Upaya Ambil Alih Paksa Demokrat Dinilai Pola Kolonial di Era Milenial

Diska menandaskan upaya pengambilalihan paksa Partai Demokrat perlu dilihat dari kacamata yang lebih besar.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Feb 2021, 17:39 WIB
Diterbitkan 03 Feb 2021, 16:12 WIB
Ketua Umum DPP Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono  atau AHY. (Foto: Istimewa)
Ketua Umum DPP Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY. (Foto: Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Upaya pengambilalihan paksa Partai Demokrat yang diungkapkan Ketua Umumnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pada Senin 1 Februari 2021 mengungkapkan masih berlanjutnya praktik pecah belah dalam perpolitikan di Indonesia. Kejadian ini dinilai bukan pertama dan terakhir terjadi di Indonesia.

"Ini bukan yang pertama dan pasti bukan yang terakhir," ujar master komunikasi Politik dari London School of Economics. Diska Putri Pamungkas dalam keterangannya, Rabu (3/2/2021).

Diska menandaskan upaya pengambilalihan paksa Partai Demokrat perlu dilihat dari kacamata yang lebih besar. “Setidaknya dalam tiga tahun terakhir ini, sulit untuk melihatnya sebagai kebetulan ketika isu perpecahan internal berulang kali terjadi pada partai-partai politik lainnya di Indonesia,” ujarnya.

Sebagaimana yang diobservasi Saiful Mujani, Burhanudin Muchtadi, Pangi Chaniago, dan banyak peneliti politik lainnya, Diska mengungkapkan pengambilalihan parpol memiliki pola tertentu seperti membenturkan faksi utama dengan kader yang sudah dipecat, penyelenggaraan kongres luar biasa yang dipaksakan, diikuti dengan pengesahan pihak yang berwenang.

"Pola ini terjadi berkali-kali sebelumnya. Ada perseteruan Djan Faridz dengan Romahurmuziy di PPP, kubu Amien Rais dengan Zulkifli Hasan di PAN, Tommy Soeharto di Partai Berkarya, Anis Matta di PKS, perpecahan di Golkar, dan sejumlah partai politik lainnya. Kalau ditarik lebih jauh kebelakang, lahirnya PDI-P merupakan respon dari upaya intervensi yang dilakukan rezim Orde Baru pada Partai Demokrasi Indonesia (PDI)," ujar dia.

Diska mengungkapkan dinamika internal dalam organisasi partai politik wajar terjadi, sebagaimana terjadi juga pada organisasi-organisasi lain, baik sipil maupun militer. Tapi jika friksi internal terjadi secara berbarengan dalam rezim kepemimpinan politik tertentu, friksi ini bisa jadi adalah gerakan terstruktur untuk melanggengkan kekuasaan.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Era Kolonial

Secara historis, Diska mengingatkan, politik belah bambu semacam ini sudah lama terjadi dalam masyarakat kita. Pada era penjajahan di Indonesia, politik “devide et empira” pernah dikenal ampuh untuk mengadu domba dan melanggengkan kekuasaan kolonial penjajah di tanah air.

“Secara sosio-politik, pihak yang kuat akan lebih mudah menggunakan kekuasaannya apabila ia menopang pihak-pihak yang lemah. Tapi jika pihak yang kuat berada diantara pihak-pihak yang kuat pula, kompetisi antarpihak membuat kekuasaan sulit disalahgunakan,” ujarnya menekankan pentingnya oposisi yang kuat dalam relasi kekuasaan negara.

Menyitir penelitian European University at St Petersburgh tentang kompetisi partai politik di negara otoriter seperti Rusia, Diska menjelaskan salah satu cara penguasa untuk meminimalisir kompetisi dari partai politik oposisi adalah dengan mengusik kekuatan internal partai, termasuk dengan mengambil alih kepemimpinan secara paksa (Gel’man, 2008). Diska melihat tren pecah belah partai secara sistematis sudah mulai terjadi pada masa ini.

Dalam konteks ini, Diska menilai jumpa pers Ketua Umum Partai Demokrat AHY untuk membuka upaya pengambilalihan paksa partainya merupakan tindakan yang cepat dan tepat dalam relasi kuasa yang tidak seimbang antara penguasa dengan partai non pemerintah pada saat ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya