Liputan6.com, Jakarta - Sejak Selasa sore, 12 Maret 2019, aparat kepolisian mengepung sebuah rumah di Gang Sekuntum, Jalan Cenderawasih, Kota Sibolga, Sumatera Utara. Sebelumnya, Densus 88 Antiteror menangkap terduga teroris Husain alias Abu Hamzah, sang kepala keluarga.
Di dalam rumah berlantai dua itu, ada istri terduga teroris yang akrab dipanggil Uma Abu dan anak-anak, yang diduga berjumlah tiga orang. Polisi tak bisa sembarangan menyerbu, sebab, diduga ada bom aktif di sana. Aparat sengaja jaga jarak.
Baca Juga
Apalagi, sempat ada ledakan dari dalam bangunan itu, yang melukai setidaknya satu anggota Densus 88 yang langsung dievakuasi menggunakan bentor atau becak motor.
Advertisement
Upaya negosiasi pun dilakukan. Salah satunya menggunakan pengeras suara di Masjid Al Mukhlisin yang ada di dekat TKP.
"...Agar keluar dari dalam rumah, untuk menyerahkan diri kepada kami. Kami tunggu di Masjid Al Mukhlisin. Apabila saudari kami, Uma Abu, menyerahkan diri tanpa paksaan, kami tidak akan melakukan tindakan apapun pada Uma Abu," itu kalimat yang disampaikan petugas polisi berulang-ulang.
Terduga teroris Sibolga Husain alias Abu Hamzah juga dilibatkan untuk membujuk sang istri keluar. Demi keselamatan perempuan itu, juga anak-anak mereka yang masih balita.
Namun, 10 jam berlalu, negosiasi yang dilakukan tak kunjung berujung. Pada Rabu dini hari 13 Maret 2019 sekitar pukul 01.30 WIB, ledakan keras terdengar, api dan asap membumbung dari rumah yang sontak hancur itu.
Seorang jurnalis, yang berada 200 meter dari titik ledakan, terpental. Hunian di samping rumah Husain, rusak. Uma Abu, perempuan 30-an tahun itu diduga kuat memilih meledakkan diri. Membawa serta anak-anaknya.
"Diduga sudah meninggal dengan meledakkan diri," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo, Rabu (13/3/2019).
Namun, polisi tak bisa langsung memindahkan jasad perempuan dan para bocah itu. Sebab, diperkirakan masih banyak bom aktif di TKP. "Kami memperhatikan keselamatan anggota," tambah Dedi. Aparat menunggu tim Inafis dan Labfor.
Hasil identifikasi sementara menunjukkan, bom yang diduga digunakan Uma Abu untuk meledakkan diri adalah bom lontong yang dirakit menggunakan pipa paralon.
Pipa itu berisi potasium. Juga serpihan besi, paku, dan baut -- yang akan terlontar liar, menembus apapun, saat terdorong oleh daya ledakan.
Dampak Ideologi ISIS yang Merasuk Kuat?
Hingga saat ini belum diketahui apa motif Umi Abu, atau siapapun nama asli perempuan itu, meledakkan diri bersama anak-anaknya. Imbauan aparat, bahkan permintaan suaminya sendiri tak ia gubris.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menyebut, menurut pemaparan Husain alias Abu Hamzah, istrinya lebih keras terpapar paham radikalisme ketimbang dirinya.
"Memang informasi dari suaminya jauh lebih keras terpapar oleh paham ISIS," kata Dedi di Medan.
Beberapa jam setelah ledakan, usai Tim Gegana memusnahkan benda-benda diduga bom, polisi akhirnya mendekat ke rumah Husain. Di dalam bangunan yang porak-poranda itu, ditemukan bagian tubuh manusia yang tak lagi menyatu. Diduga itu adalah Uma Abu dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil.
"Yang sudah dipastikan dari hasil jasad yang masih proses identifikasi itu ada dua, jasad seorang perempuan usia di atas 30 dan satu anak usia sekitar 2 tahun," ujar Dedi Prasetyo.
Proses identifikasi dari tim Inafis Polri masih berjalan. Tak menutup kemungkinan, jumlah korban akibat ledakan tersebut masih bertambah. Dua anak, yang dilaporkan ada di dalam rumah saat kejadian, belum diketahui rimbanya.
"AH (Husain alias Abu Hamzah) menginformasikan anaknya ada tiga. Tetangga bilang anaknya ada dua. Tapi yang diidentifikasi baru dua jenazah dari bagian tubuh itu," tambah dia.
Hingga saat ini, kepolisian masih kesulitan melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP). Hanya Tim Gegana Brimob Polda Sumut yang boleh masuk ke TKP. Sebab, dikhawatirkan masih ada bom rakitan yang bisa meledak sewaktu-waktu.
"Ini perlu kehati-hatian. Lokasi disterilisasi, warga diminta menjauh di luar radius 100 meter dari lokasi," ucap Dedi Prasetyo.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Jaringan Teror yang Merasuk di Sibolga
Paham radikal ISIS jadi latar belakang Husain alias Abu Hamzah terlibat teror. Ideologi serupa juga diduga jadi latar belakang istrinya, Umi Abu meledakkan diri di tengah kepungan aparat.
Sementara itu, di wilayah yang pernah jadi kekuasaannya, ISIS justru kocar-kacir. Organisasi teror yang pernah mengangkangi petak besar wilayah di Irak dan Suriah, dengan populasi mencapai 8 juta jiwa, terpaksa bertahan di Desa Baghouz di tepi Sungai Euphrates, yang jadi benteng terakhir kekalifahannya -- yang sebentar lagi tamat.
Namun, peristiwa di Sibolga menjadi salah satu pengingat, ancaman ISIS belum lewat.
Densus 88 Antiteror menemukan dugaan bahwa Husain alias Abu Hamzah adalah anggota jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS. Aparat juga menangkap dua orang lainnya yang diduga satu komplotan dengan Husain.
"Ketiganya merupakan jaringan JAD yang berafiliasi dengan jaringan ISIS," kata Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian seperti dikutip dari Antara, Selasa malam (12/3/2019) usai menghadiri kegiatan Silahturahmi di Pondok Pesantren Al Kautsar di Medan, Sumatera Utara
Dia menyatakan, aksi para pelaku terduga teroris itu tidak ada kaitannya dengan pemilu, melainkan pengembangan dari tertangkapnya seorang terduga teroris di Lampung.
Sebelumnya, penangkapan di Lampung berhasil dilakukan berkat kerja sama dari orangtuanya terduga pelaku yang tak ingin anaknya terjerumus dalam terorisme.
Rumah milik mertua Husain yang berada di Jalan Kutilang, Kelurahan Habil, Kota Sibolga juga jadi target penggerebekan pada Selasa, 12 Maret 2019. Ada bahan peledak di sana.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Mohammad Iqbal mengatakan, Densus 88 Antiteror Polri telah cukup lama memantau pergerakan para terduga teroris yang disinyalisasi berafiliasi dengan kelompok JAD.
Terpisah, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta semua pihak tetap waspada. Meski, di atas kertas dan secara organisasi JAD telah bubar bukan berarti sel-sel juga ikut binasa.
"Mereka ini memang lebih kuat di ideologi sehingga walaupun kita merasa barangnya habis tapi sel-selnya selalu tumbuh. Nah, sel-sel inilah yang menyebar sehingga jangan mengatakan bahwa 'oh enggak ada lagi'," ucap Moeldoko di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, Rabu (13/3/2019).
Apalagi, saat ini, banyak teroris yang tidak lagi terikat dengan organisasi. Mereka berkerja sendiri alias jadi lone wolf. Misalnya dalam aksi teror di Surabaya.
"Beberapa kejadian putus dari struktur. Seperti teror di Surabaya setelah diselidiki nonstruktur," ucap Moeldoko.
Advertisement
Ajak Keluarga untuk Lakukan Teror
Jamaah Ansharut Daulah atau JAD bubar lewat keputusan pengadilan. Pada Selasa 31 Juli 2018, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan membubarkan organisasi bentukan Aman Abdurrahman itu.
JAD diputuskan terlarang karena terbukti berafiliasi dengan ISIS. Meski demikian, bukan berarti kelompok itu lantas membubarkan diri.
Pengamat terorisme, Al Chaidar mengatakan, jumlah jaringan JAD di Indonesia masih banyak dan tersebar di seluruh wilayah. Namun, yang paling menonjol berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, Riau, dan Lampung.
Jaringan ini pun sangat berbahaya karena mulai melibatkan anggota keluarga dalam menjalankan aksi-aksinya, seperti meledakkan diri.
"Sangat berbahaya. Karena mereka akan melakukan apa yang disebut dengan terorisme keluarga," kata dia dalam perbincangan dengan Liputan6.com, (13/3/2019).
Al Chaidar mengatakan, kelompok JAD di Tanah Air sebenarnya tidak begitu kuat. Karena itulah, mereka menggunakan cara baru yaitu terorisme keluarga. Cara-cara ini kemudian dianggap lebih efektif mewujudkan teror.
Teroris keluarga ini pula yang terjadi di Sibolga, Sumatera Utara. Sang istri memilih meledakkan diri daripada menyerah kepada polisi.
"Jadi boleh itu dilakukan dengan legitimasi keagamaan tertentu. Dan itulah yang menjadi ciri khas kelompok wahabi takfiri. Ada alasan fatwa di situ. Fatwa itulah yang mereka anut sebagai sesuatu paling benar," kata dia.
"Ya sudah sangat brutal, hina memang. Sudah sangat radikal makanya ini yang disebut dengan ultimate terrorism. Terorisme yang paling puncak," kata dia.
Al Chaidar mengakui, sulit memutus rantai JAD. Bahkan, UU Terorisme yang telah direvisi pada 2018 tidak mampu sepenuhnya mengantisipasi perkembangan gerakan itu.
Dia pun mengatakan, jaringan ini akan terus mengembangkan pola terorisme keluarga. Apalagi, doktrin tersebut sangat kuat dalam keyakinan mereka. Melakukan serangan dengan bersama-sama dengan keluarga justru dianggap sebagai satu-satunya serangan yang paling benar.
"Padahal itu salah menurut agama. Karena kalau mereka menganggap itu sebagai jihad, jihad itu tidak boleh melibatkan anak-anak," kata dia.
Pengamat Terorisme Ali Fauzi mengatakan, penyebaran jaringan radikal saat ini banyak dilakukan melalui jalur perkawanan dan pertemanan.
Ali mengatakan, jaringan ini sangat berbahaya, seperti kasus bom bunuh diri satu keluarga di Surabaya, Jawa Timur. Kelompok ini pun memiliki pemikiran destruktif.
Dia menambahkan, jaringan JAD yang terafiliasi ISIS kini fokus ke wilayahnya masing-masing setelah nyaris tidak punya wilayah teritorial di Suriah maupun Irak.
"Tapi menariknya dalam kasus Sibolga ini kita bisa lihat bagaimana mental seorang istri teroris yang suaminya ini sudah ditangkap tapi kemudian istrinya enggak mau rumahnya digeledah dan informasi terbaru bahwa si istri ini berani meledakkan dirinya," kata Ali Fauzi kepada Liputan6.com Rabu (1/3/2019).
Kelompok ini yakin, apa yang mereka lakukan itu bagian dari ibadah dan jihad yang balasannya kalau mati mendapatkan surga.
"Ini ideologi, bukan hanya faktor-faktor yang orang sering katakan yakni faktor ekonomi. Ini karena faktor ideologi yang paling dominan. Kalau cuci otak mungkin lebih kepada proses tarbiah yang mereka lakukan," kata dia.
Ali Fauzi mengatakan, memutus mata rantai jaringan ini tidak mudah. Harus ada upaya sinergitas antara polisi, TN, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, hingga semua elemen masyarakat. Aparat keamanan di level bawah, Polres, Polsek, itu juga harus dipahamkan dan ditanamkan tentang jaringan teroris di Indonesia.
"Kalau ini hanya diserahkan kepada BNPT, Densus 88 ya tentu enggak akan cukup. Karena perlu diingat wilayah teritorial Indonesia ini sangat luas. Penduduknya ratusan juta," kata Ali.
Keterlibatan Perempuan dalam Terorisme
Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh menambahkan, pihaknya selama ini memonitor keterlibatan perempuan dan anak dalam jaringan terorisme. Menurutnya, beberapa tahun terakhir ada perubahan peran perempuan dalam jaringan radikal.
"Kalau dulu peran perempuan di dalam jaringan radikal ekstrem ini lebih kepada faktor- faktor pendukung dalam hal ini untuk mendidik anak, menanamkan ideologi terkait ideologi radikal ekstremis. Kalau kami menyebutnya sebagai eksploitasi reproduksi," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (13/3/2019).
Belakangan ini, peran mereka berubah sebagai pelaku peledakan atau bom bunuh diri. Menurutnya, banyak wanita yang sekarang ingin membela ISIS dan mengajak serta anak-anaknya.
"Jadi dalam hal ini peran perempuan sudah mulai bergeser ke arah eksekutornya langsung. Banyak perempuan yang mempersuasi mendorong suaminya untuk berjihad di Suriah itu banyak, dalam hal ini perempuan berkeinginan untuk melakukan jihad dan juga bergabung dengan ISIS," lanjut Riri.
Dia menambahkan, keterlibatan perempuan di kasus Sibolga ini perlu diselidiki lebih dalam. Mengapa negosiasi sampai gagal dan meledakkan diri setelah penangkapan suaminya.
"Apakah sebatas korban ataukah juga misalnya perempuan saat jadi pelaku benar benar jadi pelaku yang sadar yang melakukan upaya. Apakah dia akibat adanya doktrin atau ideologi yang ditanamkan oleh suaminya atau perempuan digunakan sebagai alat sebagi pelaksanaan aksi teror itu sendiri," kata Riri.
Tak Terkait Pilpres
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengapresiasi kinerja Densus 88 Antiteror Polri yang menangkap terduga teroris di Sibolga, Sumatera Utara. Dia meminta polisi menindak tegas pelaku jaringan teroris yang masih tersisa.
"Saya sudah sampaikan, sebuah tindakan yang tegas terus menerus tanpa henti dan kita harapkan segera semuanya bisa terungkap," tegas Jokowi di Ji-Expo Kemayoran Jakarta Pusat, Rabu (13/3/2019).
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu meminta kepolisian menangkap kelompok-kelompok teroris yang masih berkeliaran. Menurut dia, apabila kelompok tersebut tak segera ditangkap, akan membahayakan keamanan masyarakat.
"Kita harapkan ke depan ini lebih dikembangkan lagi sehingga sel-sel yang masih tersisa yang belum ketemu bisa ditemukan karena bisa berbahaya bagi negara ini, keamanan negara kita, kalau masih ada teroris-teroris yang masih menyimpan bom seperti itu," jelas dia.
Dia menegaskan, ledakan bom dan penangkapan teroris di Sibolga tak berkaitan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Penangkapan itu hasil pengembangan penangkapan terduga teroris di Lampung.
"Ini sebenarnya dimulai dari pengungkapan teroris yang ada di Lampung. Jadi tidak ada hubungannya dengan Pilpres," kata Jokowi.
Dia pun prihatin atas terlukanya masyarakat dan anggota kepolisian akibat ledakan bom di rumah terduga teroris Husain alias Abu Hamzah di Sibolga.
Ledakan bom di Sibolga tak menyurutkan niatnya mengunjungi daerah tersebut. Jokowi dipastikan akan tetap melakukan kunjungan kerja ke Sumatera Utara pada 15 hingga 17 Maret 2019.
"Tetap lah kan kita ada SOP. Intinya standar Pam Presiden, selalu maximum security," kata Danpaspampres) Mayjen Maruli Simanjuntak saat dikonfirmasi Liputan6.com, Rabu (13/3/2019).
Maruli mengatakan presiden akan mendapat pengawalan ketat sehingga dipastikan terhindar dari ancaman terorisme. Dia juga menyebut tidak ada kekhawatiran dari Presiden Jokowi mengunjungi Sumatera Utara.
"Tidak ada kejadian (ledakan bom) pun selalu maximum security. Kita gelar tiga ring," jelas Maruli.
Advertisement