Liputan6.com, Jakarta - Jakarta diguyur hujan semalam, tapi sejuknya masih terasa saat saya masuk ke kawasan Malaka Sari, Duren Sawit, Jakarta Timur, meski matahari sebenarnya mulai terik. Kanan kiri jalan yang terlihat hanya tanaman, sesekali terdengar kicauan burung. Tak ada sedikit pun sampah, atau genangan air sisa hujan yang biasa saya jumpai di kompleks perumahan lain di Jakarta.
"Dulu kami belum tahu apa kegunaan lubang biopori. Saya anggap lahan kosong yang dulu banyak di sini itu sebagai resapan air," kata Sere Rohana kepada Liputan6.com, Rabu (6/11/2019).
Pola pikir Sere terhadap lingkungan mulai berubah saat dirinya aktif di komunitas ibu-ibu PKK pada 2006. Didapuk menjadi ketua pokja 3 yang membawahi urusan perumahan, tata laksana rumah tangga, dan lingkungan, Sere mulai menggeluti urban farming.
Advertisement
"Kebetulan kerja saya tukang dekor ruangan, bikin rangkaian bunga, saya coba mulai menanam dari rumah," katanya.
Sere menceritakan, awalnya dia hanya menanam tanaman hias. Anggrek dan sansevieria jadi pilihannya. Selain perlu ketelatenan yang tinggi, menanam tanaman hias di rumah juga mampu membawa kebahagiaan. Berangkat dari hobi, Sere mulai mengajak ibu-ibu di lingkarannya untuk ikut menanam.
"Ya sudah ini jadi ajang saya, saya ajak ibu-ibu, begini lho cara nanem yang mudah," katanya.
Ibu-ibu lain pun ikut tergerak, sansevieria dan anggrek yang ada di rumah Sere kemudian dibagikan dan distek ke ibu-ibu lain. “Kalau kamu lihat sansevieria di lingkungan sini, itu berasal dari rumah saya,” kata Sere.
Ajang Jakarta Green and Clear 2009 yang digelar salah satu CSR perusahaan, menjadi tantangan baru bagi Sere dan ibu-ibu yang ada di lingkungannya. Sere kemudian ditunjuk menjadi pendamping RW untuk iku ambil bagian dalam lomba itu.
"Pada saat itu saya juga belum ngerti banget apa itu lubang resapan biopori, saya hanya tahu tanaman hias, saya merangkai dekor, mengantar anak sekolah, hanya sebatas itu," katanya.
Awalnya dalam mindset Sere, kavling-kavling kosong yang ada di lingkungannya bisa menjadi lahan resapan air hujan. Alang-alang dan lahan kosong di pikirannya bisa menampung air hujan yang jatuh dari langit. Nyatanya tidak sesederhana itu.
"Saya kemudian tahu alang-alang di lahan itu hanya menyerap air 10 centi ke dalam tanah. Nah ditulah makanya saya mau bikin lubang biopori di fasilitas umum, mindset saya mulai berubah," katanya.
Memasuki 2010, Sere didapuk menjadi ketua RT. Mandat yang diterima dari warga dan ibu-ibu di lingkungannya dimanfaatkan Sere untuk membuat lebih banyak lubang biopori.
Sere lalu membuat kebijakan setiap rumah yang masih ada halamannya, 5 meter jaraknya dari air tanah, 5 meter dari septic tank, wajib membuat lubang resapan biopori. Tak hanya itu, warga di tiap rumah juga wajib menamam minimal 5 pot tanaman, terserah mau menanam apa saja.
"Sekarang di lingkungan sini sudah ada 514 lubang biopori aktif," katanya bangga.
Setelah dirinya berkesempatan belajar langsung dengan penemu lubang resapan biopori, Prof Kamir Brata, Sere mewanti-wanti warga dan ibu-ibu di Jakarta khususnya, untuk tidak ragu membuat lubang resapan biopori.
"Bikin saja di rumah, kalau rumahmu sempit, bikin di fasilitas umum. Tak perlu mahal-mahal, yang penting aktif dan banyak," katanya.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Dampak Positif
Sere mengaku banyak sekali dampak positif yang diterima lingkungannya karena keberadaan lubang biopori. Saat daerah lain mengalami kekeringan air tanah pada musim kemarau panjang lalu, lingkungan di tempat Sere berada tidak kekeringan sama sekali. Bahkan tak jarang tetangganya pengguna air PDAM di kala mati kerap datang meminta air tanah dari Sere.
Keuntungan lain, kata Sere, sampah basah yang bisa diserap ke lubang biopori membuat tanaman di lingkungannya sehat dan berbuah banyak. Lubang biopori ternyata mampu memperbaiki unsur hara tanah, yang membuatnya semakin subur.
"Waktu itu pernah truk sampah gak datang ke lingkungan kami, tong sampah kam" katanya.
Yang pasti, dengan banyaknya lubang resapan biopori, lingkungan tempat Sere berada tidak pernah kebanjiran. Bahkan genangan air sehabis hujan pun tak terlihat karena sudah masuk ke lubang biopori.
Dari lubang biopori, pada 2010, Sere kemudian mengingatkan warganya akan pentingnya pemilahan sampah.
"Saya ajak semuanya, termasuk ibu-ibu pengajian, perlunya pemilahan sampah. Jadi kita sekarang sudah biasa memilah sampah basah, sampah kering, sampah buang (sampah B3)," katanya.
Setelah sampah dipilah, apa yang perlu dilakukan? Sere kemudian punya kebijakan lain, yaitu membuat komposter dari sampah rumah tangga. Komposter dibuat sekreatif mungkin oleh warganya dengan memanfaatkan tong-tong dan kaleng bekas.
"Tong itu kemudian menjadi wadah sampah basah, sampah basah buangnya ke situ, sampah kulit buah, dan lain-lain tampung di situ. Bagian bawah tong lubangi dan dibikin keran, airnya jadi air lindi, itu bisa buat penyubur tanaman," katanya.
Yang mengkhawatirkan saat ini, kata Sere, sampah basah mendominasi sampahnya orang Jakarta. Jumlahnya mencapai 60-67 persen. Sebenarnya pemecahan masalah itu sangat sederhana, yaitu warga Jakarta mau mengelola sampah basah mereka sendiri.
"Kalau semua punya kesadaran itu, aman kita semua. Bantar Gebang gak sampe kayak gitu," kata Sere.
Advertisement
Bank Sampah
Lalu di bawa ke mana sampah kering? Atas swadaya masyarakat sendiri, bank sampah di lingkungan Sere akhirnya terbentuk. Ke bank sampah inilah sampah-sampah kering dikumpulkan diubah menjadi rupiah.
Sampai saat ini sudah ada lebih dari 340 nasabah tetap di bank sampah tersebut. Bahkan nasabahnya ada yang datang dari luar lingkungan Sere.
"Oke, kalau kamu enggak mau ke bank sampah, yauda gak apa-apa, cukup gantungin aja sampah keringnya, nanti kan diambil pemulung, atau tukang sampah. Itu kan jadi amal. Karena kalau sampah kering sudah bercampur sampah basah itu sudah gak bernilai ekonomi," katanya.
Sere menyayangkan warga, khususnya di Jakarta, yang selalu menyalahkan pemerintah soal sampah, yang selalu protes jika tukang sampah tidak datang berhari-hari, yang mengeluh saat iuran sampah naik. Padahal itu sampah mereka sendiri.
"Janganlah terus menuntut pemerintah, kenapa kamu gak mulai dari diri kamu sendiri. Orang itu sampah kamu sendiri kok. Coba lihat di luar negeri, sampah itu diambilnya seminggu sekali," katanya.
Sere mengaku sering mengajarkan anak-anak di sekolah untuk, ayo memilah sampah mereka. Jika tak punya bank sampah, paling tidak mau memisahkan sampahnya saja sudah baik. Supaya di Bantar Gebang tidak numpuk, dan persoalan sampah gampang diatasi.
"Coba lihat di sini (lingkungannya), pernah tukang sampah enggak datang berhari-hari, kami gak masalah, sampah kami yang terbuang hanya sedikit," katanya.
Didapuk menjadi Ketua RW pada 2013, Sere perlu memikirkan bagaimana caranya agar bank sampah tak hanya menjadi tempat penampungan sampah kering, tapi juga benar-benar memutar perekonomian, atau paling tidak menjadi penghasilan bagi petugasnya.
"Kami menyadari bank sampah ini sebenarnya kerja sosial. Gimana enggak, dari lebaran ke lebaran itu paling besar hanya Rp600 ribu. Coba bayangin 11 bulan hanya Rp600 ribu," katanya.
Sere kemudian membuat sistem bank sampah, yaitu 30 persen untuk bank sampah dengan rincian 10 persen untuk yang milah, 10 persen untuk administrasi, dan 10 persen untuk petugas. Ketentuan itu disepakati bersama oleh warga dan ibu-ibu di lingkungannya.
"Pemasukan bank sampah gak cuma dari sampah, karena di sebelah bank sampah ada urban farming, menanam tanaman pangan. Itu juga bisa dijual, ini sebentar lagi kita panen, bayemnya sudah bisa dibeli. Biasanya warga juga beli di sini," katanya.
Anak Muda Perlu Turun Tangan
Apa yang dilakukan Sere dengan memperbanyak lubang resapan biopori, memilah sampah, membangun bank sampah secara swadaya, ternyata berkaitan erat dengan hobi urban farming yang digelutinya. Banyak orang bingung bagaimana memulai urban farming, padahal caranya hanya satu, yaitu kemauan.
"Sebetulnya gampang, saya sudah coba. Gak usah yang susah-susah, yang ada di rumah saja, kayak biji tomat, cabe," katanya.
Tidak perlu risau dengan lahan sempit, karena kata Sere, urban farming memang awalnya gerakan menanam dari mereka yang hidup dalam ruang terbatas, seperti di Kota Jakarta ini. Soal gangguan tikus? itu perihal gampang. Sere mengatakan, dirinya biasa memberikan cangkang telur ke tanamannya.
"Taruh saja itu cangkang telur di pot, selama itu tidak ada tikus ngacak-ngacak tanaman saya. Kalau sudah lama itu kita ancurin, itu bisa jadi kalsium buat tanaman. Artinya apa, gak ada sampah yang terbuang, kan?" katanya.
Sere mengatakan, sebenarnya orang Jakarta banyak sekali yang ingin menanam. Mereka punya keinginan yang kuat untuk itu. Tapi informasi yang datang ke mereka soal urban farming, tanaman hidroponik, itu masih sedikit. Edukasi masih dirasakan kurang. Tak heran jika Sere kerap pergi ke kampung-kampung, ke rumah susun, demi memberikan pengetahuan soal tanaman hidroponik.
"Gak usah mahal-mahal, berangkat saja dari apa yang ada di rumah kamu," katanya.
Kerja keras Sere terhadap lingkungan berbuah manis, segudang penghargaan telah ia raih bersama ibu-ibu dan warga sekitarnya. Pada 2011, bank sampah di lingkungannya menjadi terbaik di DKI Jakarta versi JDC, dirinya juga di dapuk menjadi Tokoh Penggerak Versi Indopos (2012), Kalpataru Jakarta Timur (2013), Kalpataru DKI Jakarta (2014), lingkungannya menjadi Juara II Taman Bejo Herbal (2015), lingkungannya Juara II Lomba Olahan Cabe Bank Indonesia (2015), lingkungannya Juara III Urban Farming Bank Indonesia (2015), menjadi Duta Urban Farming Bank Indonesia (2015), Apresiasi Masyarakat peduli Persampahan KLH DKI Jakarta (2017), lingkungannya Juara I DKI Jakarta Gerakan Menanam Jahe Merah (2018), lingkungannya menjadi Juara II Nasional Hatinya PKK (2018), dan juara III bank sampah terbaik se-Jabodetabek.
Namun demikian, bagi Sere, ada hadiah yang lebih indah di balik semua penghargaan itu, yaitu kelestarian lingkungan dan kesadaran masyarakat untuk mau bersama-sama menjaga lingkungan dan melestarikannya.
Sere hanya berharap, masyarakat Jakarta, siapa pun itu, mau ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak muda, untuk mau memulai memilah sampah rumah tangga mereka sendiri. Mau memulai untuk menanam, dan membuat lubang biopori.
"Supaya masa depan anak dan cucu masih bisa merasakan sumber air tanah yang bersih, udara bersih. Kalau semua serius, 10 tahun urban farming bukan hanya tren, tapi bisa menjadi solusi ketahanan pangan kita," katanya.
Di usianya yang tidak lagi muda, Sere juga berharap ada regenerasi. Anak muda harus turun tangan mengambil peran menghadirkan suasana lingkungan sekitar yang humanis dan harmonis.
"Anak muda harus menanam, mereka harus tahu jahatnya gas metan, itu 21 kali lebih jahat dari CO2," kata Sere menutup perbincangan.
*Ikuti Cerita #AksiHidupBaik Lainnya di Akun Youtube dan Instagram @Ibu.ibukota
Advertisement