Polemik Penonaktifan 75 Pegawai KPK, Romli Atmasasmita: Landasan Hukumnya Sudah Tepat

Dia mengatakan, setiap pegawai KPK yang merasa dirugikan atas keputusan Pimpinan KPK tersebut memiliki hak untuk menempuh jalur hukum yang berlaku.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Mei 2021, 14:23 WIB
Diterbitkan 15 Mei 2021, 12:55 WIB
Ilustrasi KPK
Gedung KPK (Liputan6/Fachrur Rozie)

Liputan6.com, Jakarta Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan gagalnya sejumlah penyidik serta staf pegawai KPK dalam ujian itu sehingga berujung pada penonaktifan 75 pegawai KPK terus memanaskan polemik publik. Tidak sedikit aktivis atau pakar hukum yang mengkritik penonaktifan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Namun, Pakar Hukum Pidana Prof Romli Atmasasmita memiliki argumentasi tersendiri. Romli membela sikap Ketua KPK Firli Bahuri terkait penerbitan Surat Keputusan (SK) Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Tafsir hukum pakar yang menilai SK Pimpinan KPK melanggar UU ASN adalah jelas keliru dan ceroboh," ujar Romli dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/5/2021).

Guru Besar Hukum Pidana Unpad ini juga berpendapat, setiap pegawai KPK yang merasa dirugikan atas keputusan Pimpinan KPK tersebut memiliki hak untuk menempuh jalur hukum yang berlaku.

"Pascaputusan MK RI Nomor 70/ PUU- XVII/2019 telah mengembalikan marwah KPK sebagai lembaga independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai Pasal 6 UU Nomor 19 Tahun 2019 termasuk penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Tidak ada alasan lagi bagi siapa pun memvonis KPK di bawah Firli Cs lemah," jelasnya.

Romli mengatakan, masih terbuka kesempatan kerja yang luas bagi pegawai KPK yang tidak lolos ASN seperti mantan pimpinan dan penyidik KPK. Dia memberikan contoh ada mantan pegawai KPK yang menduduki jabatan Eselon I di kementerian tertentu.

"Yang terberat bagi Pimpinan KPK ke depan dihadapi Firli Cs adalah selain tugas lain, melaksanakan ketentuan Pasal 6 huruf f, yaitu asas penghormatan terhadap hak asasi manusia yang harus diartikan bahwa independensi bukan tanpa batas, inilah kelebihan UU KPK Tahun 2019 daripada UU KPK 2002," tuturnya.

Sehingga, lanjut dia, KPK harus lebih ekstra hati-hati melaksanakan tugas dan wewenangnya.

"Karena asas perlindungan HAM (Pasal 6 f) dapat digunakan sebagai alasan permohonan praperadilan selain yang telah ditetapkan dalam Pasal 77 KUHAP dan penetapan tersangka. Intinya bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah halusinasi, kekuasaan tanpa hukum adalah anarki," terangnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Waspadai Krisis Identitas

Dia pun melihat polemik alih status pegawai KPK menjadi ASN di media sosial belakangan ini semakin gencar melawan keputusan panitia TWK.

"Kritik mulai soal-soal tes sampai dengan integritas pegawai yang tidak lolos dan kiprahnya dalam memberantas korupsi. Logika yang dibangun bahwa kiprah dan sukses memasukkan koruptor ke penjara dimaknai sebangun dengan pemahaman wawasan kebangsaan adalah sangat keliru," katanya.

Di dalam masa krisis identitas yang melanda bangsa ini belakangan, tambah Romli, semua pihak yang punya kepedulian pada NKRI seharusnya waspada.

"Setelah apa yang terjadi pada HTI dan FPI akhir-akhir ini. Kita tidak boleh mentolerir lagi terhadap calon ASN atau ASN dengan landasan paradigma yang masih ragu terhadap persatuan bangsa, tanpa ada perkecualian siapa pun dia," pungkasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya