6 Kasus Besar yang Masih Mandek di KPK

Masa tugas komisioner KPK jilid IV, selesai Desember 2019 nanti. Akankah kasus besar ini tuntas? Apa saja keenam kasus itu?

oleh Fachrur Rozie diperbarui 15 Mei 2019, 17:07 WIB
Diterbitkan 15 Mei 2019, 17:07 WIB
KPK Rilis Indeks Penilaian Integritas 2017
Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). Pemprov Papua merupakan daerah yang memiliki risiko korupsi tertinggi dengan. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Masa tugas komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jilid IV, selesai Desember 2019 nanti. Jika memutar waktu, tahun lalu, Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan harapannya ketika melepas tanggung jawabnya di lembaga antirasuah.

Dia ingin, bersama empat pimpinan KPK lainnya, bisa menyelesaikan semua kasus yang mandek sebelum masa tugas berakhir.

"Mudah-mudahan sebelum mengakhiri tugas kami di KPK, semua (kasus besar) sudah berproses, tidak ada satu pun yang berhenti penanganan. Mudah-mudahan," kata Agus pada 19 Desember 2018.

Dia mengatakan, salah satu kendala dalam menangani kasus besar adalah kurangnya sumber daya manusia (SDM) di lembaga antirasuah.

Beberapa bulan jelang berakhirnya masa tugas, harapan yang sama dilontarkan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif. 

Dia pun berjanji, sejumlah kasus besar yang ditangani KPK akan selesai. Salah satunya kasus dugaan suap pengadaan mesin dan pesawat di PT Garuda Indonesia yang selama ini mandek. Dia menyebut berkas kasus ini segera dilimpahkan.

Begitu juga dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Kalau Garuda sih itu sudah selesai, tinggal pelimpahan saja, saya anggap selesai Garuda, kalau BLBI akan ada perkembangan yang terang," ujar Saut di Gedung KPK, Rabu (15/5/2019).

Lalu, bagaimana kelanjutan kasus besar yang belum selesai hingga kini? Berikut ini deretan kasus besar yang masih mandek di KPK menurut catatan Liputan6.com:

 

1. Kasus Bank Century

kpk-didatangi-banci-mahasiswa-4-130521c.
Demo yang dilakukan mahasiswa kali ini menuntut KPK bisa mengungkap dan menghukum pelaku kasus Bank Century.(Liputan 6.com/Danu Baharuddin)

Pada kasus ini, KPK baru mengantarkan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Bidang 4 Kebijakan Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya ke jeruji besi. Budi Mulya divonis 15 tahun di tingkat kasasi MA pada 2015.

Namun KPK belum menjerat pelaku lain dalam kasus ini. Padahal dalam putusan terhadap Budi Mulya, hakim menyebut Budi Mulya melakukan korupsi Bank Century secara bersama-sama.

Yakni bersama-sama dengan Boediono selaku Gubernur BI, Miranda S Goeltom selaku Deputi Gubernur Senior BI, Siti Chalimah Fadjrijah selaku Deputi Gubernur Bidang 6 Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah.

Kemudian Budi Rochadi selaku Deputi Gubernur Bidang 7 Sistem Pembayaran, Pengedaran Uang, BPR dan Perkreditan, Muliaman D Hadad selaku Deputi Gubenur Bidang 5 Kebijakan Perbankan/Stabilitas Sistem Keuangan.

Selanjutnya, Hartadi Agus Sarwono selaku Deputi Gubernur Bidang 3 Kebijakan Moneter, dan Ardhayadi Mitroatmodjo selaku Deputi Gubernur Bidang 8 Logistik, Keuangan, Penyelesaian Aset, Sekretariat dan KBI.

Selain itu, ada nama lain yakni Robert Tantular dan Hermanus Hasan, dan Raden Pardede selaku Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Kini Budi Mulya mengajukan diri sebagai pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum alias justice collaborator (JC) dalam kasus korupsi Century. Surat permohonan JC Budi Mulya diserahkan oleh Anne Mulya dan Nadia Mulya, istri dan anak dari Budi Mulya.

"Semoga dengan bantuan dari Bapak saya (Budi Mulya) kesediannya dia untuk membantu menuntaskan kasus ini, bisa membuat kasus ini terang benderang," ujar Nadia Mulya di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu Desember 2018.

Selain mengantarkan surat pengajuan JC, Nadia dan Anne turut menyerahkan dokumen terkait Bank Century. Namun sayang, baik Nadia maupun Anne sama-sama menolak memberitahu siapa pihak yang dilaporkannya.

"Semoga ini menjadi bukti bahwa Bapak saya bersedia membantu sampai kasus ini benar-benar bisa diselesaikan," kata Nadia.

Menurut Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, salah satu yang menghambat berjalannya proses hukum Bank Century lantaran sebagai terduga pelaku tak berada di Tanah Air. Pihaknya kesulitan untuk memeriksa mereka yang diduga terlibat merugikan negara hingga Rp 8 triliun tersebut.

"Terus terang kendalanya itu sebagian pelakunya itu ada di luar negeri," kata Syarif beberapa waktu lalu.

Namun begitu, penyidik KPK juga terus mengusut kasus ini, beberapa saksi mulai diperiksa seperti mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Miranda Swaray Goeltom, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso.

KPK juga telah menggali keterangan dari mantan Wakil Presiden yang juga mantan Gubernur BI Boediono, serta Komisaris Utama PT Bank Mandiri (Persero) Hartadi Agus Sarwono.

 

2. Kasus BLBI

Aktivis Desak KPK Tuntaskan Kasus BLBI dan Century
Pegiat anti korupsi meminta kepada KPK untuk segera menuntaskan kasus korupsi yang telah lama terjadi seperti BLBI dan Century, Jakarta, Selasa (9/12/2014). (Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Dalam kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), KPK baru menjerat mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung. Syafruddin divonis 13 tahun penjara atas korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) BLBI pada Bank Dagang Negara Indonesi (BDNI).

Menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang, kasus perkembangan kasus BLBI ini masih berlanjut. Bahkan saut sempat menyatakan akan mengumumkan perkembangannya.

"Nanti. Nanti kita umumkan," ujar Saut di Gedung KPK Kavling C1, Jakarta Selatan, Senin 11 Maret 2019.

Saut menyatakan bahwa kasus BLBI sudah naik ke tingkat penyidikan. Namun, Saut masih menutup pihak yang sudah dijerat menjadi tersangka oleh lembaganya.

Saat disinggung apakah pemilik BDNI Sjamsul Nursalim sudah menjadi tersangka baru dalam kasus yang merugikan negara hingga Rp 4,8 triliun ini, Saut masih menutupinya.

"Saya belum ngomong itu (Sjamsul Nursalim menjadi tersangka). Pokoknya nanti segera kita umumkan," kata Saut.

Tak hanya Saut, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata juga menyebut kasus dugaan korupsi BLBI sudah masuk dalam tahap penyidikan.

"Itu (kasus BLBI) sebenarnya sudah di ranah penyidikan itu. Tapi belum ada ekspose lebih lanjut," ujar Alex.

Salah satu kendala dalam kasus ini yakni lantaran Sjamsul Nursalim bedomisili di Singapura. Beberapa kali Sjamsul dan sang istri Itjih Nursalim dipanggil penyidik KPK namun tak memenuhi panggilan.

Berdasarkan informasi, pihak KPK tengah menunggu keputusan dari Pengadilan Tipikor untuk sidang dengan tanpa adanya terdakwa, alias in absentia lantaran Sjamsul yang berada di Singapura. Keputusan in absentia dilakukan lantaran lembaga antirasuah ingin mengembalikan kerugian negara atas kasus ini.

 

3. Kasus E-KTP Markus Nari

Kasus E-KTP, KPK Periksa Markus Nari
Anggota Komisi VIII DPR Fraksi Golkar nonaktif Markus Nari tiba di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (3/5/2019). Markus Nari diperiksa untuk pelengkapan berkas terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Politikus Golkar Markus Nari ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP pada 19 Juli 2017. Dia merupakan tersangka kelima setelah dua pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto, pengusaha Andi Narogong, dan Ketua DPR Setya Novanto.

Setelah Markus, KPK juga menjerat tiga pengusaha yakni Anang Sugiana Sudihardjo, Irvanto Hendra Pambudi, dan Made Oka Massagung. Ketiganya sudah divonis bersalah melakukan korupsi e-KTP oleh Pengadilan Tipikor, namun proses penyidikan Markus masih berjalan.

Markus bahkan baru ditahan lembaga antirasuah setelah kurang lebih dua tahun ditetapkan sebagai tersangka. Markus dijebloskan ke Rumah Tahanan (Rutan) cabang KPK di belakang Gedung Merah Putih, pada 1 Maret 2019.

Selain dijerat kasus korupsi e-KTP, Markus dijerat kasus merintangi proses penyidikan korupsi e-KTP. Markus diduga menekan mantan anggota Komisi II DPR Miryam‎ S Haryani agar memberikan keterangan tidak benar pada persidangan.

Markus Nari juga diduga memengaruhi terdakwa Irman dan Sugiharto pada persidangan kasus e-KTP.

Pada perkara e-KTP ini, KPK sudah mengantarkan tujuh orang ke dalam penjara. Ketujuh orang tersebut dinilai hakim terbukti melakukan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari proyek sebesar Rp 5,9 triliun.

Dua mantan pejabat Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman dan Sugiharto yang masing-masing divonis 15 tahun penjara, mantan Ketua DPR Setya Novanto yang juga 15 tahun penjara, pengusaha Andi Narogong 13 tahun penjara, Anang Sugiana Sudiharsjo seberat 6 tahun penjara. Sedangkan Irvanto Hendra Pambudi dan Made Oka Massagung masing-masing 10 tahun penjara.

 

4. Kasus TPPU Tubagus Chaeri Wardana (Wawan)

20160129-Adik Atut dan Mantan Anak Buah Alex Noerdin Datang Bersamaan ke KPK-Jakarta
Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan dan Mantan Kadis PU Cipta Karya Provinsi Sumsel Rizal Abdullah, tiba bersamaan di KPK, Jakarta, Jumat (29/1). Wawan diperiksa terkait kasus TPPU sedangkan Rizal terkait korupsi wisma atlet. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada 13 Januari 2014. Hingga kini kasus tersebut belum naik ke meja hijau.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah sempat menyebut bahwa kasus TPPU Wawan ini memiliki karakter yang berbeda. Sebab, suami dari Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany ini bukan seorang penyelenggara negara, melainkan pihak swasta.

"Kalau penyelenggara negara, kita bisa buktikan posisi kekayaannya di LHKPN atau informasi-informasi yang sudah tersedia lainnya," kata Febri, Selasa, 20 Februari 2018.

Namun pemetaan aset Wawan menurut Febri, sudah dilakukan oleh lembaga antirasuah. Pemanggilan saksi-saksi juga masih terus dilakukan oleh penyidik KPK. Setidaknya sudah ratusan saksi dimintai keterangan dalam kasus TPPU Wawan ini.

Mulai dari penyelenggara negara, politisi, pihak swasta, hingga selebritas telah dimintai keterangan untuk melengkapi berkas perkara Wawan.

Tak hanya memeriksa saksi, penyidik KPK turut melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap aset-aset Wawan yang disinyalir berasal dari praktik korupsi.

Aset-aset Wawan yang disita dalam kurun waktu tiga tahun terakhir di antaranya, aset bergerak, sekitar 74 mobil dan satu motor besar, serta 100 unit tanah dan atau bangunan yang berada di Bali, Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.

KPK menduga Wawan meraup keuntungan lebih dari, sedikitnya 1.200 proyek di lingkungan Pemprov Banten, Kota Tangerang Selatan dan Kota Pandeglang, selama kurun waktu 2002 hingga 2013 lalu.

Adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah menggunakan 300 perusahaan fiktif, dalam melancarkan kejahatannya tersebut. Pemeriksaan saksi untuk kasus TPPU Wawan, dilakukan KPK pada awal tahun ini.

Sebelum dijerat TPPU, Wawan sendiri telah divonis bersalah dalam kasus suap kepada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.

 

5. Kasus Eks Dirut Pelindo II RJ Lino

20160106-Inilah Barang Bukti Crane Kasus Dugaan Korupsi RJ Lino
Mobil Crane yang diberi garis polisi di PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, Jakarta, Rabu (6/1). Crane tersebut disita karena ada dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang dalam pengadaan unit crane oleh RJ Lino. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

KPK menetapkan Direktur Utama PT Pelindo II, Richard Joost Lino (RJ Lino) sebagai tersangka pada 18 Desember 2015. Penetapan tersangka tersebut diawali sengan surat perintah penyidikan (sprindik) yang ditandatangani pimpinan KPK tertanggal 15 Desember 2015.

RJ Lino dijerat sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tiga unit quay container crane (QCC) alias mesin derek besar kontainer pada 2010.

Dia diduga menyalahgunakan wewenangnya dengan menunjuk langsung perusahaan asal Tiongkok, PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery.Co.Ltd., dalam pengadaan tiga alat berat tersebut. Dalam kasus ini negara ditaksir merugi hingga Rp 60 miliar.

RJ Lino sempat mengajukan gugatan praperadilan melawan KPK, namun kandas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada 26 Januari 2016. RJ Lino juga sudah diperiksa sebagai tersangka pada 5 Februari 2016.

KPK telah memeriksa 60 saksi, yang terdiri dari unsur pejabat dan staf Pelindo II, pejabat Kementerian BUMN dan swasta. Bahkan, lembaga antirasuah telah mengirim penyidik ke Tiongkok untuk mencari bukti lainnya, dalam kasus RJ Lino ini.

Belakangan, KPK kesulitan mendapatkan harga asli QCC, yang dibeli perusahaan plat merah dari perusahaan asal Tiongkok itu. Otoritas Tiongkok belum memberikan harga asli barang tersebut.

"Itu barang kan dibeli dari Tiongkok. Kemarin kan juga Pak Laode sama pak AR (Agus Rahardjo) sempat ke Tiongkok juga untuk menanyakan, tapi sampai sekarang memang kita belum dapat data itu dan rasa-rasanya mungkin dari pihak Tiongkok juga enggak akan memberikan," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Rabu 19 Desember 2018.

Namun Alex sempat berharap, sebelum masa tugasnya berakhir, kasus ini sudah naik ke penuntutan.

"Mudah-mudahan enggak sampai ganti-ganti periode, ganti rezim, ganti pimpinan tapi belum selesai kan rasa-rasanya juga nanti enggak elok juga kan kalau kita ninggalin sesuatu yang sudah ditinggalkan oleh pimpinan sebelumnya. Akan kita coba selesaikan," kata Alex.

 

6. Kasus PT Garuda Indonesia

Berkas Dokumen Arsip File
Ilustrasi Foto Berkas atau Dokumen. (iStockphoto)

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif menyebut mandeknya kasus dugaan suap pengadaan mesin dan pesawat di PT Garuda Indonesia lantaran bukti-buktinya berbahasa asing.

"Bukti yang kami dapat itu berkasnya tebal, habis itu semua buktinya dalam bahasa Inggris, kalau bahasa Indonesia sebenaranya sudah lama jadi," ujar Syarif di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (15/5/2019).

Selain lantaran bukti-bukti kasus tersebut berbahasa asing, penanganan kasus ini juga dilakukan bersama-sama dengan penegak hukum asing seperti Chief Financial Officer (CFO) dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).

"Jadi harus diterjemahkan bukti-buktinya itu, kan ini investigasi bersama CFO dan CPIB Singapura," kata Syarif.

Lantaran bukti-bukti yang berbahasa asing tersebut jugalah yang membuat dua tersangka dalam kasus ini belum ditahan. Sebab, penahanan oleh penegak hukum terhadap tersangka memiliki batas waktu.

"Ya belum ditahan, kenapa enggak ditahan? Kan ada batas waktu penahanan, kan enggak boleh lebih dari waktu tertentu, bagaimana kalau berkasnya belum selesai?," kata Syarif.

Namun Syarif berharap kasus ini segera naik ke persidangan sebelum masa jabatannya berakhir pada tahun ini. "Ya pokoknya sebelum kami (pimpinan jilid IV selesai masa tugas), selesai (rampung kasusnya)," kata Syarif.

KPK sebelumnya menetapkan dua tersangka terkait kasus dugaan suap pengadaan mesin dan pesawat di PT Garuda Indonesia.

Mereka adalah Emirsyah Satar dan Soetikno Soedarjo yang merupakan Presiden Komisaris PT Mugi Rekso Abadi (MRA). Emirsyah Satar dalam kasus ini diduga menerima suap Euro 1,2 juta dan USD 180 ribu atau senilai total Rp 20 miliar.

Ia juga diduga menerima barang senilai USD 2 juta yang tersebar di Singapura, Australia, dan Indonesia, dari perusahaan manufaktur terkemuka asal Inggris, Rolls Royce, dalam pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS pada periode 2005-2014 di PT Garuda Indonesia.

KPK menduga, pemberian suap itu dilakukan melalui seorang perantara Soetikno Soedarjo selaku beneficial owner dari Connaught International Pte Ltd yang berlokasi di Singapura.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya