Dirjen Imigrasi: Djoko Tjandra Tahu Kelemahan Kami

Direktur Jenderal Imigrasi Jhoni Ginting mengatakan, pihaknya tak ingin menutupi perkara buron kasus BLBI terkait pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 13 Jul 2020, 16:21 WIB
Diterbitkan 13 Jul 2020, 15:24 WIB
Imigrasi Tolak 126 WNA Masuk Indonesia Terkait COVID-19
Plh Dirjen Imigrasi Jhoni Ginting menyampaikan keterangan di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (12/3/2020). Sejak 6 Februari hingga 10 Maret 2020, pihak Imigrasi menolak 126 WNA dari berbagai negara untuk masuk Indonesia terkait penanganan virus corona COVID-19. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Jenderal Imigrasi Jhoni Ginting mengatakan, pihaknya tak ingin menutupi perkara buron kasus BLBI terkait pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.

Dia pun ingin yang bersangkutan segera tertangkap. Hal tersebut disampaikannya saat Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi III DPR RI.

Menurut dia, Djoko Tjandra mengetahui kelemahan pihak Imigrasi. Oleh karena itu, dia bisa bebas keluar masuk Indonesia.

"Kita dengan DPR tidak ada yang kami tutup-tutupi. Cuma tujuan akhirnya bagaimana supaya bersangkutan bisa kembali dan kita tidak dimain-mainin lagi seperti ini. Dia tahu kelemahan kita, dia main di kelemahan kita itu. Kami menyadari itu," kata Jhoni, Senin (13/7/2020).

Soal Djoko Tjandra bisa membuat paspor lagi pada 23 Juni, menurut dia, petugas yang jaga di lapangan masih baru dan tak mengetahui yang bersangkutan adalah seorang buronan. Apalagi, dalam sistem tidak terlihat, yang bersangkutan bermasalah hukum.

"Petugas kita petugas baru ya. Bukan membela lagi, enggak. Kalau kami disalahkan, kami disalahkan, kami menerima. Karena dia masih umur 23 tahun, dia baru lulus, dia tidak kenal dengan Djoko Tjandra. Kemungkinan, karena kami sudah BAP. Dia tidak kenal dan dari sistem tidak ada," jelas Jhoni.

Dia pun menjelaskan, ini bukan sikapnya untuk menghindari masalah. Tapi memang kenyataannya seperti itu. "Bukan defensif, Pak," tutur Jhoni.

Mendengar hal tersebut, anggota Komisi III DPR RI Benny K Harman meminta, penjelasan seperti itu tidak usah disampaikan. Apalagi sudah ada sistemnya.

"Kan sudah ada sistemnya," jelas Benny saat membahas Djoko Tjandra bersama Imigrasi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Namanya Kembali Disebut-sebut

Sebelumnya, terpidana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terkait pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Soegiarto Tjandra, kembali membuat heboh. Setelah buron sejak 2009, Kejaksaan Agung mengungkap Djoko Tjandra kembali ke Indonesia.

Jaksa Agung ST Burhanuddin mengaku kecolongan informasi soal keberadaan Djoko Tjandra. Hal ini disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi III DPR RI, Senin 29 Juni 2020.

"Saya belum mendapatkan informasi apakah hari ini datang di sidang atau tidak. Tapi yang saya herankan adalah, kami memang ada kelemahan, pada tanggal 8 Juni, Djoko Tjandra informasinya datang di Pengadilan Jakarta Selatan untuk mendaftarkan PK-nya, jujur ini kelemahan intelijen kami," kata Burhanuddin.

Beberapa hari kemudian, Djoko Tjandra yang juga dikenal dengan nama Tjan Kok Hui itu juga diketahui membuat e-KTP di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta. Dia datang sendiri ke kelurahan bersama pengacaranya.

Kejaksaan terheran-heran lantaran Djoko tak dicekal oleh pihak Imigrasi dan bisa kembali ke Indonesia.

Menkumham Yasonna Laoly menjelaskan alasan pihaknya tak cekal Djoko Tjandra hingga bisa melenggang masuk ke Tanah Air dan mendaftarkan peninjauan kembali. 

Paspor Lama Ada di Tangan Imigrasi

Direktur Jenderal Imigrasi Jhoni Ginting menegaskan, pihaknya sudah menyita paspor milik buronan kasus BLBI terkait pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.

Pada paspor tersebut tidak ditemukan cap dari pihak Imigrasi sebagai tanda atau bukti melintasi wilayah Indonesia. Meski, dia tak mengetahui keberadaan pria yang berganti nama jadi Joko Tjandra itu.

Hal ini disampaikannya, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI.

"Kami tidak tahu pak (keberadaannya). Karena paspor yang dikeluarkan, dikembalikan enggak dicap, enggak dicap yang ditarik itu. Kami tarik, melalui pengacara dikirim. Ini enggak dicap. Berarti dia enggak ada di perlintasan formal kami," kata Jhoni, Jakarta, Senin (13/7/2020).

Dia pun menuturkan, dalam paspor Djoko Tjandra yang dikeluarkan pada 2007 dan berakhir 2012, yang bersangkutan tak pernah mempergunakannya.

"Paspor yang dikeluarkan 2007 dan berakhir 2012 tidak dipergunakan yang bersangkutan keluar ke Indonesia," jelas Jhoni.

Oleh karena itu, dia menilai secara de jure atau berdasar hukum, Djoko Tjandra berada di Indonesia.

"Sehingga saya mengatakan, de jure dia di Indonesia. De facto-nya mari kita bersama penegak hukum yang lain," pungkasnya.

3 Kali Lolos Hukuman

Licin bagai belut, Djoko Tjandra 3 kali lolos dari jerat hukum di pengadilan.

Pada Februari 2000, jaksa dalam dakwaan primernya menyebut, Djoko melakukan tindak pidana korupsi terkait pencairan tagihan Bank Bali melalui pengalihan hak tagih piutang (cessie). Tindak pidana ini diduga merugikan negara Rp 940 miliar.

Namun, dalam putusan sela satu bulan kemudian, majelis hakim PN Jaksel memutuskan tidak menerima dakwaan itu. Alasannya, cessie merupakan tindak pidana perdata.

Djoko Tjandra pun bebas.

Jaksa kemudian mengajukan perlawanan ke PT DKI Jakarta. Pada 31 Maret 2000, majelis hakim membenarkan dakwaan jaksa dan sidang terhadap perkara Djoko Tjandra dilanjutkan.

Sidang perkara itu dibuka kembali pada Mei 2000. Namun, Djoko kembali bebas pada akhirnya. Majelis bersikukuh kasus Bank Bali merupakan kasus perdata.

Jaksa kemudian mengajukan kasasi yang kembali berujung pada penolakan.

15 Oktober 2008, jaksa mengajukan PK atas putusan kasasi MA. Jaksa menilai Djoko memperlihatkan kekeliruan nyata.

Pada tahap hukum ini, MA menjatuhkan hukuman kepada Djoko dengan pidana 2 tahun penjara. Dia juga didenda Rp 15 juta. Dia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tidak pidana korupsi dalam perkara cessie Bank Bali. Putusan itu dijatuhkan pada pertengahan Juni 2009.

"MA juga memerintahkan dana yang disimpan dalam rekening dana penampungan atau Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA yang saat itu dijabat Nurhadi.

Namun, Djoko Tjandra mangkir dari Kejaksaan untuk dieksekusi. Dia pun dinyatakan sebagai buron dan diduga telah melarikan diri ke Port Moresby, Papua Nugini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya