Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengungkapkan kegentingan yang memasksa Presiden Joko Widodo atau Jokowi harus mengeluarkan Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK yang telah disahkan DPR.
Misalnya, adanya masalah hukum yang membuat penegakan hukum terhadap koruptor sulit berjalan.
Baca Juga
"Kondisinya saat ini masalah hukum ada, pascarevisi UU KPK bahwa KPK secara kewenangan lemah, pemberantasan korupsi terancam, bahkan ada beberapa kasus di dalamnya itu juga terancam pengungkapannya jauh lebih lambat," kata Fajri di Kantor YLBHI, Cikini, Jakarta, Minggu (6/10/2019).
Advertisement
Fajri melanjutkan, masalah hukum itu harus diselesaikan dengan undang-undang. Menurutnya, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) adalah kuncinya.
"Kewenangan KPK ada di UU ini. Gimana cara menyelesaikannya? Harus menggunakan UU lagi untuk mencabut UU yang baru disahkan oleh DPR," tegas Fajri.
Di samping itu, Fajri melihat saat ini DPR baru saja dilantik. Ia menerangkan, sepengalamannya lima tahun lalu, yakni saat DPR baru dilantik Oktober 2014, mereka baru bisa aktif membentuk undang-undang pada Februari tahun berikutnya.
Oleh karenanya, jika mengandalkan undang-undang bentukan DPR baru untuk mengeliminasi UU KPK hasil revisi ini, menurut Fajri akan membutuhkan waktu yang lama.
"Jadi ada waktu kita menunggu sampai berbulan-bulan sedangkan UU KPK sudah akan diundangkan 17 Oktober. Pascadiundangkan KPK berubah bentuk," jelas Fajri.
Inilah yang menurut Fajri disebut sebagai kegentingan yang memaksa. "Melalui syarat ini sudah memenuhi ihwal kegentingan yang memaksa," tegas Fajri.
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.