.
Bahkan, kebenaran adanya secarik kertas itu juga diragukan, karena tak ada keterangan tentang siapa yang mengetik Supersemar. Terlebih belakangan muncul dua versi Supersemar, yang hanya berupa secarik kertas dengan yang dua lembar.
Untuk yang selembar pun beredar beberapa versi dengan isi berbeda. Nama Sukarno pun ditulis tak sama. Tak jelas mana yang benar.
Karena itu, meski Sukarno disebutkan pernah mengatakan kalau naskah yang saat ini beredar secara resmi bukanlah yang sebenarnya dia perintahkan, Presiden pertama RI itu juga tak menuliskan butir-butir sebenarnya dari Supersemar.
Sementara Soeharto dan tiga jenderal yang datang ke Istana Bogor tak pernah buka mulut soal apa yang sebenarnya terjadi di hari Jumat itu. Hingga akhir hayatnya, mereka menyimpan semua misteri itu untuk mereka sendiri.
Â
Dokumen Itu Ada
Kendati demikian, sejarawan Universitas Indonesia Anhar Gonggong menyatakan, keberadaan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) seharusnya tidak perlu diperdebatkan lagi. Salah satu kejadian sejarah tersebut dinilainya telah usai.
"Apalagi Pak Harto sudah meninggal, Bung Karno juga sudah meninggal," ujar Anhar di Jakarta, seperti dikutip dari Tempo.
Menurut dia, publik selalu menyangsikan keberadaan dokumen Supersemar yang asli. Namun, ia meyakini bahwa dokumen itu pasti ada. "Pasti ada. Saya melakukan berbagai observasi tentang itu. Isinyalah yang menjadi persoalan," ujar Anhar.
"Tapi, kalau Soeharto tidak membubarkan PKI, semakin tinggi tuntutan orang untuk membubarkan itu. Siapa yang bisa menahan massa pada saat itu?" ujar Anhar.
Karena itu, perdebatan mengenai latar belakang dikeluarkannya Supersemar oleh Sukarno bagi dia telah berakhir. Sukarno dan Soeharto memiliki perannya masing-masing bagi bangsa ini.
"Saya tidak pernah mengartikan Sukarno dan Soeharto jelek sepenuhnya," tegas Anhar.
Kini, 52 tahun setelah Jumat yang penuh misteri itu, kita kembali hanya dihadapkan pada fakta yang ada di buku-buku pelajaran sejarah yang meniadakan cerita kontroversial itu. Setengah abad lebih setelah Supersemar, kita masih saja mencari kertas yang ditandatangani Sang Proklamator.
Advertisement