PPP Senang Banyak yang Kritik RUU Pesantren, Ini Alasannya

PPP berharap, DPR nantinya bisa menemukan konsep ideal RUU Pesantren agar bisa menampung kepentingan umat beragama secara keseluruhan.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 31 Okt 2018, 07:45 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2018, 07:45 WIB
Menyoroti RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan
Mantan Kepala Humas PGI Jeirry Sumampow (kanan) bersama Anggota Baleg DPR F-PPP Achmad Baidowi saat diskusi di Jakarta, Selasa (30/10). PGI mengkritik pasal 69 dan 70 dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan menjadi polemik. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebagai salah satu partai yang menginisiasi, tak mempermasalahkan hal tersebut.

Wasekjen DPP PPP Abdullah Mansur mengatakan, semakin dikritik semakin senang dan baik. Karena akan memberikan masukan yang bagus untuk keberadaan RUU Pesantren.

"Jujur saya senang RUU ini semakin banyak didiskusikan, semakin banyak dikritik. Karena ini akan banyak masukan," ucap Mansur dalam diskusi dengan tema Sekolah Minggu di RUU Pesantren dan Pendidikan Agama, di DPP PSI, Jakarta, Selasa (30/10/2018).

Dia menegaskan, nantinya dalam pembahasan di DPR, rancangan tersebut masih bisa berubah berdasarkan pembahasan-pembahasan yang ada. Pembahasan RUU tersebut bisa di tingkat komisi atau melalui pembentukan panitia khusus.

"Apakah berupa pansus atau dibahas di Komisi VIII, tapi arahnya di Komisi VIII, dibahas tingkat I ini biasanya, kasarnya bisa diubrak-abrik, bisa diubah pasal per pasal," jelas Mansur.

Dia berharap, DPR nantinya bisa menemukan konsep ideal RUU Pesantren. Agar bisa menampung kepentingan umat beragama secara keseluruhan.

"Mudah-mudahan DPR menemukan konsep ideal, bisa meramu, bisa menampung aspirasi umat keagamaan yang ada di Indonesia," pungkas Mansur. 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Protes PGI

Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) keberatan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang baru saja disahkan masuk dalam UU Prioritas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka mengkritisi pasal yang mengatur tentang Sekolah Minggu dan Katekisasi yang terdapat pada Pasal 69 dan Pasal 70.

"Nampaknya RUU ini tidak memahami konsep pendidikan keagamaan Kristen di mana ada pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh gereja-gereja dan ada pendidikan nonformal melalui kegiatan pelayanan di gereja," kata Sekretaris Umum PGI Gomar Gultom dalam keterangan tertulisnya, Minggu (28/10/2018).

Dia juga mengkritik adanya batas minimal peserta sekolah minggu dan perizinan untuk sekolah minggu. Kata dia, sekolah minggu tidak bisa disamakan dengan pesantren.

"Sejatinya, Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan bagian hakiki dari peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta, serta mestinya tidak membutuhkan izin karena merupakan bentuk peribadahan," ujar Gomar.

Menurut dia, sekolah minggu bukanlah pendidikan formal, melainkan pelayanan dari gereja untuk para jemaat muda.

"Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi, yang juga hendak diatur dalam RUU ini pada Pasal 69-70, sesungguhnya adalah proses interaksi edukatif yang dilakukan gereja-gereja di Indonesia dan merupakan pendidikan nonformal dan masuk dalam kategori pelayanan ibadah bagi anak-anak dan remaja," ungkap Gomar.

PGI, lanjut dia, pada dasarnya sepakat dengan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sepanjang RUU itu tidak mengatur pengajaran nonformal di gereja. Sebab kata dia, jika hal ini dibiarkan akan dikhawatirkan beralih pada model intervensi negara pada agama.

"PGI mendukung Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini menjadi undang-undang sejauh hanya mengatur kepentingan pendidikan formal dan tidak memasukkan pengaturan model pelayanan pendidikan nonformal gereja-gereja di Indonesia," tegas Gomar.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya