Riset Konde.co: RUU PRT Belum jadi Perbincangan Utama di Media

Pemberitaan terkait RUU PRT yang disiarkan ke pembaca dari 10 media bukan sebuah indepth reportase atau reportase mendalam. Dia membuktikan, 10 media terkait hanya mengutip ucapan narasumber dari sebuah acara yang mengangkat isu terkait.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 08 Apr 2021, 18:15 WIB
Diterbitkan 08 Apr 2021, 13:58 WIB
Hari Perempuan Internasional, Ratusan PRT Demo di Bundaran HI
Aksi ratusan Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang mendesak disahkannya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang masuk dalam Prolegnas 2015 di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (8/3/2015).(Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta Peneliti dan Managing Editor Konde.co, Tika Adriana merilis hasil penelitiannya terhadap 10 media daring di Indonesia tentang RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Kesimpulannya, media belum memberikan ruang utama dalam membahas isu mengenai Perlindungan PRT.

Tika menjelaskan, riset dilakukan berdasarkan urutan ranking 10 besar di situs Alexa, yaitu situs yang menyediakan data komersial traffic web. Objeknya adalah pemberitaan yang muncul dipublikasi dalam rentang Januari hingga Maret 2021.

"Penelitian ini dilakukan karena RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sejak 2004 belum diketok juga, usianya sudah 17 tahun, DPR tidak serius membahas ini sebelum masuk ke prolegnas prioritas," kata Tika secara daring, Kamis (8/4/2021).

Tika mengungkap, tujuan penelitiannya adalah untuk melihat bagaimana framing media terhadap RUU PPRT. Dia meyakini, dengan pemberitaan di media maka dapat diketahui sejauh mana opini publik terbentuk terkait urgensi RUU PPRT.

"Dari penelitian ini ada pertanyaan yang muncul, bagaimana media menulis RUU ini dan apakah media sudah memberi peluang tetang isu pengesahan ruu ini," jelas Tika.

Tika juga menilai, hasil dari pemberitaan yang disiarkan ke pembaca dari 10 media tersebut juga bukan sebuah indepth reportase atau reportase mendalam. Dia membuktikan, 10 media terkait hanya mengutip ucapan narasumber dari sebuah acara yang mengangkat isu terkait.

Bahkan ada sebuah media yang membagi keterangan narasumber menjadi beberapa berita. Dampaknya pesan disampaikan ke pembaca tidak utuh.

"Pemberitaan dari hasil penilitain di 10 media ini masih normatif karena hanya menangkap dan menulis mentah apa yang dikatakan oleh narasumber di satu acara dan beritanya dicacah tapi sebenarnya hanya berasal dari satu acara dan tulisannya tidak jadi utuh," kritiknya menandasi.

 

Saksikan Video Terkait Berikut Ini:

Aksi Kolaborasi

Pemimpin Redaksi Liputan6.com Irna Gustiawati dalam kesempatan yang sama mengatakan, dalam situasi dan kondisi saat ini, cukup sulit bagi media daring yang memiliki rangking 10 besar di situs Alexa untuk memberi ruang penuh bagi isu RUU PPRT. Sebab, roda kerja reporter dari tiap media tersebut yang menuntut penugasan multi isu.

"Bayangkan, satu reporter harus sampai tujuh perhari dan harus pergi ke lapangan telepon sana sini hanya untuk satu isu. Maka target harian mereka bisa tidak tercapai," kata Irna dalam diskusi daring terkait pemaparan hasil riset tersebut, Kamis (8/4/2021).

Namun Irna menampik bahwa hal tersebut menjadi alasan, jika media daring mainstream tidak memberi ruang untuk mendukung pengesahan RUU PPRT. Menurut dia, banyak cara yang kekinian dapat dilakukan oleh masyarakat umum, salah satunya kampanye dengan mamanfaatkan media sosial.

"Karena sekarang jaman medsos yang bisa digunakan sebagai campaign dan kita tidak bisa lagi bermain hanya di Facebook dan Instagram, karena sekarang mainnnya sudah di Tiktok dan Youtube," jelas Irna.

Irna mengajak kepada mereka yang menjadi target RUU PPRT ini, untuk dapat serius dan fokus terhadap hak dan kewajiban saat mempekerjakan seseorang sebagai PRT.

"Ketika mereka diberi ruang untuk bicara dan diberi pengetahuan RUU ini, maka akan ada pendekatan antara media dan para pegiat yang bisa secara bersama, karena itu kita butuh kolaborasi," ujar Irna.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya