Liputan6.com, Jakarta - Majelis hakim mengabulkan permohonan kuasa hukum Johannes Budisutrisno Kotjo yang meminta pembukaan blokir empat rekening Kotjo. Keputusan itu disampaikan majelis hakim sebelum membacakan vonis perkara Johannes Kotjo. Dia didakwa memberi suap Rp 4,750 miliar kepada mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham terkait proyek PLTU Riau-1.
Dari pertimbangan yang dibacakan Hakim Lucas Prakoso, empat rekening yang diblokir oleh bank atas permintaan KPK tidak memiliki kaitan dengan kasus suap. Sehingga sesuai ketentuan, permohonan pembukaan blokir harus diajukan oleh KPK kepada pihak bank.
"Menimbang berdasarkan uraian pertimbangan-pertimbangan maka permohonan penasihat hukum terdakwa harus dikabulkan. Memerintahkan penuntut umum pada KPK untuk mengajukan permohonan kepada Bank Central Asia agar bank tersebut mencabut pemblokiran rekening terdakwa," ucap Lucas di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (13/12/2018).
Advertisement
Putusan tersebut diucapkan majelis hakim mengingat jaksa penuntut umum meminta pihak bank agar memblokir beberapa rekening Kotjo terkait kasus suap pengerjaan proyek PLTU Riau-1.
Johannes Kotjo dituntut 4 tahun penjara, denda Rp 250 juta, atau subsider 6 bulan kurungan. Uang-uang tersebut diberikan Kotjo agar Eni mau mengusahakan perusahaannya terlibat menggarap proyek senilai USD 900 juta tersebut. Selain itu, dari pertimbangan jaksa penuntut umum, menyebutkan bahwa uang yang diminta Eni sebagian diperuntukan munaslub Golkar dan Pilkada sang suami di Kabupaten Temanggung.
Sebanyak Rp 2 miliar digunakan Eni untuk munaslub Golkar, Rp 2 miliar untuk pemenangan Pilkada suami Eni Maulani Saragih.
Kotjo mengetahui adanya proyek itu sekitar tahun 2015. Melalui PT Samantaka, anak perusahaan BNR, ia mengirimkan surat ke PT PLN Persero atas keinginannya ikut serta mengerjakan proyek tersebut. Namun surat itu tak kunjung mendapat respons.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Libatkan Setya Novanto
Ia kemudian mengambil jalan pintas dengan menemui Setya Novanto, Ketua DPR saat itu, dan menceritakan permasalahannya. Novanto kemudian mengutus Eni Maulani Saragih yang menjabat di Komisi VII DPR mendampingi Kotjo memfasilitasi pertemuan dengan Sofyan Basir, Direktur PT PLN Persero.
Setelah beberapa pertemuan antara Kotjo, Sofyan Basir, Eni disepakati perusahaan Kotjo ikut serta menggarap proyek PLTU Riau 1 bersamaan dengan anak perusahaan PLN Persero Pembangkit Jawa Bali Investasi (PJBI).
Kotjo kemudian menggaet perusahaan asal China, CHEC Ltd (Huading) sebagai investornya. Dalam kesepakatan Kotjo dan Chec menyatakan Kotjo akan mendapat komitmen fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek atau sekitar USD 25 juta. Adapun nilai proyek itu sendiri sebesar USD 900 juta.
Dari komitmen fee yang ia terima, rencananya akan diteruskan lagi kepada sejumlah pihak di antaranya kepada Setya Novanto USD 6 juta, Andreas Rinaldi USD 6 juta, Rickard Phillip Cecile, selaku CEO PT BNR, USD 3.125.000, Rudy Herlambang, Direktur Utama PT Samantaka Batubara USD 1 juta, Intekhab Khan selaku Chairman BNR, USD 1 juta untuk James Rijanto, Direktur PT Samantaka Batubara, USD 1 juta.
Sementara Eni Saragih masuk ke dalam pihak-pihak lain yang akan mendapat komitmen fee dari Kotjo. Pihak-pihak lain disebutkan mendapat 3,5 persen atau sekitar USD 875 ribu.
Atas perbuatannya, Kotjo dituntut telah melanggar Pasal 5 ayat 1 atau undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Â
Â
Reporter:Â Yunita Amalia
Sumber: Merdeka.com
Advertisement