Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah polisi tampak bersiaga di sekitar Masjid Agung Bireun Nanggroe Aceh Darussalam sejak 24 Juni 2005 pagi. Mereka ditugaskan atasannya untuk menjaga sekitar area mesjid.
Pada hari itu, ada 15 terpidana kasus perjudian (maisir) menjalani eksekusi hukuman cambuk.
Koran Tempo (2005) menyebutkan, eksekusi hukuman cambuk kepada para penjudi dilakukan di halaman Masjid Agung Bireun. Pelaksanaan hukuman cambuk pertama di Aceh dan Indonesia ini dimulai pukul 14.00 WIB, usai salat Jumat.
Advertisement
Sejatinya, ada 26 terpidana kasus perjudian yang harus menjalani hukuman cambuk. Hanya saja, setelah menjalani tes pemeriksaan kesehatan oleh tim medis, 11 terpidana lainnya dinyatakan belum dapat dieksekusi.
Begitu salat Jumat selesai, 2.000 warga lagsung memadati area Masjid Agung Bireun untuk menyaksikan eksekusi hukuman cambuk pertama di Indonesia. Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Syariat Islam Nanggroe Aceh Darussalam.
Sebuah panggung berukuran 4×5 meter telah disiapkan di halaman masjid. Di sekeliling panggung, sudah ada tenda untuk para pejabat dan masyarakat menonton prosesi hukuman. Cambuk rotan berdiameter satu sentimeter hingga mobil ambulans juga telah disiagakan.
Para terpidana judi itu siap-siap menjalani hukuman cambuk. Jarum jam menunjukkan pukul 14.00 WIB, terhukum pertama dipanggil melalui pengeras suara pun naik ke atas panggung dengan diapit dua wilayatul hisbah (polisi syariah).
"Masing-masing terpidana menerima enam sampai sepuluh kali cambukan sesuai dengan derajat kesalahannya," dikutip dari Koran Tempo, 2005.
Berdebar-debar warga menyaksikan para terpidana dibawa naik panggung. Algojo yang memakai jubah bewarna hijau lumut dan mengenakan tutup muka telah menanti dengan sebilah rotan di tangan.
Algojo harus ditutup muka agar tak dikenali. Sedangkan petugas kejaksaan harus mengawasi dekat pelaksanaan hukuman. Begitu aba-aba dikumandangkan, suara sabetan rotan sang algojo di punggung terpidana langsung terdengar.
Hasan Basri langsung pingsan usai menerima tujuh cambukan, meski telah dinyatakan siap secara medis. Adapun Hasan merupakan terpidana kasus judi toto gelap yang berprofesi sebagai buruh.
Usai menerima hukuman cambuk, para terpidana menerima bingkisan seperangkat peralatan salat dan Al-Quran. Beberapa dari mereka ada yang langsung pulang ke rumah. Sebagian lagi memilih untuk beristirahat sejenak di sebuah kedai kecil meski tubuhnya telah memar-memar.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Awal Pelaku Tertangkap
Kasus pencambukan itu berawal saat polisi menangkap 27 laki-laki di Bireuen pada Februari 2005 dengan tuduhan berjudi. Mereka kemudian ditahan antara satu hingga dua bulan.
Seusai menjalani hukuman, mereka menyangka telah bebas sebab telah diizinkan pulang ke rumah. Namun, sebulan kemudian mereka menerima surat panggilan dari pihak kejaksaan.
Yang tak disangka, surat itu berisi bahwa mereka harus menjalani hukuman cambuk. Pasalnya, mereka dianggap telah melanggar syariat Islam karena telah melakukan perjudian.
Pelaksanaan hukuman cambuk memiliki dasar hukum yang jelas. Hukuman cambuk ini merupakan salah satu implementasi penerapan syariat Islam di Serambi Mekah. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus memberi landasan pemberlakuan syariat Islam di Aceh.
Pelaksanaan UU Nomor 18 tahun 2001 dijabarkan dalam peraturan daerah yang berbentuk Qanun. Peraturan ini mengatur kewenangan Mahkamah Syar`iyah sebagai lembaga peradilan bagi warga Aceh yang beragama Islam. Sejak syariat Islam ini resmi diberlakukan, berbagai tindakan pengenalan mulai dilaksanakan di seluruh wilayah Tanah Rencong.
Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014, diatur sejumlah perbuatan yang melanggar syariat Islam antara lain, meminum alkohol dengan kadar 2 persen atau lebih, berjudi, zina, bermesraan di tempat tertutup atau terbuka dengan status bukan suami istri, pelecehan seksual, hingga pemerkosaan.
Bagi mereka yang melakukan larangan tersebut dapat dikenakan hukuman berupa cambuk, denda, penjara, dan restitusi. Hal ini tertuang dalam Pasal 4 ayat 4 Qanut Aceh.
Kendati memiliki landasan hukum, tak dapat dipungkiri bahwa hukuman cambuk menuai pro kontra dari masyarakat. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada 2017, menilai bahwa hukuman cambuk mencoreng wajah hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Bolehlah orang berpendapat apapun. Namun, dalam sejarah Aceh, hukum cambuk telah dikenal sebelumnya. Adalah Sultan Iskandar Muda yang memelopori hukuman ini dengan merajam anaknya sendiri hingga tewas karena berzina.
Advertisement