Anggota DPD Ini Tolak Pasal Penghinaan Lembaga Negara di RUU KUHP, Begini Penjelasannya

Rachman juga mempertanyakan keberadaan mediasi antara warga yang menghina lembaga negara dengan pihak pejabat.

oleh Yopi Makdori diperbarui 09 Jun 2021, 10:32 WIB
Diterbitkan 09 Jun 2021, 10:23 WIB
Mural Tolak RUU KUHP Terpampang di Rawamangun
Mural bertulis '#TolakRKUHP' terpampang pada dinding di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta, Selasa (1/10/2019). Mural tersebut respons dari seniman Jakarta terhadap RUU KUHP yang dinilai mencederai tatanan demokrasi. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Anggota Komite I DPD RI, Abdul Rachman Thaha menolak pasal penghinaan terhadap lembaga negara yang termuat dalam RUU KUHP. Ia menjabarkan ada tiga alasan pasal tersebut layak ditolak.

Semisal terkait niat jahat atau mens rea yang dipakai dalam pasal itu, Rachman Thaha menyatakan bahwa mens rea perlu dibagi lagi menjadi intent dan motive. Menurut dia, keduanya berbeda dan mesti diperlakukan beda pula. Ia mencontohkan dua orang si A dan si B sama-sama dengan sengaja menghina presiden.

Rachman menerangkan, karena ada kesengajaan, maka terdapat intent di dalam perbuatan mereka. Polisi dan jaksa harus membuktikan keberadaan intent itu, tapi tidak cukup sampai di situ. Kedua lembaga tersebut juga harus buktikan motive.

Singkatnya, setelah didalami, ternyata si A menghina presiden sebagai ekspresi kekesalannya atas kegagalan bertubi-tubi presiden dalam memimpin negara. Penghinaan dianggap si A sebagai kecaman keras agar kondisi negara bisa berlangsung lebih baik.

Sebaliknya, si B menghina presiden sebagai pelampiasan karena ia diceraikan oleh suaminya yang merupakan pendukung presiden. Penghinaan dilakukannya semata-mata untuk melegakan hati.

"Dari contoh itu bisa dilihat bahwa dalam perbuatan yang disengaja, intent bisa sama, namun motive antarmanusia bisa berbeda. Hukum, sekali lagi, tidak boleh memukul rata. Dalam contoh di atas, si A bisa dipahami sebagai orang yang sesungguhnya beritikad baik dan peduli terhadap kondisi bangsanya. Penghinaan bukan sesuatu yang ada dalam konteks relasi personal," paparnya dalam sebuah keterangan, Rabu (9/6/2021).

Sementara si B, sebaliknya, tidak punya itikad positif di balik penghinaannya itu. Penghinaannya adalah ekspresi pribadinya terhadap pribadi orang lain.

"Hukuman pidana, jika pasal dimaksud jadi disahkan, hanya patut dikenakan kepada si B," tekan dia.

Alasan kedua, sambung Rachman, jika mengacu pada asas hukum bahwa kedudukan semua pihak di hadapan hukum adalah sama (equality before the law). Dengan asas seperti itu, ketika warga bisa dipidana karena menghina lembaga negara, apakah pejabat lembaga negara juga bisa dipidana?

Misalnya ketika pejabat melakukan penghinaan terhadap warganya, di saat pejabat yang saking emosionalnya sampai mengeluarkan hinaan terhadap warga.

"Jika tidak berlaku dua arah, maka asas kesamaan di hadapan hukum sudah dinihilkan. Pasti, ini bukan konstruksi hukum yang benar," tegasnya.

Rachman juga mempertanyakan keberadaan mediasi antara warga yang menghina lembaga negara dengan pihak pejabat. Pasalnya, ketika sesama anggota masyarakat bertikai dan menghina satu sama lain, otoritas penegakan hukum acap melakukan mediasi antarkeduanya. Lantas, bagaimana ketika penghinaan itu dilakukan masyarakat terhadap lembaga negara?

"Akankah otoritas penegakan hukum juga memediasi keduanya? Adakah kesanggupan dari otoritas terkait untuk menjadi mediator ketika pihak pelapor adalah mitranya sendiri sebagai sesama lembaga negara?" tanya dia.

Menurut Rachman, apabila mediasi hanya dikenakan pada konflik antaranggota masyarakat, namun otoritas penegakan hukum mengalami kecanggungan (bahkan meniadakan) untuk memediasi lembaga negara dan masyarakat, maka pantas dikhawatirkan bahwa instrumen hukum itu memang diadakan sebagai alat pengaman diri oleh pemegang kekuasaan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Isi Pasal Penghinaan

Seperti diketahui, draf RUU KUHP terbaru menerangkan adanya pasal penghinaan terhadap lembaga negara. Berikut isinya:

Pasal 353:

(1) Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyakkategori III.

(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.

Pasal 354:

Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya