Liputan6.com, Jakarta - Manajemen Radio Republik Indonesia (RRI) mengumumkan lockdown pada 22 Juli 2020 setelah tiga karyawannya dinyatakan positif Covid-19.Â
Direktur SDM dan Umum RRI Nurhanuddin mengatakan, tiga pegawai RRI yang terpapar berada di tiga divisi berbeda. Masing-masing 1 orang karyawan RRI Jakarta, 1 orang karyawan Voice of Indonesia, dan 1 orang di kantor pusat di Direktorat Teknologi Media Baru.
Nurhanuddin menceritakan, pada 20 Juli 2020 managemen RRI mendapatkan laporan ada karyawannya dirawat karena Covid-19. Pada hari yang sama, pihaknya juga mendapat laporan dua karyawan lainnya juga terkonfirmasi positif Covid-19.Â
Advertisement
"Sehingga saya minta data-datanya semua bahwa betul dari kesehatan dinyatakan terkonfirmasi positif maka kami direksi memutuskan untuk lockdown tetapi siaran tetap jalan," kata Nurhanuddin kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (27/7/2020).
Nurhanuddin mengatakan, dua karyawannya sudah positif Covid-19 saat manajemen RRI memberlakukan work from home (WFH). Mereka tertular dari keluarganya yang juga dirawat di rumah sakit. Sementara, satu karyawan baru diketahui positif Covid-19 ketika sudah aktif bekerja.Â
"Satu itu masih aktif masuk kantor, pada saat dia sakit ada gejala, dia pulang minta izin dan langsung berobat dan ternyata positif," kata dia.
Manajemen RRI langsung menutup kantornya dan seluruh karyawannya melakukan isolasi mandiri dan melakukan rapid test.
"Untuk jajaran direksi mulai dirut sudah di-rapid test, alhamdulillah nonreaktif semua," ujar dia.
Sementara saat ini, kata dia, salah satu karyawannya sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit untuk melakukan isolasi mandiri.Â
Usai menjadi tempat ditemukannya kasus positif Covid-19, pegawai RRI kini menjalani work from home selama 14 hari hingga 4 Agustus 2020. RRI kemudian rutin melakukan penyemprotan disinfektan pada pagi dan malam hari.Â
"Yang ada di sana hanya kru, penyiar, presenter dan kru teknisi, pusat pemberitaan yang mengudara 24 jam. Yang kedua yang ada adalah satpam, karena harus tetap dijaga kan kantor, dan kelompok yang membersihkan ruangan, karena kami tingkatkan sejak di lockdown sampai 4 Agustus kami tingkatkan frekuensi penyemprotan disinfektan dua kali sehari, pagi dan petang," tandas Nurhanuddin.
Selain karyawan RRI, 2 relawan Palang Merah Indonesia (PMI) juga dilaporkan terinfeksi Covid-19. Sekjen Pengurus Pusat PMI Sudirman Said mengatakan, di antara relawan dan Prajurit TNI yang melakukan penyemprotan disinfektan ada yang terkonfirmasi positif.
"Secara berkala kami memang melakukan test baik rapid test maupun PCR. Kebetulan kali ini ada beberapa yang terkonfirmasi positif. Sebagian besar yang positif tidak ada masalah klinis, karena itu cukup dilakukan isolasi," kata Sudirman Said kepada Liputan6.com.
Sementara yang memiliki sakit bawaan dan gejala klinis dilakukan perawatan di rumah sakit. "Untuk penanganan personel yang positif, PMI mengoptimalkan pemanfaatan Rumah Sakit PMI Bogor yang sudah disiapkan cukup lama," tandas Sudirman.
Bukan hanya RII dan PMI, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Widyastuti mengatakan, ada 68 perkantoran yang menjadi klaster baru Covid-19 di Jakarta. Dari 68 kantor tersebut, 440 karyawan terkonfirmasi positif Covid-19.
Widyastuti mengatakan, sebelum 4 Juni 2020 atau masa PSBB berlangsung ada 48 orang yang positif Covid-19 dari klaster perkantoran. Namun, saat mulai penerapan PSBB transisi jumlah karyawan yang positif Covid-19 meningkat 397 orang. Sehingga totalnya menjadi 440 karyawan yang positif Covid-19.
Untuk itu, Widyastuti meminta agar karyawan selalu mawas diri saat berada di kantor dengan mejaga jarak, dan tetap menggunakan masker saat bekerja.
"Kalau tidak enak badan jangan masuk kerja," kata Widyastuti kepada Liputan6.com.Â
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta Andri Yansyah mengungkap tidak disiplinnya perusahaan pada protool kesehatan menjadi pemicu klaster di perkantoran. Padahal, kata dia, pihaknya sudah menerbitkan protokol kerja selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi di Jakarta. Setiap kantor yang melakukan kegiatan kerja harus memenuhi protokol dan pencegahan virus Corona (Covid-19) tersebut.
Aturan itu tertuang di surat keputusan nomor 1477 Tahun 2020 dan ditandatangani pada 15 Juni 2020. Salah satu yang tertuang dalam SK tersebut adalah pembentukan Tim Gugus Tugas Covid-19 Internal Perusahaan.
"Supaya ada peran aktif perusahaan ikut laksanakan protokol Covid-19. Kalau mengandalkan kita saja, itu tidak akan efektif. Jumlah kita dengan jumlah perusahaan di Jakarta sangat tidak sebanding. Mungkin inilah kenapa terjadi klaster, karena tidak ada yang mengingatkan," kata Andri kepada Liputan6.com.
Kedua, kata dia, karena banyak perusahaan yang tidak jujur untuk menerapkan protokol kesehatan.Â
"Jangan hanya menggugurkan kewajiban saja, misalnya sudah menyiapkan cuci tangan, tetapi nggak ada yang mengingatkan bahwa tiap masuk dan keluar cuci tangan. Jadi pajangan aja. Hand sanitizer, tetapi tidak digunakan efektif," kata dia.
"Kemudian, misalnya dia lakukan pengukuran suhu badan, nembak saja, tapi nggak dikasih tau apakah sehat. Yang sudah dilakukan, diterapkan harus sesuai ketentuan," lanjut Andri.
Hal inilah pentingnya Gugus Tugas di internal perusahaan. Selain itu, karyawan juga wajib menggunakan masker.Â
"Perilaku itu selama berada di perkantoran, mulai dari masuk, berkantor, istirahat, ibadah, berkantor kembali sampai pulang harus betul-betul ditaati. Repotnya, kita udah paham tapi penerapannya kurang, kenapa? Karena nggak ada yang mengingatkan," tandas Andri.Â
Pentingnya Pembagian Jam Kerja
Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Doni Monardo mengingatkan, pentingnya perusahaan melakukan pembagian jam kerja serta disiplin menjalankan protokol kesehatan usai mendapati banyak klaster perkantoran di DKI Jakarta.
"Kita sudah ingatkan, agar seluruh perkantoran menaati pembagian jam kerja dua shift," kata Doni dalam konferensi pers usai rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo terkait penanganan COVID-19 pada Senin (27/7/2020).
Pembagian kerja yang dimaksud Doni adalah perkantoran menerapkan aturan jam kerja dari 07.00-07.30 hingga 15.00-15.30, lalu shift kedua 10.00-10.30 hingga 18.00-18.30.
"Kalau ini dipatuhi, berarti jumlah karyawan atau pegawai yang ada di kantor setengah dari jumlah yang ada," kata pria yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ini.
Dia juga meminta kepada perusahaan untuk membolehkan pekerja dengan risiko rentan yakni lanjut usia dan penderita penyakit komorbid seperti kanker, hipertensi, ginjal, jantung, diabetes dan penyakit pernapasan untuk bekerja dari rumah.
"Kalau ini dilakukan berarti bisa melindungi sebagian pegawai, data yang kami punya 85 persen angka kematian itu karena memiliki penyakit komorbid," kata Doni.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Ledakan Baru Klaster Perkantoran?
Ketua Satgas Kewaspadaan dan Kesiagaan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban mengatakan, saat ini telah ada ledakan baru pada klaster perkantoran.
Selain perkantoran, ada pula klaster yang mirip perkantoran yaitu di ruangan tertutup dan terdapat banyak orang. Misalnya, gereja, pesantren dan sekolah seperti di Secapa AD.
Zubairi mengatakan, ledakan klaster baru ini terjadi lantaran masyarakat kurang menyadari pelonggaran PSBB bukan berarti resiko penularan Covid-19 akan menurun. Pelonggaran PSBB yang dilakukan pemerintah, kata dia, agar kasus Covid-19 tidak naik tapi ekonomi jalan kembali.
"Misalnya sebagian karyawan pakai kendaraan umum. Saat itu naik dalam kondisi penuh. Kemudian masuk ke ruangan. Ruangan tertutup pakai AC. Ternyata penularannya lewat airbone bukan karena temannya naik kereta tadi batuk bersin. Tapi yang nempel di baju bisa kemudian lepas dan ke mana-mana," kata dia Zubairi kepada Liputan6.com.
Zubairi mengatakan, di ruangan tertutup seperti kantor dan rumah sakit penyebaran Covid-19 sangat mudah terjadi. Saat ini, kata dia, di rumah sakit rujukan yang menerapkan protokol kesehatan sangat ketat sekalipun masih terjadi penularan.Â
"Jadi risiko tinggi untuk semua ruangan yang relatif tertutup dan ada cukup banyak orang," kata dia.
Zubairi khawatir akan ada ledakan baru klaster perkantoran jika berkaca pada beberapa kasus seperti di kapal pesiar di Yokohama di mana penumpang yang positif Covid-19 mencapai 700 orang. Sementara ada 40 kapal serupa yang penumpangnya terinfeksi. Kemudian, kasus di Korea Selatan terdapat klaster gereja yang menularkan ke 50 ribu orang dalam waktu 40 hari. Lalu belajar dari klaster masjid di Tamansari dan pertemuan keagamaan di Goa yang menyebarkan kasus Covid-19 ke berbagai daerah.Â
"Semua ternyata membuat klaster baru. Nah harusnya belajar dari situ karena begitu ditetapkan pelonggaran, penularan masih terus terjadi," kata dia.
Untuk itu, kata dia, selain di kantor, tempat yang perlu diwaspadai adalah gereja, masjid, pesantren, sekolah, dan asrama. Sehingga jangan sampai terjadi seperti di Singapura di mana ledakan Covid-19 terjadi di asrama pekerja dari Bangladesh.
"Sekolah juga sama di beberapa negara membuat letusan klaster baru, dan restoran terutama restoran tertutup kalau masuk pakai pintu itu bahaya. Sebagian restoran di Indonesia ruangan tertutup, juga toko. Kalau mau ke mal makin lama di ruangan itu semakin risiko," ujar Zubairi.Â
Sementara Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia Syahrizal Syarif mengatakan klaster perkantoran terbentuk karena adanya pelonggaran PSBB. Syahrizal meyakini tertularnya Covid-19 di area perkantoran bukan karena airbone. Namun, lebih kepada perilaku karyawan.
"Jadi bukan faktor lingkungan kantor, tapi lebih aspek faktor perilaku. Orang kalau cenderung kenal, temannnya cenderung seperti keluarga, jadi kayak di rumah," kata Syahrizal kepada Liputan6.com.
Sehingga penularan terjadi bukan pada saat bekerja, tetapi saat jam istirahat. "Saat istirahat makan bareng, ngobrol. Jadinya nggak aware soal masker lagi, enggak jaga jarak," ujar dia.
Apalagi, kata dia, saat ini 60 persen orang yang positif Covid-19 cenderung tanpa gejala.
Â
Â
Advertisement
Apa Solusinya?
Ketua Satgas Kewaspadaan dan Kesiagaan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban pun meminta agar pemerintah belajar dari negara lain seperti China, Vietnam, Korea Selatan dan Selandia Baru di mana memberlakukan aturan yang ketat dan bertindak cepat.Â
"Pendisiplinan ini masalah perubahan perilaku yang memerlukan pengawasan atau orang untuk mengawasi perilaku kita. Jadi yang nggak pakai masker, bergerombol harus dibubarkan," ujar dia.
Kemudian, meningkatkan jumlah rapid test dan PCR. Di Indonesia, kata dia, minimal melakukan tes terhadap 100 ribu orang perhari.Â
"Kemudian program yang dulu dipahami seperti awal PSBB diterapkan. Kalau tidak apa? Kita lihat nasib Amerika, India, Brazil," kata dia.
Apalagi, lanjutnya, saat ini banyak gerakan menolak tes dan menggunakan masker. Pandangan yang salah seperti ini, kata dia, dapat mempengaruhi perilaku masyarakat yang awalnya taat protokol.
Selain itu, jika kantor, restoran dan bioskop akan dibuka harus memenuhi syarat yang banyak dan berat. Misalnya, ruangan harus dibersihkan sebelum dipakai, kemudian kalau memungkinkan pasang neon ultra violet.
"Cukup di pasang satu jam namun harus dimatikan begitu orang masuk. Itu amat mengurangi jumlah virus," kata Zubairi.
Kemudian, kantor juga harus menyiapkan air, sabun cuci tangan. Kemudian masker yang dipakai saat naik kendaraan umum sebaiknya diganti yang baru saat masuk ke kantor.
"Jadi selain masker kalau kita yakin resiko tinggi harus tambah face shield," tandas Zubairi.
Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia Syahrizal Syarif mengatakan saat ini belum ada solusi yang tepat untuk mengatasi penyebaran Covid-19 selama belum ditemukannya vaksin.
"Belum ada (solusi), karena belum ada vaksin. Saya cuma khawatir pelonggaran seperti ini, masyarakat kok rasanya wabah tidak masalah," kata Syahrizal.
Namun, dia tetap meminta masyarakat menggunakan masker dan jaga jarak untuk meminimalisir penyebaran. "Itu tidak bisa ditawar," kata dia.
Sementara solusi yang paling baik untuk memutus penyebaran Covid-19 di perkantoran adalah dengan kembali bekerja dari rumah.
"Yang penting sekali lagi ketika bekerja jaga jarak. Sekarang mungkin saat kerja jaga jarak, tapi saat makan siang, pulang ngantor ngobrol itu yang saya khawatir (tertular)," tandas Syahrizal.
Â