Mengenal Usmar Ismail, Bapak Perfilman Nasional yang Akan Bergelar Pahlawan Nasional

Dipilih Jokowi dari empat tokoh yang akan diberi gelar Pahlawan Nasional, tak sedikit rekam jejak yang ditorehkan Usmar Ismail dalam dunia perfilman di Tanah Air.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Nov 2021, 05:33 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2021, 05:33 WIB
[Bintang] Usmar Ismail
Usmar Ismail memiliki pengaruh besar terhadap industri film Indonesia. (Sumber Foto: Cinema Poetica)

Liputan6.com, Jakarta Usmar Ismail, salah satu tokoh perfilman nasional yang akan diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 10 November nanti bertepatan dengan Hari Pahlawan. Pemberian gelar akan dilaksanakan di Istana bogor.

Dipilih Jokowi menjadi salah satu dari empat tokoh yang akan diberi gelar Pahlawan Nasional, tak sedikit rekam jejak pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat ini yang ditorehkan dalam dunia perfilman di Tanah Air. 

Dimulai pada 20 Maret 2021, Usmar Ismail mengawali debutnya saat menjadi asisten sutradara pada film "Gadis Desa" (1949).

Saat itu, dia diajak Andjar Asmara untuk bergabung bersama perusahaan film milik Belanda, Sourth Pacific Corporation, setelah keluar dari penjara atas tuduhan melakukan subversi oleh Belanda saat menjalankan profesi sebagai wartawan di kantor Berita Antara.

Ada tiga film yang berhasil dirilis Usmar Ismail, yaitu Gadis Desa, Harta Karun dan Tjitra hanya dalam kurun waktu satu tahun. Namun, hal itu tidak membuat dirinya puas, Usmar memilih mendirikan perusahaan sendiri.

Tepat pada 30 Maret 1950, dia pun berhasil mendirikan perusahaan sendiri bersama beberapa rekannya. Saat itu, Darah dan Doa bahkan disebut-sebut sebagai kelahiran film nasional pertama di Indonesia. 

Film tersebut merupakan film pertama tentang manusia Indonesia dalam revolusi, berkisah tentang karakter Kapten Sudarto. "Darah dan Doa" sempat menuai perdebatan, terutama dari perwira angkatan darat, karena dianggap tidak menggambarkan keperwiraan dan melukiskan kelemahan seorang anggota tentara.

"Saya tertarik kepada kisah Sudarto karena menceritakan secara jujur kisah manusia Indonesia dengan tidak jatuh menjadi film propaganda yang murah," tulis Usmar dalam karangan berjudul "Film Saya yang Pertama", dikutip dari Rosihan Anwar dalam buku "Sejarah kecil 'petite histoire' Indonesia; Volume 2".

Setelah "Darah dan Doa" rampung, Usmar memproduksi film kedua masih dengan tema perjuangan revolusi, yaitu "Enam Djam di Djogja" (1951).

Belajar Sinematografi di University of California Los Angeles

Meskipun sudah mampu membuat film, Usmar Ismail tidak meremehkan pendidikan. Pada 1952, ia memperoleh beasiswa dari Yayasan Rockefeller untuk belajar sinematografi di University of California Los Angeles.

Teman Usmar Ismail yaitu Rosihan Anwar bercerita, setelah lulus dari University of California Los Angeles jurusan sinematografi, Usmar jadi lebih mahir dalam mengerjakan produksi-produksi filmnya ketimbang karya pertamanya berkat pengetahuan sinematografi dan dramaturgi.

Tahun-tahun setelahnya, Usmar terus membuat film. Bersama Persari pimpinan Djamaluddin Malik. Melalui Perfini, ia memproduksi "Pedjuang" (1959) yang memenangkan penghargaan aktor terbaik di ajang Festival Film di Moskwa (1961).

Sederet film yang diproduksi Usmar antara lain "Dosa Tak Berampun" (1951), "Terimalah Laguku" (1952), "Kafedo" (1953), "Krisis" (1953), "Lewat Tengah Malam" (1954), "Tamu Agung" (1955), "Tiga Dara" (1956), dan sebagainya.

Pada 2 Januari 1971, bapak perfilman nasional ini wafat dalam Usia hampir genap 60 tahun. Film Ananda (1970) menjadi film terakhir Usmar Ismail.

 

Muhammad Fikram Hakim Suladi

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya