Daya Beli Lemah Warnai Triwulan I 2018

Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menyoroti perekonomian nasional pada triwulan I tahun 2018 ini masih diwarnai merosotnya daya beli masyarakat.

oleh Gilar Ramdhani diperbarui 23 Mei 2018, 16:30 WIB
Diterbitkan 23 Mei 2018, 16:30 WIB
Daya Beli Lemah Warnai Triwulan I 2018
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menyoroti perekonomian nasional pada triwulan I tahun 2018 ini masih diwarnai merosotnya daya beli masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta Perekonomian nasional pada triwulan I tahun 2018 ini masih diwarnai merosotnya daya beli masyarakat bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada triwulan IV 2017 pertumbuhan ekonomi mencapai 5,1 persen. Sedangkan pada triwukan I 2018 turun menjadi 5,06 persen.

Fakta ini disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan saat diwawancara Parlementaria lewat sambungan telepon, Selasa (22/5/2018).

“Salah satu indikator pelemahan tersebut dapat dilihat dari penurunan sektor ritel sebesar 5 persen. Itu berarti ada distorsi pada konsumsi rumah tangga. Distorsi konsumsi rumah tangga menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung akan turun. Sebab, lebih dari 50 persen sumber pertumbuhan ekonomi dikontribusi oleh konsumsi rumah tangga,” jelasnya. 

Dikatakan Heri, RPJMN 2015-2019 tentang pembangunan berkelanjutan seperti membangun ekonomi sampai triwulan I 2018 ternyata belum tercapai. Daya beli rakyat seolah diberangus ketika pemerintahan sekarang baru berkuasa sepuluh hari. Pertumbuhan konsumsi masyarakat berjalan sangat lamban.

Pada sisi inflasi, juga memperlihatkan angka 1,09 persen. Angka itu, menurut Heri, memang kecil, tapi kecilnya angka inflasi itu disebabkan oleh penurunan permintaan masyarakat. “Untuk diketahui, kenaikan tarif dasar listrik non-subsidi, BBM (Pertalite dan Pertamax) termasuk gas, telah menyebabkan penurunan permintaan masyarakat. Itu terkonfirmasi oleh penjualan ritel yang minus,” ungkap Heri.

Ada kebijakan ekonomi yang keliru dengan inflasi yang relatif terkendali namun pertumbuhan ekonomi cenderung menurun. Idealnya, harus dilakukan kebijakan fiskal ekspansif. Tidak boleh ada surplus keseimbangan primer, dimana pada bulan April 2018 terjadi surplus Rp24,2 triliun, karena belanja negara masih relatif kecil.

Sementara pada triwulan II 2018, realisasi penerimaan pendapatan negara dan hibah ada di angka Rp527,82 triliun atau terealisasi sebesar 27,86 persen dari target APBN 2018. “Saya melihat bahwa sumber penerimaan itu masih sangat tergantung pada penerimaan perpajakan. Per April 2018, penerimaan perpajakan sebesar Rp383,27 triliun dan penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp33,66 triliun atau masing-masing baru terealisasi sebesar 26,91 persen dan 17,34 persen dari target APBN 2018,” paparnya.

Ditambahkan mantan Wakil Ketua Komisi VI ini, pada sektor pengeluaran pemerintah, polanya tidak maksimal di awal. Akhirnya, di triwulan berikutnya langsung kejar tayang. Dengan pola begitu, pengeluaran pemerintah di triwulan I 2018 tidak berperan besar. Implikasinya, sambung Heri, melambatnya pertumbuhan di triwulan I 2018. Pada tahun ini diperparah pula dengan penurunan laju konsumsi rumah tangga.

“Sementara itu, kita juga tak bisa berharap banyak pada peran ekspor, karena adanya ketidakstabilan ekonomi global, nilai tukar rupiah yang terpuruk, dan perang dagang Cina-Amerika, yang berimplikasi pada serbuan barang-barang impor yang akan lebih murah masuk ke pasar domestik. Bahkan, impor semakin tinggi terutama untuk barang konsumsi,” imbuh Heri.

 

(*)

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya