Pro Kontra Wacana Nadiem Mulai Sekolah Tatap Muka Juli 2021 Mendatang

Mendikbud Nadiem Makarim mewacanakan untuk memulai proses pembelajaran tatap muka di sekolah maupun kampus pada tahun ajaran baru Juli 2021 mendatang.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 08 Mar 2021, 15:21 WIB
Diterbitkan 03 Mar 2021, 07:46 WIB
Melihat Penerapan Sekolah Tatap muka di Tangsel
Guru mengajar tatap muka di SDIT Nurul Amal, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Senin (16/11/2020). Proses belajar secara tatap muka atau luring ini menggunakan waktu belajar di sekolah yang didasarkan pada zona penerapan wilayah covid-19. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mewacanakan untuk memulai proses pembelajaran tatap muka di sekolah maupun kampus pada tahun ajaran baru Juli 2021 mendatang.

Nadiem menjelaskan, rencana tersebut diharapkan bisa terwujud mengingat saat ini para guru dan dosen mulai disuntik vaksinasi Covid-19.

"Semua guru dan dosen, 5 juta lebih dari mereka harapannya Insya Allah akan divaksinasi sampai dengan akhir bulan Juni, sehingga tahun ajaran baru semua sekolah memulai proses tatap muka walaupun dengan tahap terbatas," kata Nadiem dalam siaran daring, Senin, 1 Maret 2021.

Pernyataan yang digulirkan Nadiem itu pun menuai pro kontra. Pasalnya sampai saat ini, angka kasus Corona Covid-19 masih terus bertambah secara siginifikan di Indonesia.

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menilai rencana Mendikbud Nadiem tergesa-gesa.

"Harapannya Pak Presiden atau Mas Nadiem Makarim guru-guru divaksinasi dan tenaga kependidikan, saya rasa itu terlalu prematur. Kenapa saya katakan begitu? Yang pertama adalah apakah negara mampu menyelesaikan vaksinasi terhadap lima juta guru, tenaga kependidikan dan dosen dalam waktu kurang lebih dalam empat bulan? Sedangkan kita bulan April sampai Mei kita puasa kan?" ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Selasa, 2 Maret 2021.

Selain itu, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) juga angkat bicara. Ketua Umum IAKMI Ede Surya Darmawan menegaskan, apabila ingin membuka sekolah tatap muka di masa pandemi Covid-19, positivity rate lebih baik di bawah 5 persen sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Berikut sejumlah tanggapan pro kontra wacana proses pembelajaran tatap muka di sekolah maupun kampus pada tahun ajaran baru Juli 2021 mendatang yang disampaikan Mendikbud Nadiem dihimpun Liputan6.com:

 

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI)

Simulasi sekolah tatap muka di SMPN 1 Surabaya, Jawa Timur (Foto: Dok Istimewa)
Simulasi sekolah tatap muka di SMPN 1 Surabaya, Jawa Timur (Foto: Dok Istimewa)

Pada Selasa, 2 Maret 2021 tepat setahun Covid-19 di Indonesia. Hampir setahun terakhir, kegiatan belajar mengajar (KBM) mengandalkan sarana virtual.

Vaksinasi Covid-19 terhadap 5 juta guru dan tenaga pendidik pun jadi harapan agar sekolah tatap muka dapat dimulai Juli 2021 mendatang.

Sekolah tatap muka rencananya akan mulai dilaksanakan usai guru dan tenaga pendidik divaksin Covid-19.

Meski demikian, para pemangku kebijakan perlu memerhatikan positivity rate. Positivity rate adalah perbandingan antara jumlah kasus positif Covid-19 dengan jumlah tes yang dilakukan.

Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan menegaskan, apabila ingin membuka sekolah tatap muka di masa pandemi Covid-19, positivity rate lebih baik di bawah 5 persen, sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Pertimbangan positivity rate juga didukung dengan masuk kategori apa zonasi wilayah yang bersangkutan. Hal ini untuk melihat seberapa besar laju penularan virus Corona.

"Pertama yang dilihat kawasan yang dituju diperhatikan masuk kategori zona apa. Ya, lebih baik lagi sudah tidak ada kasus Covid-19," ucap Ede kepada Liputan6.com melalui sambungan telepon, Selasa, 2 Maret 2021.

"Kita bisa lihat pemeriksaan (testing) nanti ketahuan positivity rate-nya. Kalau masih di atas 5 berarti belum aman, potensi menular Covid-19 tinggi, positivity rate-nya di bawah 5 justru lebih baik lagi," sambung dia.

