Liputan6.com, Bogor - Indonesia hingga saat ini masih bergantung terhadap impor jagung, tebu, dan kedelai dari varietas produk rekayasa genetika (PRG) atau disebut transgenik.
Padahal, Komisi Keamanan Hayati (KKH) menyatakan sudah ada 13 produk PRG yang lolos uji pangan. Di antaranya jagung varietas RR (Roundup Ready) NK603 dan jagung varietas Bt (Bacillus thuringensis) Mon89034. Dengan begitu, produk PRG hasil riset ahli anak bangsa aman dikonsumsi untuk dijadikan bahan pakan.
Baca Juga
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Parualian Hutagaol mengatakan, Kementan hingga perguruan tinggi telah riset benih tanaman PRG. Sayangnya, pemerintah belum memperbolehkan hasil riset mereka diproduksi masal apalagi ditanam petani.
Advertisement
"Padahal transgenik ini dikembangkan untuk menjawab berbagai permasalahan seperti penyediaan pangan nasional dan perubahan iklim," kata Parualian, Kamis (18/10/2018).
Namun demikian, Indonesia masih memiliki kekhawatiran tanaman bioteknologi mengganggu lingkungan. Akan tetapi kenyataannya, jagung, kedelai, dan gula yang diimpor merupakan produk-produk PRG dari negara asing.
Pada 2004, lebih dari 80 juta hektar tanah pertanian di dunia telah ditanami dengan tanaman transgenik dan 56% kedelai di dunia merupakan kedelai transgenik.
"Produk itu sudah sering kita makan, lalu kenapa kita larang menanam? Berarti kita lebih menyukai uang kita diberi kepada asing dan memberi lapangan kerja bagi negara lain," kata Parulian.
Karena itu, Indonesia sudah seharusnya segera menyebarkan benih produk bioteknologi kepada para petani agar segera ditanam secara masal untuk memacu produksi pangan. Disamping sebagai upaya melepas ketergantungan impor jagung, kedelai, dan lainnya.
Pacu Produktivitas
"Kebijakan itu dimaksudkan untuk dapat memacu produktivitas hasil pertanian dan efisiensi akibat penanganan gulma dan hama yang menjadi biang borosnya penggunaan pestisida yang mencemari tanah juga memacu investasi langsung dan alih teknologi," terang Parualian.
Ia melihat terhambatnya produk PRG yang telah lolos uji dari KKH itu karena kelambanan Litbang Pertanian Kementan, yang hingga kini belum juga mampu merampungkan Pedoman Pengawasan dan Pengendalian PRG sebagai piranti hukum pengawasan.
"Rekayasa genetik pangan mulai dilakukan riset dua dekade lalu. Hasil riset tersebut masih perlu sertifikasi pemerintah untuk bisa diproduksi secara masal," paparnya.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement