MK Batalkan Pasal UU MD3, Fahri Hamzah: Fungsi Pengawasan Jadi Lemah

Keputusan ini meyakinkan Fahri bahwa MK masih menganut kekuatan eksekutif.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Jun 2018, 14:18 WIB
Diterbitkan 29 Jun 2018, 14:18 WIB
Fahri Hamzah
Kritik Rakyat ke DPR Tidak Ada Batasnya... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyayangkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Pasal 73 tentang panggil paksa di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) melanggar UU Dasar 1945. Menurutnya keputusan itu bisa menperlemah fungsi pengawasan dari DPR.

"Sekarang terbayang bagaimana kalau orang enggak mau datang diperiksa DPR? Apa instrumen yang akan dipakai untuk mengawasi negara? Fungsi pengawasan menjadi lemah," kata Fahri, Jumat (29/6/2018).

Fahri menjelaskan, dalam amandemen keempat UU Dasar 1945 konstitusi Indonesia pindah dari falsafah 'concentration of power upon the president' menjadi 'check and balances'. Keputusan ini meyakinkan bahwa MK masih menganut kekuatan eksekutif.

"Keputusan ini meyakinkan saya bahwa bahkan MK masih menganggap bahwa UUD 1945 kita itu masih 'executive heavy'," ujar dia.

"Kita Sudah meninggalkan rezim eksekutif kuat menuju keseimbangan kekuatan antara cabang-cabang kekuasaan," tambahnya.

Fahri Hamzah melanjutkan, keputusan MK, akan semakin memperlemah mekanisme check and balances sebagaimana yang ada dalam amanat Undang-Undang Dasar.

"Ya pasti karena kewenangan memanggil itu inti sebagai kekuatan DPR," ucapnya.

 

Gugat ke MK

Fahri Hamzah
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah memberi keterangan usai memenuhi panggilan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Senin (19/3). Fahri mendatangi Mapolda Metro Jaya terkait pelaporannya terhadap Presiden PKS Sohibul Iman. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)... Selengkapnya

Mahkamah Konstitusi sebelumnya mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU Nomor 2 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD, DPRD (UU MD3).

Beberapa pasal digugat diurai seperti, pasal 73 terkait pemanggilan paksa pihak yang diperiksa DPR, pasal 122 terkait penghinaan terhadap parlemen, dan pasal 245 terkait pertimbangan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR yang terlibat pidana.

Terkait pasal 73, MK berpendapat hal tersebut telah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Pasal 73 ayat 3 ayat 4 ayat 5 dan ayat 6, UU No 2 tahun 2018 tentang perubahan kedua atas UU No 17 tahun 2014 tentang MPR DPR DPD DPRD, lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2018 No. 29, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187, dianggap bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," lanjut Anwar Usman.

 

Reporter: Sania Mashabi

Sumber: Merdeka.com

 

Saksikan tayangan video menarik berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya