Liputan6.com, Jakarta - Peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Zainal Arifin mengatakan, zat besi tinggi yang keluar dari kawah Gunung Anak Krakatau dan larut ke laut dapat menyuburkan perairan.
"Debu zat besi akan menyuburkan perairan karena perairan lepas pantai umumnya miskin Fe (besi)," kata Profesor Riset Bidang Pencemaran Laut tersebut saat dihubungi di Jakarta, Minggu (13/1/2019).
Baca Juga
Dia menjelaskan, Fe terlarut akan dimanfaatkan oleh fitoplankton sebagai bagian proses fotosintesis. Arus laut yang bergerak dari Selat Karimata ke Selat Sunda dan Samudra Hindia, secara teroritis akan menyuburkan perairan Samudra Hindia dengan mikroalage atau fitoplankton.
Advertisement
"Fitoplankton akan menjadi sumber nutrisi bagi larva-larva ikan," ujar Zainal seperti dikutip Antara.
Sebelumnya beredar video tentang kondisi Gunung Anak Krakatau pascaerupsi yang diambil dari udara tersebut diunggah Earth Uncut TV.
Dalam video yang disebarluaskan kembali oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho dalam akun twitternya, tampak air laut berwarna kecoklatan di sekitar Gunung Anak Krakatau.
Sutopo melalui akun Twitter @Sutopo_PN pada Sabtu (12/1) menjelaskan warna orange kecoklatan adalah hidrosida besi (FeOH3) yang mengandung zat besi tinggi yang keluar dari kawah dan larut ke dalam air laut.
Dia juga menyebutkan tubuh Gunung Anak Krakatau telah banyak berubah. Dalam video tersebut tampak ketinggian gunung berkurang, saat ini hanya 110 meter dari sebelumnya 338 meter karena longsor dan letusan pada akhir 2018.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Krakatau Terus Erupsi
Usai menyebabkan tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018 lalu, kondisi Gunung Anak Krakatau terus dipantau. Gunung yang terletak di Selat Sunda, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, ini pun terus erupsi.
Bahkan, pada Sabtu, 5 Januari 2019, Gunung Anak Krakatau mengalami 24 kali kegempaan letusan, 4 kali kegempaan embusan, dan terjadi gempa tremor terus-menerus.
Zona waspada tsunami juga masih diterapkan pada radius 500 meter dari tepi pantai yang berada pada elevasi rendah atau elevasi kurang dari lima meter di atas permukaan laut. Hal tersebut menyusul perkembangan letusan Gunung Anak Krakatau.
"Masyarakat diminta tetap tenang dan waspada dalam beraktivitas di pantai atau pesisir Selat Sunda, dalam radius 500 meter dari tepi pantai yang berada pada elevasi rendah," kata Deputi Bidang Geofisika Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Muhamad Sadly, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu, 5 Januari 2019.
Pemberlakuan tersebut berdasarkan informasi Badan Geologi terkait perkembangan letusan Gunung Anak Krakatau serta mempertimbangkan kondisi lereng atau tebing dasar laut ataupun kondisi potensi kegempaan di Selat Sunda.
Â
Advertisement