Liputan6.com, Jakarta - Pemprov DKI Jakarta mengklaim pihaknya sudah membersihkan lautan sampah di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Sampah-sampah itu terutama berbahan plastik.
Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Isnawa Adji, sampah-sampah itu berasal dari wilayah luar Jakarta yang terbawa angin hingga ke perairan Jakarta.
"Pulau Seribu itu kita ada namanya angin barat, angin timur, dari atasnya Bekasi, dari Tangerang, sekarang ada yang dari Lampung. Bahasa kita itu acar, deretan sampah yang berbaris yang bertubruk dengan kapal pembersih kita. Saya enggak nyalahin daerah tetangga ya tapi memang fenomenanya angin barat," kata Isnawa, Jakarta, Rabu (28/11/2018)
Advertisement
Isnawa mengatakan, pihaknya telah mengedukasi warga dan wisatawan di Pulau Seribu untuk tidak membawa sampah plastik, selain itu pihaknya juga menerapkan operasi tangkap tangan (OTT) pembuang sampah sembarangan.
"Penjagaan di perairan diperketat," ucap dia.
Isnawa juga mengatakan DKI Jakarta tengah membahas Pergub mengenai penggunaan plastik. Harapannya dengan ada payung hukum jelas, maka penggunaan plastik di ibu kota dapat dikurangi meski perlahan.
Dia mengatakan, pihaknya ingin melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai. Apalagi kebanyakan kantong kresek tak mudah terurai di tanah dan berpotensi memberikan dampak bagi kesehatan manusia.
'Kita ingin nantinya kembali ke zaman dulu ibu-ibu bawa kantong belanja sendiri. Kita masih minta masukan dari berbagai pihak, komunitas dari mana mana. Kita ingin ingin langsung melarang, tapi mengedukasi dulu," tandas Isnawa.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Temuan Greenpeace
Indonesia menjadi penyumbang sampah ke laut terbesar nomor dua di dunia. Greenpeace Indonesia menemukan 797 merek sampah plastik di tiga lokasi, yakni Pantai Kuk Cituis (Tangerang), Pantai Pandansari (Yogyakarta), dan Pantai Mertasari (Bali), pada pertengahan September 2018.
"Yang terbesar adalah merek-merek makanan dan minuman (594 merek), kemudian merek-merek perawatan tubuh (90), kebutuhan rumah tangga (86), dan lainnya (27)," kata Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi dalam keterangan tertulis yang dikutip Liputan6.com, Senin (26/11/2018).
"Ada pun jumlah sampah yang kami kumpulkan dari tiga lokasi tersebut sebanyak 10.594 kemasan," imbuhnya.
Greenpeace Indonesia juga menemukan cukup banyak sampah plastik yang tidak lagi terlihat mereknya. Hal itu mengindikasikan sampah tersebut sudah lama terbuang dan berada di lingkungan tersebut.
"Sampah-sampah plastik tersebut bisa berasal dari masyarakat sekitar, serta dari tempat yang jauh yang kemudian terbawa arus," jelas Atha.
Secara global, ungkap dia, hanya 9% sampah plastik yang didaur ulang dan 12% dibakar. Dengan kata lain, 79% sisanya berakhir di tempat-tempat pembuangan maupun saluran-saluran air seperti sungai yang bermuara ke lautan.
"Oleh sebab itu, merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah khususnya Pasal 15, produsen harus bertanggung jawab atas sampah kemasannya, utamanya dengan mengubah model bisnisnya untuk mengurangi dan menghentikan penggunaan kemasan plastik sekali pakai," ujar dia.
Menurut Atha, produsen mempunyai tanggung jawab besar untuk menyelesaikan masalah sampah plastik yang mereka ciptakan, sementara pemerintah harus bisa tegas terhadap para produsen seperti yang tertuang dalam UU No 18 Kebijakan pemerintah sejauh ini belum kuat.
"Kehadiran Peraturan Presiden No 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut pun belum tegas mendorong produsen untuk mengubah kemasannya menjadi dapat digunakan secara terus-menerus atau diisi ulang. Pasalnya, beleid tersebut mengutamakan produksi plastik yang mudah terurai dan dapat didaur ulang, dalam arti lain, masih sekali pakai," ungkapnya.
Bila kebijakan perusahaan dan pemerintah hanya sebatas daur ulang dan menggunakan plastik ramah lingkungan, sambung Atha, "Maka target Indonesia mengurangi 70% sampah plastik di lautan pada 2025 hanyalah sekadar angan-angan
Advertisement