Positivity rate Covid-19 yang masih di atas 5 persen, potensi penularan virus Corona tinggi. Jika ingin membuka sekolah tatap muka dalam kondisi positivity rate di angka ini, maka kasus positif Covid-19 bisa saja kian naik.

"Positivity rate yang di atas 5 berarti potensi penularan antar satu orang lain bisa terjadi. Kalau itu yang terjadi, kasus (positif Covid-19) makin lama makin naik," kata Ede.

Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per 27 Februari 2021, positivity rate nasional 24,30 persen. Angka ini ada sedikit penurunan dibanding Januari 2021 sebesar 26,05 persen.

Rata-rata jumlah pemeriksaan spesimen per hari 56,807 spesimen dan orang yang diperiksa per hari 38.146 orang.

Melihat data positivity rate yang cukup tinggi, Ede berpendapat sekolah tatap muka belum bisa langsung dibuka meski vaksinasi guru dan tenaga pendidik selesai. Ini juga karena siswa pun harus divaksin, sementara belum ada vaksin Covid-19 untuk anak.

"Jadi, memang belum secepat itu membuka sekolah tatap muka. Walaupun guru sudah divaksin, siswa kan belum. Potensi penularan virus Corona masih tetap ada," terang dia.

Yang menjadi sorotan, usai divaksin, para guru dan tenaga pendidik harus tetap menerapkan 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, jaga jarak). Kewaspadaan terhadap virus Corona terus diperhatikan.

"Pemerintah daerah juga terus melakukan pemeriksaan (testing) dan pelacakan (tracing) dengan benar. Kasus positif Covid-19 harus dilacak dengan baik," tutup Ede.

 

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)

Melihat Penerapan Sekolah Tatap muka di Tangsel
Guru mengajar secara darling sekaligus tatap muka kepada murid-murid SDIT Nurul Amal, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Senin (16/11/2020). Proses belajar secara tatap muka atau luring ini merupakan uji coba dengan menggunakan assessment pembatasan jumlah murid. (merdeka.com/Arie Basuki)

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim menilai rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim membuka seluruh sekolah pada pertengahan 2021 sangat tergesa-gesa. Keputusan itu dinilai terlalu dini dilakukan.

"Harapannya Pak Presiden atau Mas Nadiem Makarim guru-guru divaksinasi dan tenaga kependidikan, saya rasa itu terlalu prematur. Kenapa saya katakan begitu? Yang pertama adalah apakah negara mampu menyelesaikan vaksinasi terhadap lima juta guru, tenaga kependidikan dan dosen dalam waktu kurang lebih dalam empat bulan? Sedangkan kita bulan April sampai Mei kita puasa kan?" ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.

Hal itu menyusul pernyataan Nadiem yang menargetkan vaksinasi pada guru dan dosen kelar pada Juni 2021. Vaksinasi ini bertujuan untuk mempercepat pembukaan sekolah di tahun ajaran baru pada pertengahan 2021.

Di samping itu, menurut Satriwan Salim, masih banyak guru baik di daerah maupun kota yang belum mendapat informasi soal vaksinasi terhadap mereka. Ia melihat proses vaksinasi terhadap guru terbilang lambat. Oleh karenanya untuk mencapai lima juta guru yang divaksin pada pertengahan tahun ini akan terasa berat.

Andai kata jika seluruh guru sudah divaksin, Satriwan mempertanyakan bagaimana keamanan siswa di sekolah mengingat mereka belum mendapatkan vaksinasi Covid-19. Sementara vaksin Covid-19 untuk anak hingga kini belum tersedia.

"Nah oleh karena itu orangtua dan guru juga sebenarnya bertanya, apakah aman sekolah dibuka ketika guru dan tenaga kependidikannya divaksin sedangkan muridnya enggak?" katanya.

Satriwan mengingatkan, jangan sampai ketika sekolah dibuka, guru dan tenaga pendidiknya aman, sementara siswanya tidak lantaran belum divaksinasi Covid-19.

"Padahal si murid-murid tadi pulang pergi naik angkutan umum, ada potensi menyebarkan atau dia yang tertular," terang dia.

Menurut dia, jika pemerintah kukuh untuk membuka seluruh sekolah pada pertengahan tahun ini, maka sistemnya harus berbeda. Sekolah pascapandemi harus mengadopsi adaptasi kebiasaan baru (AKB), seperti menerapkan prokes secara ketat.

"Jadi bukan bebas kaya zaman dulu kita sekolah, dan wajib melaksanakan AKB. Apa itu AKB-nya? Wajib pakai masker. Kalau dulu kan kita bebas mau pakai masker atau enggak, sekarang wajib. Yang kedua harus ada thermo gun untuk memeriksa suhu tubuh seluruh warga sekolah, yang ketiga tempat cuci tangan," ujarnya.

Oleh karena itu, menurut Satriwan jika nekat mau melakukan pembelajaran secara tatap muka, maka sekolah harus memenuhi sarana dan prasarana untuk menunjang penerapan prokes bagi warga sekolah.

"Ini betul-betul harus hati-hati dalam membuka sekolah, makanya saya bilang terlalu gegabah. Jangankan untuk mencapai angka herd immunity 70 persen, untuk mencapai angka lima juta saja (yang divaksin) sampai bulan Juni saya ragu," pungkas Satriwan.

 

Wali Murid

Intip Uji Coba Pembelajaran Tatap Muka di Sekolah Bekasi
Sejumlah murid memasuki sekolah SD Negeri 6, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (4/8/2020). Pemerintah setempat memberikan izin kepada enam sekolah untuk melakukan uji coba pembelajaran tatap muka selama satu bulan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Leman, wali murid salah satu siswa di Kabupaten Cirebon menyatakan ketidaksiapannya jika harus melepas adiknya kembali bersekolah di tengah situasi seperti ini. Kendati seluruh guru sudah divaksin, bukan berarti sekolah aman dari penyebaran Covid-19.

"Saya enggak siap, kan efikasi vaksin kita juga katanya cuman 60 persen. Jadi kalau pun guru divaksin, tapi tetap masih ada potensi penularan," kata Leman kepada Liputan6.com.

Menurutnya, selama tingkat penularan masih tinggi, dirinya belum yakin membiarkan adiknya yang masih duduk di kelas 5 SD itu kembali sekolah tatap muka.

Pembukaan sekolah, menurut Leman, baru bisa dilakukan jika angka temuan kasus mengalami penurunan yang signifikan.

"Ya kalau sudah amanlah boleh dibuka, kalau yang tertular sudah banyak menurun," terang Leman.

Hal yang sama diungkapkan Imad, wali murid salah satu siswa SMA swasta di Kota Bogor. Imad menuturkan bahwa pembukaan sekolah di situasi pandemi Covid-19 yang masih bergejolak dirasa kurang tepat.

"Vaksinkan tidak menjamin, ya nantilah nunggu kasus reda. Kalaupun pembukaan nanti bulan Juli saya rasa kasus masih tinggi ya melihat kondisi seperti ini," kata Imad.

Nada berbeda disampaikan Mulki Hakim. Wali murid salah satu SD di Kabupaten Pangandaran ini mengaku tak masalah jika pemerintah membuka sekolah pada pertengahan 2021 mendatang. Asalkan pembukaan itu disertai dengan penerapan prokes yang ketat di sekolah.

"Ya asal dengan prokes dan bergilir ya. Meskipun pandemi masih belum selesai, tapi enggak apa-apa sementara gitu," ucap Mulki.

 

Wagub DKI

Ahmad Riza Patria terpilih menjadi Wagub DKI Jakarta.
Ahmad Riza Patria terpilih menjadi Wagub DKI Jakarta. (Foto dari Humas DPRD DKI)

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengaku pihaknya belum melakukan pembahasan terkait wacana pembelajaran tatap muka di sekolah pada Juli 2021.

"Sekolah tatap muka nanti kita akan lihat, kita belum membahas sejauh itu," kata Riza di Balaikota, Jakarta Pusat.

Saat ini kata dia, hal terpenting yakni memastikan para siswa dapat belajar dengan baik meski pandemi Covid-19. Salah satunya yakni penerimaan materi dari guru.

Karena itu, Riza menyatakan Pemprov DKI telah memberikan bantuan pulsa hingga penambahan jaringan wifi gratis.

"Sekolah kami minta terus lakukan inovasi, kreativitas, berbagai metode agar memudahkan anak-anak bisa menerima pelajaran dengan baik," jelas dia.

Pro Kontra Sekolah Dibuka di Luar Zona Hijau

Infografis Pro Kontra Sekolah Dibuka di Luar Zona Hijau. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Pro Kontra Sekolah Dibuka di Luar Zona Hijau. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya