Pengamat: Berlakukan Darurat Sipil untuk Atasi Virus Corona Kurang Tepat

Jaga jarak sudah paling benar tapi belum efektif karena masih sekadar imbauan

oleh Liputan6.com diperbarui 31 Mar 2020, 10:16 WIB
Diterbitkan 31 Mar 2020, 10:16 WIB
Aturan Jaga Jarak Di Singapura
Pusat perbelanjaan menerapkan langkah social distancing atau jaga jarak sosial dengan memberikan tanda silang di area tempat duduk publik di wilayah Bugis Singapura, 28 Maret 2020. Warga di Singapura yang melanggar perintah jaga jarak akan dikenakan denda sekitar Rp 1112 juta. (Xinhua/Then Chih Wey)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Penyebaran virus Corona di Indonesia membuat pemerintah kelimpungan mengkaji segala aturan guna memutus rantai penyebaran. Opsi terakhir yang akan dipilih pemerintah adalah darurat sipil.

Opsi ini dikritik pelbagai pihak, seperti pegiat HAM dan kebijakan publik. Darurat sipil dianggap bukan solusi terbaik menanggulangi pemutusan sebaran rantai virus Corona.

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan bahwa kebijakan jaga jarak merupakan cara terbaik untuk menekan laju angka kasus positif Covid-19. Hanya saja, kebijakan ini belum maksimal karena belum adanya payung hukum dalam pelaksanaannya.

"Kalau untuk darurat sipil sebagai opsi terakhir, enggak tepat. Jaga jarak sudah paling benar tapi belum efektif karena masih sekadar imbauan," kata Rahadiansyah kepada merdeka.com, Selasa (31/3).

Dia menuturkan, jika sekedar imbauan maka sulit untuk mengguggah kepedulian masyarakat mengenai pentingnya jaga jarak. Untuk itu, penerapan aturan hukum perlu dilakukan.

Lebih lanjut, dia mengatakan aturan hukum yang diberlakukan tidak perlu masuk dalam ranah pidana, cukup proses administrasi atau denda.

"Enggak usah pidana, penjara sudah penuh. Cukup administrasi misalnya KTPnya ditahan, atau SIMnya, lalu denda, itu cukup," terangnya.

Dosen di Universitas Trisakti itu menambahkan jika pemerintah merujuk pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Darurat Sipil dirasa tidak tepat jika diimplementasikan saat ini.

Alasannya, tidak ada penetapan darurat bencana nasional oleh pemerintah. Sehingga, imbuhnya, landasan ini akan membingungkan masyarakat jika opsi darurat sipil diterapkan.

Perppu itu berbunyi:

Pasal 1

(1) Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:

1. keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.

2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga.

3. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

(2) Penghapusan keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

Pasal 2

(1) Keputusan yang menyatakan atau menghapuskan keadaan bahaya mulai berlaku pada hari diumumkan, kecuali jikalau ditetapkan waktu yang lain dalam keputusan tersebut.

2) Pengumuman pernyataan atau penghapusan keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden.

Sementara sejak diumumkan kasus positif Covid-19 pertama kali oleh Presiden Joko Widodo hingga saat ini, belum ada penetapan zona merah atau zona mana saja yang dianggap darurat.

"Harus ada penetapan dulu, tapi ini kan enggak," kata dia.

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Kebijakan Darurat Sipil

Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta pembatasan sosial berskala besar untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19. Tidak hanya itu, Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut juga meminta pembatasan tersebut didampingi dengan adanya kebijakan darurat sipil.

"Sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Jokowi dalam membuka rapat terbatas terkait laporan satuan gugus tugas Covid-19 melalui siaran teleconference di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (30/3/2020).

Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman menjelaskan, darurat sipil sebagai jalan terakhir apabila pembatasan sosial skala besar tidak berjalan mulus. Hal tersebut bertujuan agar tidak semakin bertambahnya pasien positif corona di Indonesia.

"Pemerintah juga mempertimbangkan usulan pemberlakuan Darurat Sipil supaya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dapat dijalankan secara efektif," kata Fadjroel dalam pesan singkat, Jakarta, Senin (30/3).

Tetapi, dia menjelaskan, penerapan darurat sipil sebagai langkah akhir. Dia berharap, kebijakan itu tak dilakukan Presiden Jokowi."Penerapan Darurat Sipil adalah langkah terakhir," ungkap Fadjroel.

Reporter: Yunita Amalia 

Sumber: Merdeka

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya