Kuasa Hukum Syafruddin Nilai KPK Bermain Opini dalam Kasus BLBI

Pengacara Syafruddin menegaskan institusi penegak hukum tidak boleh bermain opini, tapi harus berdasarkan fakta-fakta.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 10 Jul 2018, 12:08 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2018, 12:08 WIB
Mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung
Terdakwa penerbitan SKL terhadap obligor BLBI, Syafruddin Arsyad Temenggung bersiap mendengar keterangan saksi pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (21/6). Sidang mendengar keterangan saksi. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Kuasa hukum mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung, Ahmad Yani menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah bermain opini untuk memaksakan agar kliennya dinyatakan bersalah atas dugaan tindak pidana korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Menurut Yani, pernyataan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah dan Komisioner KPK, Saut Situmorang yang telah menyimpulkan bahwa dakwaan mereka sudah terbukti. Kendati proses persidangan baru berjalan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi dari JPU. Itu dianggapnya hal yang tidak lazim, bahkan tidak boleh dilakukan oleh institusi penegak hukum mana pun.

"Juru bicara KPK dengan Komisioner KPK sudah menyimpulkan bahwa dakwaan mereka sudah terbukti. Loh dia hadir di persidangan juga tidak, bagaimana dia bisa menyimpulkan. Itu namanya dia sudah bermain opini," kata Yani di Jakarta, Selasa (10/7/2018).

"Institusi penegak hukum tidak boleh bermain opini, dia harus berdasarkan fakta-fakta," tegas Yani.

Selain prematur, pernyataan Juru Bicara dan Komisioner KPK tersebut, menurut Yani justru berlawanan dengan fakta-fakta baru yang muncul di persidangan.

"Terlalu prematur tapi kalau sudah menyatakan dari awal sudah terbukti, kami menyatakan sebaliknya, bahwa fakta-fakta di persidangan menunjukkan tidak ada satu bukti pun yang menguatkan dakwan jaksa," tegas dia.

Menurut Yani, salah satu fakta baru yang terkuak dalam sidang Senin 9 Juli 2 2018 adalah bahwa kliennya ternyata tidak terlibat dengan penanganan penyelesaian BLBI. Pemberian SKL yang diberikannya adalah semata-mata mengikuti kebijakan-kebijakan yang telah dibuat pejabat dari dua pemerintahan sebelumnya.

 

Tak Lakukan Penuntutan Hukum

Mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung
Terdakwa penerbitan SKL terhadap obligor BLBI, Syafruddin Arsyad Temenggung (kiri) berbincang dengan penasehat hukumnya pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (21/6). Sidang mendengar keterangan saksi. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Pengacara itu juga menunjuk pada penyelesaian BLBI yang dilakukan melalui MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) pada pemerintahan Presiden Habibie (1998-1999), yang diteruskan pada pemerintahan Abdurrahman Wahid. Dan pelaksanaannya oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang waktu itu diketuai Glenn Yusuf, yang memberikan release and discharge (R&D) kepada mereka yang telah memenuhi kewajibannya sesuai MSAA.

Dia menjelaskan pemerintah juga mengakui dan setuju tidak akan memulai atau melakukan tuntutan hukum apapun atau menjalankan hak hukum apa pun yang dimiliki, bilamana ada, terhadap PS BDNI, Bank BDNI, para komisaris dan direkturnya, serta pejabat lainnya atas segala hal yang berkaitan dengan BLBI”.

"SAT menjadi Ketua BPPN di April 2002. Maka dia bukanlah pejabat yang berwenang saat itu, melainkan Glenn Yusuf. Kalau masalah ini yang dijadikan pangkal tolak dari peradilan perkara SAT adalah tidak tepat atau salah alamat," ujar dia.

Karena, lanjut Yani, penyelesaian melalui MSAA dan penegasannya pada R&D menyatakan jikalau ada masalah dalam penyelesaian BLBI ini harus diputuskan melalui pengadilan perdata.

"Bahkan juga tidak akan melakukan tuntutan hukum apa pun," lanjut Yani.

 

Saksikan tayangan video menarik berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya