Liputan6.com, Jakarta - Mantan anggota DPR Fraksi Golkar Markus Nari didakwa menerima keuntungan USD 1,4 juta atas kasus korupsi e-KTP. Menurut jaksa, Markus ikut mempengaruhi atau mengintervensi proses penganggaran dan pengadaan proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013.
"Memperkaya terdakwa USD 1.400.000," ujar jaksa KPK dalam dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2019).
Baca Juga
Selain memperkaya diri sendiri, Markus juga disebut menguntungkan orang lain dan korporasi. Atas perbuatan tersebut, Markus turut serta dalam merugikan keuangan negara kurang lebih Rp 2,3 triliun.
Advertisement
"Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Rp 2.314.904.234.275,39," kata jaksa
Menurut jaksa, Markus Nari melakukan perbuatannya bersama-sama dengan Irman dan Sugiharto selaku pejabat di Ditjen Dukcapil Kemendagri, Diah Anggraeni selaku Sekjen Kemendagri, Drajat Wisnu Setyawan selaku Ketua Pengadaan Barang dan Jasa pada Ditjen Kemendagri.
Lalu Setya Novanto selaku Ketua Fraksi Golkar di DPR, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Anang Sugiana Sudihardjo selaku Direktur PT Quadra Solutions dan Isnu Edhi WIjaya selaku Ketua Konsorsium PNRI.
Perbuatan Markus dianggap melanggar Pasal 2 ayat 1 atau 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1.
Selain didakwa merugikan negara, Markus Nari juga didakwa merintangi proses peradilan kasus korupsi e-KTP. Jaksa menyebut Markus mencoba memengaruhi mantan anggota DPR Miryam S. Haryani selaku saksi dan Direktur Dukcapil Kemendagri, Sugiharto selaku terdakwa dalam kasus korupsi proyek e-KTP.
"Terdakwa telah sengaja mencegah atau merintangi secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Saksi Miryam S. Haryani dan terdakwa Sugiharto," kata jaksa.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Markus Minta Dicarikan BAP Irman dan Sugiharto
Menurut jaksa, awalnya Markus berbicara dengan pengacara Anton Taufik pada Desember 2016, terkait pemanggilannya menjadi saksi di kasus e-KTP. Di sisi lain, KPK saat itu telah melimpahkan berkas Irman dan Sugiharto ke Pengadilan Tipikor Jakarta.
Pada 7 Maret 2017, Markus meminta agar Anton memantau sidang Irman dan Sugiharto. Menurut jaksa, Anton menyanggupinya dan meminta uang operasional ke Markus. Markus kemudian memberikan uang SGD 10 ribu.
Pada tanggal 9 Maret 2017, Anton memantau sidang perdana Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta. Anton kemudian melaporkan kepada Markus melalui telepon dengan menyampaikan nama Markus disebut sebagai penerima aliran uang proyek e-KTP sebesar USD 400 ribu.
Menurut jaksa, Markus memerintahkan Anton untuk mencarikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Miryam. Anton menyanggupinya. Anton kemudian meminta kepada Suswanti selaku Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di lobi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Meminta fotokopi BAP atas nama Markus Nari dan BAP atas nama Miryam S. Haryani dengan mengatakan, 'Tolong fotokopikan BAP-nya Miryam dan Markus Nari'. Atas permintaan tersebut, Suswanti menyanggupinya," kata jaksa.
Pada 14 Maret 2017, Suswanti memberikan fotokopi BAP atas nama Markus Nari dan BAP atas nama Miryam beserta fotokopi surat dakwaan atas nama Irman dan Sugiharto kepada Anton. Anton memberikan uang sebesar Rp 2 juta kepada Suswanti.
Setelah menerima berkas BAP dan dakwaan, Anton memberikannya kepada Markus Nari. Kemudian Markus pun memberikannya kepada Miryam melalui pengacara Elza Syarief. Markus kemudian kembali memberikan uang USD 10 ribu kepada Anton.
Pada pertemuan tanggal 17 Maret 2017, Anton menduga Markus bakal terjerat dalam kasus e-KTP. Markus pun meminta kepada Anton untuk membujuk Miryam agar tak menyebut nama Markus dalam persidangan.
"Oleh karenanya, terdakwa meminta Anton mengantarkan BAP atas nama Miryam S. Haryani yang sudah distabilo dan ditulis 'dicabut' tersebut kepada Elza Syarief yang merupakan pengacara Miryam," kata jaksa.
Singkat cerita, pada 23 Maret 2017 Miryam S. Haryani dihadirkan oleh jaksa penuntut umum KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta sebagai saksi dalam persidangan kasus e-KTP. Dalam sidang tersebut Miryam mencabut BAP miliknya.
"Pencabutan keterangan pada BAP tersebut mempersulit penuntut umum membuktikan unsur memperkaya atau menguntungkan orang lain, diantaranya terdakwa," ujar jaksa.
Perbuatan Markus dianggap melanggar Pasal 21 atau Pasal 22 Jo. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Advertisement