Liputan6.com, Jakarta - Tragedi kerusuhan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Selasa 8 Mei lalu menelan korban jiwa. Total enam orang meninggal dalam peristiwa itu. Lima orang merupakan anggota kepolisian, satu lainnya napi teroris.
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menyatakan berduka. Dia menyebut, lima anggotanya yang gugur dalam insiden kerusuhan di Mako Brimob dari tim pemberkasan, bukan tim penindakan.
Tak berhenti di situ, aksi penyerangan terhadap anggota Brimob kembali terjadi pada Kamis, 10 Mei malam.
Advertisement
Seorang anggota Intelmob tewas ditikam orang tak dikenal di parkiran kantor Sat Intel Kor Brimob sekitar pukul 23.00 WIB.
Terkait aksi ini, pengamat politik dari Universitas Padjajaran (Unpad) Muradi Klark memperkirakan, pelaku penusukan bekerja sendiri (lone wolf) dan tidak terkait dengan kelompok teroris yang ditahan di Rutan Mako Brimob.
"Mereka punya ideologi yang sama, tidak ada hubungan sama sekali (antara pelaku penusukan dengan napi teroris)," kata Muradi saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (11/5/2018).
Menurut Muradi, teroris-teroris yang satu ideologi dengan napi teroris berusaha memanfaatkan kerusuhan sebelumnya untuk mencari sasaran baru.
Dia melanjutkan, aksi kerusuhan di Mako Brimob yang berlanjut dengan penusukan telah direncanakan oleh para napi teroris dan teroris-teroris lain yang masih berada di luar penjara. Mereka telah mempersiapkan diri menjadi martir.
"Ibaratnya mereka sudah kebelet perang 'sahid' dan memaksakan diri untuk menyerang," ucap Muradi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Keluarga Teroris di Sekitar Brimob
Dia menyebutkan, kontak antara napi teroris dan orang yang sepaham yang berada di luar sel sangat mungkin terjadi, mengingat para napi teroris masih bisa menerima kunjungan di penjara. Apalagi ada fakta, banyak keluarga napi teroris dan jaringan mereka ternyata mengontrak rumah di sekitar kawasan Brimob.
"Berdasarkan hasil penelitian kami pada 2016 lalu, terdapat 120 keluarga teroris yang mengontrak di sekitar Mako Brimob dan mereka bisa membesuk sesuai aturan yang berlaku," papar Muradi.
Dengan kondisi ini, besar kemungkinan teroris bisa mengintai situasi atau gerak gerik di sekitar Mako Brimob.
Seharusnya, kata dia, tahanan teroris diisolasi dan ditempatkan dalam penjara dengan tingkat keamanan yang sangat ketat (maximum security).
Muradi juga mengingatkan agar pemerintah dan DPR mempercepat pengesahan revisi UU Terorisme. Mako Brimob dan Densus 88 juga tidak boleh lengah terhadap napi teroris.
"Betapapun mereka sudah ditangkap dan tampak tak berdaya, bukan berarti mereka mudah dilumpuhkan, tidak bisa lagi dilihat hitam putih. Pengamanannya harus super ketat. Mereka harus ditempatkan pada rutan khusus, agar tidak menyebarkan virusnya ke tahanan yang lain," papar Murad.
Advertisement