Liputan6.com, Jakarta - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menonaktifkan empat kader dari pencalonan legislatif dan keanggotaan partai. Penonaktifan itu adalah bentuk komitmen DPP PSI terhadap kader yang mendukung poligami atau Perda Agama.
Kader pertama adalah Husin Shahab, caleg DPR RI dari Dapil Jawa Timur XI. "Berdasarkan rapat pleno DPP PSI, kami memutuskan menonaktifkan Bro Husin dengan alasan telah melanggar nilai-nilai PSI soal penghargaan kepada perempuan," kata Wasekjen PSI Satia Chandra Wiguna dalam siaran tertulisnya, Jumat (21/12/2018).
Kader kedua adalah Nadir Amir, yang mengundurkan diri sebagai calon legislatif DPDR II Bone. "Yang bersangkutan tidak setuju dengan sikap DPP PSI soal poligami," kata Chandra.
Advertisement
Ketiga, Muhammad Ridwan yang merupakan DPD Gowa dan juga caleg DPRD Provinsi Dapil Sulsel I. "Dia tidak setuju dengan sikap PSI soal Perda Agama," ucap Chandra.
Terakhir adalah Ketua DPD PSI Kota Cirebon, Yuki Eka Bastian, yang mengundurkan diri karena poligami. "Ia mengundurkan diri karena melakukan praktik poligami," kata Chandra.
Menurut dia, penonaktifan keempat kader itu merupakan upaya PSI konsisten dengan nilai-nilai yang diperjuangkan.
"Jika ada kader yang tidak sepakat dengan DNA (nilai dasar) PSI terpaksa kami harus melepas mereka. PSI sangat serius dalam menegakkan nilai-nilai kami, sehingga terhitung hari ini DPP PSI menonaktifkan keempat kader tersebut," ucap Chandra.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Sikap PSI
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merupakan partai yang baru saja berdiri. Dipimpin oleh Grace Natalie, PSI pun mengusung konsep milenial untuk menyentuh anak-anak muda Indonesia.
Tak hanya itu, PSI juga berani bersuara demi membela kaum perempuan di Indonesia. Ketua Umum PSI Grace Natalie menilai hingga saat ini perempuan Indonesia terkadang masih diperlakukan semena-mena.
"Kita tidak sedang menuntut agar perempuan diperlakukan lebih. Kita tidak ingin laki-laki lebih rendah dari perempuan. Tidak. Kita hanya ingin semua manusia diperlakukan sama," ujar Grace saat menyampaikan pidato politik akhir tahun melalui keterangan tertulisnya, Rabu (12/12/2018).
Ia mengatakan, setiap kita pasti tidak ada yang ingin jika ibunya disakiti, begitu juga dengan adik atau kakak perempuan. Grace pun menganggap Desember sebagai bulan yang istimewa.
"Desember adalah bulan istimewa. Bulan yang baik untuk menyegarkan kembali komitmen kita kepada kemanusiaan. 10 Desember adalah Peringatan Hari Hak Asasi Manusia. 22 Desember Peringatan Hari Ibu," ucap Grace.
Dia lalu teringat dengan perjuangan Kartini. Kartini, kata dia, remaja yang dibesarkan dalam lingkungan feodal lebih dari satu abad lalu dan telah memulai perjuangan penting menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan.
"Kini perempuan Indonesia mencatat sejumlah kemajuan. Perempuan Indonesia kini tampil memegang berbagai posisi terpenting di negeri ini," kata dia.
Meski begitu, Grace menilai jika hingga saat ini, perempuan di Indonesia masih mendapatkan ketidakadilan. Salah satunya, kata dia, soal poligami.
"Riset LBH APIK tentang poligami menyimpulkan bahwa pada umumnya praktik poligami menyebabkan ketidakadilan, yaitu perempuan yang disakiti dan anak yang ditelantarkan," tuturnya.
"Karena itu, PSI tidak akan pernah mendukung poligami. Tak akan ada kader, pengurus, dan anggota legislatif dari partai ini yang boleh mempraktikkan poligami. PSI percaya perjuangan keadilan, penghapusan diskriminasi harus dimulai dari keluarga, dari rumah," ucap Grace.
PSI juga menolak peraturan daerah (perda) berbasis agama lantaran ingin Indonesia memiliki produk hukum yang menyeluruh untuk setiap personal hingga seluruh pemeluk kepercayan mana pun.
"PSI tidak anti agama sama sekali tidak. Justru pertanyaannya, kami menolak perda-perda berbasis agama karena kami ingin menempatkan agama di tempat yang tinggi. Karena agama itu jangan lagi dipakai sebagai alat politik," tutur Grace di Jokowi Center, Jalan Ki Mangunsarkoro 69, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (17/11/2018).
Menurut Grace, produk hukum mestinya universal, tidak parsial, dan tidak mendasar pada agama apa pun. Para pendiri bangsa, kata dia, melalui Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila merujuk hukum melalui sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Tidak merujuk pada agama apapun dan kami ingin mengembalikan lagi kepada konstitusi agar tidak ada lagi namanya mayoritas minoritas. Semua agama mulia dan semua warga negara sesuai dengan konstitusi bisa menjalankan keyakinannya di mana pun mereka berada sebagai warga negara," jelas dia.
Advertisement