Imam Besar Istiqlal: Kearifan Lokal Penangkal Radikalisme

Temuan survei, per 2018 ini potensi radikalisme di Indonesia mencapai 55,12 persen.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 27 Jan 2019, 06:03 WIB
Diterbitkan 27 Jan 2019, 06:03 WIB
Ahmad Romadoni/Liputan6.com
Imam besar Istiglal KH Nasaruddin Umar (Ahmad Romadoni/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Imam Besar Istiqlal Nasaruddin Umar menyampaikan, pihaknya telah melakukan survei pada 2018 lalu terkait potensi kerawanan suatu daerah atas paham radikal.

Dalam survei itu, dia menemukan pada dasarnya kearifan lokal wilayah tersebut menjadi kunci penangkal radikalisme.

"Survei 2018 kemarin itu menemukan bawah kearifan lokal menjadi kekuatan perekat sekaligus kontrol moral menangkal radikalisme. Di antara faktornya adalah itu yang sangat penting. Jadi kalau kembali ke kearifan lokal, akan lebih menimbulkan penyelesaian lebih bagus," turur Nasaruddin di Kantor Nasaruddin Umar Office (NUO), Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (26/1/2019).

Hanya saja, pengetahuan masyarakat soal kearifan lokalnya sendiri terbilang menurun. Khususnya bagi generasi di bawah usia 28 tahun atau masuk milenial.

"Anak-anak milenial sudah tidak memahami kearifan lokalnya, mungkin karena sangat plural. Tantangan kita ke depan bagaimana masing-masing daerah mengangkat kearifan lokal. Memang ada kurikulum lokal, tapi yang diangkat sangat sedikit sekali," jelas dia.

Lebih lanjut, ia mengatakan ada kekhawatiran peningkatan gerakan radikalisme di Tanah Air setiap tahun. Temuan survei, per 2018 ini potensi radikalisme di Indonesia mencapai 55,12 persen.

"Ada lima kondisi wilayah yang memprihatinkan. Yaitu Gorontalo, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Kalimantan Utara. Menariknya Sulawesi Tengah yang kita tahu ada Poso, berada di papan bawah. Berarti yang radikal itu para pendatang. Basic masyarakat Sulteng itu sangat toleran," kata Nasaruddin.

 

 

Pengelolaan Masjid dan Rumah Ibadah

Untuk itu, baik pemerintah, ormas, hingga masyarakat punya andil menekan pertumbuhan gerakan radikal di Indonesia. Pengelolaan masjid dan rumah ibadah lain pun perlu dicermati lebih dalam.

"Kita juga melakukan kegiatan kemasjidan. Data tahun lalu ada 4 ribu masjid. Data terakhir sudah 1 miliar lebih, termasuk musala, langgar, surau. Problemnya sekian banyak masjid adalah soal imam profesional. Bagaimana kalau tidak profesional, bisa diambil alih oleh pendatang baru misalkan," ucap Nasaruddin.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya